Polemik UU Cipta Kerja
UU Cipta Kerja lebih banyak mengatur soal teknis pengaturan hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan alih daya.
Pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja memicu aksi unjuk rasa buruh di sejumlah daerah. Mereka menolak UU Cipta Kerja, khususnya kluster ketenagakerjaan yang dipandang mengorbankan kepentingan buruh.
Berikut catatan singkat atas sejumlah isu krusial di UU Cipta Kerja, yang boleh jadi ke depannya akan memantik persoalan baru.
Ketentuan PHK
Isu krusial pertama adalah terkait ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK). Alasan PHK versi UU Cipta Kerja antara lain karena penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan, efisiensi, perusahaan tutup karena rugi, force majeure, perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU), dan pailit.
Selain itu, alasan perusahaan merugikan pekerja, pekerja mengundurkan diri, pekerja mangkir dan melanggar perjanjian kerja atau peraturan perusahaan, pekerja memasuki masa pensiun, dan beberapa alasan lain.
Secara konsep, alasan PHK versi UU Cipta Kerja tidak jauh berbeda dengan ketentuan UU Ketenagakerjaan (UU Nomor 13 Tahun 2003). Perbedaannya terletak pada sejumlah persyaratan alasan PHK yang dihilangkan oleh UU Cipta Kerja sehingga pemenuhan alasan PHK menjadi lebih mudah dan sederhana.
Baca juga: Tirani Mayoritas Politik dan RUU Cipta Kerja
Misalnya, PHK dengan alasan perusahaan mengalami kerugian terus-menerus. Dalam UU Ketenagakerjaan, disyaratkan bahwa kerugian perusahaan harus dibuktikan dengan laporan keuangan dua tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik. Ketentuan ini dihapus dalam UU Cipta Kerja.
Selain itu, alasan PHK dalam UU Cipta Kerja juga lebih longgar. Ini berbeda dengan UU Ketenagakerjaan yang mengatur alasan PHK secara limitatif dan rigid.
Dalam UU Cipta Kerja, dimungkinkan pengusaha menambah sejumlah alasan lain PHK melalui perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Boleh jadi ini yang dikhawatirkan bahwa ke depan akan lebih mudah bagi pengusaha untuk melakukan PHK.
UU Cipta Kerja juga menghapus ketentuan Pasal 161 sampai Pasal 169 UU Ketenagakerjaan. Sebelumnya, pasal-pasal ini mengatur tentang perhitungan besaran kompensasi PHK yang dikaitkan dengan alasan PHK.
Patut dicatat, alasan PHK juga memengaruhi perhitungan besaran kompensasi PHK. Keduanya ibarat dua sisi mata uang yang sama, saling terkait.
Dibandingkan dengan UU Ketenagakerjaan, perhitungan besaran kompensasi PHK lebih mudah dan sederhana. Untuk PHK dengan alasan perusahaan tutup dikarenakan mengalami kerugian, misalnya, pekerja berhak mendapatkan kompensasi pesangon sebanyak satu kali, penghargaan masa kerja satu kali, ditambah penggantian hak.
Baca Juga: Nasib Buruh Dalam Hitungan Hari
Ketentuan seperti ini tidak lagi ditemukan dalam UU Cipta Kerja, tetapi akan diatur lebih lanjut dalam peraturan turunannya (peraturan pemerintah/PP). Dan, ini akan membuat bola panas bergeser ke penyusunan materi PP. Penentuan besaran kompensasi PHK yang dikaitkan dengan alasan PHK membuat penyusunan materi PP menjadi tidak mudah. Diperlukan dialog yang lebih terbuka agar rumusan PP mengenai hal ini dapat diterima semua pihak.
UU Cipta Kerja masih mengadopsi ketentuan sebelumnya mengenai komponen kompensasi PHK, yang terdiri dari pesangon, penghargaan masa kerja (PMK), dan penggantian hak (PH), dengan sedikit perubahan. Jika sebelumnya komponen PH ditetapkan 15 persen dari pesangon dan PMK, kini ketentuan itu dihilangkan dalam UU Cipta Kerja.
Tidak begitu jelas, apa yang menjadi alasan filosofis sehingga komponen kompensasi PHK harus dikelompokkan seperti itu. Ketika diterapkan, makna pengelompokan kompensasi PHK justru menjadi kabur.
Komponen PMK —sesuai namanya— semestinya ditempatkan sebagai semacam apresiasi atas usia pengabdian pekerja, yang sesuai ketentuan baru muncul jika masa kerja telah mencapai tiga tahun atau lebih.
Meski telah memenuhi syarat, pekerja ternyata juga dapat kehilangan PMK sehingga maksud dan tujuan pemberian PMK justru menjadi kabur. Misalnya, PHK dengan alasan mengundurkan diri. Berdasarkan ketentuan UU Ketenagakerjaan, ia hanya mendapat kompensasi PH dan uang pisah. Sedangkan atas komponen PMK, tidak berhak sama sekali. Meski ia telah memenuhi syarat.
Baca Juga: Buruh Bersiap Gugat Formil UU Cipta Kerja
Tidak jelas apa yang menjadi pertimbangan sehingga pemberian PMK harus dikaitkan dengan sebab musabab terjadinya PHK. Secara konsep, pemberian PMK adalah bentuk penghargaan atas masa pengabdian pekerja. Dan, semestinya tetap melekat meski di kemudian hari ia khilaf berbuat salah atau mengundurkan diri.
Produk hukum turunan UU Cipta Kerja perlu mengatur penerapan komponen kompensasi PHK secara tepat agar selaras dengan maksud dan tujuan pengelompokan kompensasi PHK. Jika tidak, untuk apa pula maksud dan tujuan pengelompokan komponen kompensasi PHK?
PKWT dan alih daya
UU Cipta Kerja juga menghapus sejumlah ketentuan yang berkaitan dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan sistem kerja alih daya.
Untuk PKWT, sebagian besar masih mengadopsi ketentuan UU Ketenagakerjaan. Bedanya, UU Cipta Kerja tidak mengatur dengan tegas soal batasan jangka waktu PKWT. Batasan jangka waktu PWKT ini oleh beberapa kalangan ditafsirkan sebagai kontrak kerja tanpa batas waktu.
Dari sisi nama, tentu tidak mungkin PKWT tanpa batas waktu. UU Cipta Kerja menyebutkan ketentuan jangka waktu PKWT akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Jika mengacu pada norma sebelumnya, jangka waktu PKWT paling lama adalah tiga tahun.
Boleh jadi, jangka waktu PKWT akan tetap sama tiga tahun atau paling lama enam tahun. Dan, ini berkaitan dengan kompensasi yang akan diberikan kepada pekerja kontrak PKWT ketika kontrak kerja berakhir.
Baca juga: RUU Cipta Kerja dan Ironi Kekuasaan Mayoritas
Pemberian kompensasi bagi pekerja kontrak (PKWT) merupakan terobosan dalam UU Cipta Kerja. Kini, pengusaha wajib memberikan uang kompensasi kepada pekerja jika PKWT berakhir. Formula perhitungannya masih akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Soal alih daya, UU Cipta Kerja juga menghapus ketentuan Pasal 64 dan Pasal 65 UU Ketenagakerjaan. Sebelumnya, ketentuan ini mengatur tentang jenis-jenis pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan alih daya.
Ini berarti tidak ada lagi batasan tegas mengenai jenis-jenis pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan alih daya. Semuanya diserahkan pada strategi bisnis dan kebutuhan perusahaan.
UU Cipta Kerja lebih banyak mengatur soal teknis pengaturan hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan alih daya. Dengan demikian, kontrol atas pelaksanaan sistem kerja alih daya hanya mengandalkan ketentuan yang mengatur perjanjian kerja, terutama ketentuan PKWT.
Harus diakui, pemberian kompensasi terhadap pekerja PKWT, ditambah jaminan kehilangan pekerjaan, merupakan sebuah terobosan yang dibuat UU Cipta Kerja. Meski tidak menjawab keseluruhan problematik sistem kerja PKWT dan alih daya, terobosan ini paling tidak mengembalikan makna filosofis kompensasi PHK itu sendiri.
Selama tidak memiliki sumber penghasilan karena PHK, pekerja tetap dapat menghidupi diri dan keluarganya hingga kemudian mendapatkan pekerjaan baru atau sumber lain. Itu lebih kurang filosofi kompensasi PHK.
Dan, terobosan ini paling tidak juga mengurangi perlakuan diskriminatif yang selama ini dialami pekerja dengan sistem kerja kontrak (PKWT) ataupun alih daya meski masih jauh dari sempurna.
Edy Sutrisno Sidabutar, Analis Ketenagakerjaan.