Legislasi nan Menyebalkan
Dalam sistem presidensial biasanya tahap penandatanganan oleh presiden merupakan saat yang paling penting. Oleh karena, presiden akan memberikan posisi pentingnya melalui penandatanganan atau malah memveto UU.
Jauh dari riuh penolakan atas RUU Cipta Kerja yang dibuat secara omnibus, DPR dan pemerintah tetap mengebut membentuk UU. Pada 5 Oktober 2020, palu tahapan persetujuan telah diketuk. Artinya, tinggal tersisa dua tahapan legislasi lagi: pengesahan oleh presiden dan tahapan akhir dalam bentuk pengundangan.
Legislasi dalam model presidensialisme Indonesia memang aneh. Dalam lima tahapan di UUD 1945, tahap (1) Pengajuan, (2) Pembahasan, (3) Persetujuan, (4) Pengesahan, dan (5) Pengundangan, menempatkan dominasi presiden. Inilah anomali pergeseran fungsi legislasi yang, meski UUD menggeser fungsi legislasi ke DPR (dalam UUD lama, dipegang presiden), pada dasarnya yang menguat adalah kewenangan presiden.
Amat jarang negara-negara yang menggunakan sistem presidensial menempatkan presiden ikut melakukan pengajuan, pembahasan, dan persetujuan sekaligus pengesahan dan pengundangan. Namun, pergeseran itu memberikan implikasi tidak sederhana karena membuat proses legislasi mengalami pergeseran titik tekannya.
Namun, pergeseran itu memberikan implikasi tidak sederhana karena membuat proses legislasi mengalami pergeseran titik tekannya.
Dalam sistem presidensial biasanya tahap penandatanganan oleh presiden merupakan saat yang paling penting. Oleh karena, presiden akan memberikan posisi pentingnya melalui penandatanganan atau malah memveto UU. Ketika veto diberikan, RUU tidak akan menjadi UU kecuali jika dilakukan veto balik terhadap veto presiden, biasanya dengan ketentuan lebih rigid.
Baca juga: Politik Hukum Omnibus Cipta Kerja
Artinya, berbeda dengan Indonesia yang dalam UUD 1945 menempatkan tahap pengesahan menjadi tahap ”administratif” semata. Tak penting lagi tanda tangan presiden karena, ketika presiden menolak memberikan tanda tangannya, dengan sendirinya RUU berubah menjadi UU dalam waktu 30 hari setelah persetujuan antara DPR dan pemerintah; Pasal 20 Ayat (4) dan (5).
Itu sebabnya, tahapan terpenting proses legislasi Indonesia bukan pada tahap pengesahan, melainkan tahap pembahasan dan persetujuan bersama antara DPR dan pemerintah; Pasal 20 Ayat (2).
Baca juga: Tirani Mayoritas Politik dan RUU Cipta Kerja
Sebagai tahapan terpenting, proses sakral legislasi sebenarnya berada pada tahap pembahasan dan persetujuan tersebut karena itulah yang akan menentukan ”haru birunya” suatu RUU. Itulah sebabnya, RUU yang telah diselesaikan pada tahap pembahasan dan persetujuan sebenarnya sudah tidak mungkin diubah-ubah lagi karena RUU tersebut sebenarnya secara substansi sudah menjadi UU. Hanya saja, untuk pengesahan menjadi UU, diharapkan ada tanda tangan presiden. Pun jika presiden menolak, tetap RUU tersebut akan menjadi UU.
Kudeta redaksional
Apakah diperbolehkan melakukan perubahan setelah tahap persetujuan? Pada hakikatnya itu haram dilakukan. Segala urusan soal substansi dan format UU seharusnya selesai ketika paripurna persetujuan bersama dilakukan. UU telah jadi dalam konteks ”bersih” pada saat akan diketuk. Karena itulah, titik paling utama dalam proses legislasi.
Jika menggunakan alasan mengubah-ubah pasal dengan adanya aturan Pasal 72 Ayat 1 dan (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa RUU yang telah disetujui bersama pemerintah dan DPR disampaikan kepada presiden untuk disahkan menjadi UU dalam waktu tujuh hari, tentu hal itu tidak bisa dibenarkan.
Baca juga: Rapat Utak-atik Draf Saat Gedung Parlemen Tengah ”Lockdown”
Hal ini karena penjelasan pasal itu sudah limitatif dalam UU No 15/2019 yang mengubah UU No 12/2011, yakni bahwa penggunaan waktu tujuh hari kerja adalah waktu yang layak untuk mempersiapkan hal-hal yang berkaitan dengan teknis penulisan RUU ke lembaran resmi presiden sampai dengan penandatanganan, pengesahan, dan pengundangan.
Karena itulah, titik paling utama dalam proses legislasi.
Artinya, hanya teknis administrasi serta persiapan semata yang kemudian tak boleh masuk ke dalam tindakan menghapus, menambahkan, atau bahkan mengubah makna. Jangankan di kata-kata, bahkan titik dan koma pun sebenarnya sudah tidak dapat dilakukan karena itu juga berpotensi mengubah makna.
Padahal, itulah yang nyata terjadi, penambahan-penambahan pascaparipurna DPR di RUU Cipta Kerja. Dalam hal itu, sangat mungkin terjadi ”kudeta redaksional”. Istilah itu dikenalkan Saldi Isra dalam tulisan Kompas, 19 Oktober 2009, tepat 11 tahun lalu ketika terjadi kudeta redaksional ”Ayat Tembakau” dan berbagai kejadian yang sama mewarnai saat itu.
Ia menuliskan, setidaknya ada tiga kondisi kemungkinan kudeta redaksional terjadi. Pertama, terjadi pada naskah hasil panitia khusus atau komisi sebelum dibawa ke paripurna DPR. Dalam hal ini, paripurna seharusnya menjadi alat saring dari kemungkinan kudeta redaksional. Itulah yang menyebabkan adanya keharusan untuk membagi naskah UU untuk dibaca dan diketahui semua anggota DPR dan pemerintah dalam tahap persetujuan.
Baca juga: RUU Cipta Kerja dan Ironi Kekuasaan Mayoritas
Kedua, terjadi seusai paripurna DPR. Pada tahap ini, anggota DPR sulit mengetahui, apalagi selama ini mayoritas anggota DPR cenderung malas membaca ulang hal yang telah disepakati, apalagi jika memang draf RUU tersebut tak dibagikan dan memang secara formal kesempatan untuk membaca hampir tak tersedia.
Ketiga, kudeta redaksional dilakukan pemerintah sebelum disahkan presiden, lalu diundangkan di lembaran negara. Pada tahap ini, saat RUU di tangan pemerintah, DPR sulit mengecek. Karena itu merupakan tahap akhir, kemungkinan ada kudeta redaksional baru terlacak setelah diberlakukan.
Terhadap ketiga hal itu, khususnya yang kedua, pendapat Saldi ada benarnya dan menemukan relevansinya dalam kasus RUU Cipta Kerja. Kondisi itu jadi sangat mungkin terjadi karena memang tak ada pembagian draf RUU kepada para anggota DPR dan tak ada mekanisme formal untuk tersedianya waktu membaca dan mengontrol substansi RUU, serta ketidakjelasan naskah RUU yang disahkan di paripurna.
Karena itu merupakan tahap akhir, kemungkinan ada kudeta redaksional baru terlacak setelah diberlakukan.
Maka, tak ada yang bisa menjamin bahwa tidak ada kudeta redaksional ataupun utak-atik bunyi pasal yang sesungguhnya sudah diharamkan, khususnya setelah diadakan paripurna persetujuan DPR dan presiden.
Mistifikasi
Proses tak wajar itu sebenarnya menjadi penanda bahwa ada ”apa-apa” dalam proses legislasi ini. Terasa de javu karena kejadian serupa terjadi berkali-kali dalam satu tahun terakhir. Salah satunya revisi kilat UU KPK, yang juga masih ada perbaikan-perbaikan setelah paripurna persetujuan antara DPR dan pemerintah. Di ujungnya muncul protes dan demo besar yang berakibat korban nyawa. Itu semua menambah ketidakpercayaan publik kepada proses legislasi.
Namun, kelirunya, mengatasi semua itu yang dilakukan seakan adalah membahasnya secara mistifikasi. Padahal, jalan terbaik untuk menyelesaikan ketidakpercayaan itu adalah dengan transparansi, sosialisasi, dan partisipasi, serta hal lain yang menunjukkan keseriusan pada tahapan-tahapan pembentukan UU, mulai dari awal pengajuan, pembahasan, persetujuan, hingga ujung di pengesahan dan pengundangan. Yang dinanti sebenarnya ialah standar-standar tata kelola dan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Baca juga: RUU Cipta Kerja, Undang-undang Sekarang dan Masa Datang
Pasal 96 UU No 12/2011 mengatur bahwa masyarakat (orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi rancangan peraturan perundang-undangan) berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Masukan secara lisan dan/atau tertulis itu dapat dilakukan melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, dan/atau seminar, lokakarya, dan/atau diskusi. Masyarakat dalam penjelasan pasal disebutkan termasuk kelompok orang, antara lain, kelompok/organisasi masyarakat, kelompok profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat adat.
Baca juga: Polemik UU Cipta Kerja
Sejauh mana itu terpenuhi menjadi pertanyaan besar. Para gubernur yang dikumpulkan Presiden Joko Widodo tatkala ramai demonstrasi penolakan RUU Cipta Kerja merasa sulit untuk menyosialisasikan karena ketiadaan bahan RUU yang mau disosialisasikan.
Akhirnya, yang muncul adalah kecurigaan publik akan proses legislasi yang lebih pada kepentingan politik-oligarkis. Beberapa tulisan di harian ini dalam beberapa hari belakangan sebenarnya sudah mewakili catatan kritis bahwa secara substansi RUU Cipta Kerja ini memang memiliki problem.
Akhirnya, yang muncul adalah kecurigaan publik akan proses legislasi yang lebih pada kepentingan politik-oligarkis.
Formalitas dan kontrol
Saya sesungguhnya agak khawatir dengan pandangan yang mengecilkan makna formalitas pembentukan UU. Sebab, formal pembentukan UU sebenarnya menjadi syarat penting bagi legitimasi hukum.
Kekuasaan itu pada dasarnya harus dibatasi dan dalam melaksanakan kekuasaan itu harus ada pembatasan-pembatasan dalam konteks formal agar kekuasaan tak dibuat secara serampangan. Formalitas itu menjadi kontrol terhadap keserampangan dan kesewenangan itu. Dalam hal ini tentu saja UU juga harus melalui konsep itu.
Formalitas kaku itu juga sebagai potret penghargaan atas kedaulatan rakyat. Peran dalam bentuk partisipasi, aspirasi, dan transparansi menjadi kewajiban yang melekat dengan hak-hak warga negara yang akan diatur dalam suatu UU. Itu sebabnya, formalitas ini juga masuk menjadi mekanisme pengujian perundang-undangan di Mahkamah Konstitusi dan menjadi standar dari suatu konstitusionalitas UU.
Baca juga: RUU Cipta Kerja Pascapersetujuan
Kejadian yang berulang ini sudah seharusnya diakhiri. Ke depan, pembentukan peraturan perundang-undangan harus dibuat lebih baku dengan menutup kemungkinan kudeta redaksional melalui batasan yang lebih jelas pada tiap tahapan.
Harus ada penghukuman yang lebih jelas ketika hal itu dilanggar. Hal penting lain adalah terkait kesadaran etis presiden dan MK itu sendiri. Presiden masih sangat mungkin untuk menegakkan kembali marwah konstitusionalitas dengan mengeluarkan perppu.
Bisa jadi presiden enggan mengeluarkan perppu pembatalan, tetapi setidaknya dalam bentuk perppu penundaan dengan kewajiban untuk melakukan revisi menyeluruh atas RUU Cipta Kerja, partisipasi dan akuntabilitas yang lebih menyeluruh, melakukan sosialisasi yang lebih masif, serta memastikan bahwa pembahasan UU dilakukan secara taat pada prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Zainal Arifin Mochtar, Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.