Memperbaiki Undang-undang
Sesuai sumpah presiden untuk memegang teguh UUD dan menjalankan segala UU dan peraturannya, penyelesaian salah rujuk pasal atau dalam UU haruslah dikembalikan ke jalan konstitusional.
Ditemukan sejumlah kesalahan penyusunan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Kesalahan itu ditemui dalam penyusunan pasal dan ayat rujukan, yaitu Pasal 6 di Bab III dan Pasal 175 di Bab IX, persisnya Pasal 53 Ayat (5).
Berbagai opsi penyelesaian dipikirkan, mulai dari penerbitan distribusi II, perubahan UU, penerbitan perppu, sampai pengujian ke Mahkamah Konstitusi (Kompas, 5/11/2020).
Makna pembentukan
UUD 1945 menyebutkan, kekuasaan membentuk UU ada di tangan DPR (vide Pasal 20 Ayat (1)). UUD 1945 juga menyebutkan, setiap RUU dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama (vide Pasal 20 Ayat (2)). Menjadi penting memaknai apa yang dimaksud dengan kekuasaan membentuk UU dan di mana batas kekuasaan tersebut karena berdasarkan paham konstitusionalisme, setiap kekuasaan memang ada batasnya (limitation of power).
Batas kekuasaan DPR bersama presiden dalam membentuk UU oleh UUD 1945 didelegasikan kepada UU untuk mengaturnya. Pasal 22A UUD 1945 menyebutkan, ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan UU diatur dengan UU.
Baca juga : Uji Formil UU Cipta Kerja
Merujuk Pasal 1 Angka 1 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (diubah UU Nomor 15 Tahun 2019), kuasa pembentukan UU oleh DPR dengan presiden dilaksanakan melalui tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
Wewenang tersebut tidak lagi dimiliki jika semua tahapan pembentukan telah dilalui.
Kekuasaan (power) DPR bersama presiden membentuk UU, yang kemudian jika dilembagakan menjadi wewenang (authority), pada dasarnya dibatasi oleh ketentuan Pasal 1 Angka 1 UU No 12/2011. Wewenang tersebut tidak lagi dimiliki jika semua tahapan pembentukan telah dilalui. Sekali UU telah diundangkan dalam lembaran negara, wewenang pembentukan UU oleh DPR bersama presiden telah dianggap berakhir/selesai.
Makna berakhir di sini tidak boleh ada tindakan apa pun untuk memperbaiki atau mengubah UU yang telah diundangkan. Tindakan memperbaiki atau mengubah, baik teknis redaksional maupun substansi, hanya dapat dilakukan jika DPR bersama presiden menempuh jalan legislasi kembali, yaitu menempuh prosedur pembentukan UU yang dimulai dari perencanaan dan seterusnya.
Masalah baru
Penerbitan distribusi II untuk memperbaiki kesalahan teknis redaksional, seperti kesalahan rujukan pasal atau ayat dalam UU yang telah diundangkan, meskipun dianggap cepat dan efisien, justru menimbulkan masalah baru. Penerbitan distribusi II tidak dikenal dan tidak diatur dalam UUD 1945 ataupun UU No 12/2011. Tahapan setelah suatu UU diundangkan adalah penyebarluasan kepada masyarakat.
Baca juga : Uji Konstitusionalitas UU Cipta Kerja Sekaligus Jadi Ujian Independensi MK
Penyebarluasan dilakukan mengingat setelah diundangkan, suatu UU mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat sehingga perlu diketahui masyarakat. Selain itu, sebagai konsekuensi fiksi hukum yang menganggap semua orang tahu hukum (presumptio iures de iure), terdapat tanggung jawab negara untuk menyebarluaskannya.
Argumentasi penerbitan distribusi II pernah diterapkan untuk memperbaiki kesalahan redaksional dalam UU No 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta UU No 49/2008 tentang Pembentukan Kabupaten Mesuji (Kompas, 4/11/2020) dari segi kepastian hukum juga lemah.
Baca juga : Berserah kepada Mahkamah
Preseden semacam ini tidak masuk kategori konvensi ketatanegaraan, yaitu hukum yang tumbuh dalam praktik penyelenggaraan negara untuk melengkapi/menyempurnakan hukum perundang-undangan, mengingat UUD 1945 dan UU No 12/2011 telah lengkap memberikan jalan bagaimana memperbaiki kesalahan UU.
Penerbitan distribusi II juga seperti sikap permisif terhadap pengabaian asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Penerbitan distribusi II juga seperti sikap permisif terhadap pengabaian asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Diaturnya secara ketat tahapan pembentukan UU adalah agar pembentuk UU benar-benar cermat, hati-hati, dan partisipatif dalam proses legislasi karena konsekuensinya jika UU telah diundangkan, tidak terbuka ruang perbaikan kembali kecuali melalui proses legislasi baru.
Jalan konstitusional
Ketimbang menambah masalah baru, lebih baik opsi konstitusional yang disediakan oleh konstitusi ditempuh. Terdapat tiga opsi, yaitu pengujian ke MK, perubahan UU kembali ke DPR, dan penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
Baca juga : Pengujian UU Cipta Kerja, MK Jamin Kesempatan Seimbang
MK melalui Putusan Nomor 17/PUU-X/2012 pernah menyelesaikan kesalahan penyusunan pasal atau ayat rujukan. Dalam putusan ini, MK menyatakan frasa ”sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83” dalam Pasal 116 Ayat (4) UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat sepanjang tak dimaknai ”sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80”.
Putusan ini menunjukkan bahwa kesalahan penyusunan pasal atau ayat rujukan dalam UU merupakan persoalan konstitusional dan bukan sekadar teknis administratif belaka.
Perubahan kembali undang-undang melalui prosedur legislasi baru oleh DPR dan presiden juga bisa ditempuh. Opsi ini, jika akan diambil sekaligus, bisa digunakan untuk tidak hanya mengubah kesalahan penyusunan pasal atau ayat rujukan, tetapi juga sarana untuk mengubah pasal-pasal kontroversial yang mengundang penolakan dari publik secara luas.
Baca juga : Politik Hukum Omnibus Cipta Kerja
Opsi lain, presiden sesuai kewenangan dalam Pasal 22 UUD 1945 membentuk perppu. Hal ihwal kegentingan yang memaksa sebagai dasar perppu merupakan hak subyektif presiden. Kesalahan penyusunan pasal atau ayat rujukan yang menyebabkan ketidakpastian hukum dan tidak dapat dilaksanakannya UU dapat jadi pertimbangan.
Perppu sekaligus juga dapat menjadi sarana untuk memperbaiki substansi dalam UU yang menurut pandangan publik mengandung masalah.
Sesuai sumpah presiden untuk memegang teguh UUD dan menjalankan segala UU dan peraturannya, penyelesaian salah rujuk pasal atau ayat dalam UU haruslah dikembalikan ke jalan konstitusional. Pilihan jalan konstitusional adalah komitmen untuk menjadikan UUD 1945 sebagai konstitusi yang bekerja dan bukan sekadar huruf-huruf indah di atas kertas.
Bayu Dwi Anggono, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember