Berbagai pemangku kepentingan pendidikan menilai bahwa regulasi sektor pendidikan dalam RUU Cipta Kerja sangat kontraproduktif dengan cita hukum membangun sumber daya manusia berkarakter Indonesia.
Oleh
CECEP DARMAWAN
·5 menit baca
Bak gayung bersambut, pemerintah dan DPR akhirnya sepakat mengeluarkan sektor pendidikan dari RUU Cipta Kerja. Pencabutan tersebut dilakukan setelah pemerintah dan DPR mendengar berbagai aspirasi, kritik, dan masukan dari berbagai kalangan, khususnya para akademisi berbagai perguruan tinggi. Bahkan, mayoritas fraksi di DPR pun akhirnya bersikap sama, yakni menolak dimasukkannya subkluster pendidikan dalam RUU Cipta Kerja.
Adapun pasal-pasal yang dicabut dari RUU Cipta Kerja di antaranya Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, dan Pasal 71. Ketentuan itu mengatur berbagai perubahan, penghapusan, dan pengaturan baru dari beberapa ketentuan UU, seperti UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, UU No 14/2015 tentang Guru Dosen, dan UU No 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran.
Meski dinilai cukup alot dan lamban, langkah yang diambil oleh DPR ataupun pemerintah sudahlah tepat. Pasalnya, berbagai pemangku kepentingan pendidikan menilai bahwa regulasi sektor pendidikan dalam RUU Cipta Kerja sangat kontraproduktif dengan cita hukum membangun sumber daya manusia (SDM) berkarakter Indonesia.
Meski dinilai cukup alot dan lamban, langkah yang diambil oleh DPR ataupun pemerintah sudahlah tepat.
Secara politik hukum, nomenklatur sektor pendidikan yang masuk ke dalam rezim perizinan berusaha, menimbulkan paradoks. Alih-alih turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa, malah pendidikan diorientasikan pada komersialisasi terselubung atau motif mencari laba semata. Dengan demikian, dapat dinyatakan regulasi sektor pendidikan dalam RUU Cipta Kerja berpotensi membawa liberalisasi, komersialisasi, dan privatisasi di dunia pendidikan.
Hal ini bertentangan dengan amanat konstitusi bahwa pendidikan merupakan kewajiban dan tanggung jawab negara yang harus ditunaikan sebaik-baiknya. Bahkan, pendidikan merupakan wasiat penting dari para pendiri bangsa bagi generasi penerusnya. Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu rumusan tujuan nasional yang termaktub dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Anomali pendidikan
Secara materiil terdapat ketentuan pasal yang justru akan membawa anomali bagi dunia pendidikan di Indonesia. Terdapat sejumlah pasal yang secara eksplisit mengafirmasikan pengalihan kewenangan negara kepada sektor privat. Jika terjadi demikian, paradigma pendidikan di RUU Cipta Kerja direduksi menjadi semacam komoditas barang dan jasa semata.
Pandangan ini sangat materialistik dan bertentangan dengan filosofi bangsa, yakni Pancasila. Jika pandangan materialisme dalam bidang pendidikan dibiarkan, bahkan masuk dalam ranah UU, amat membahayakan bagi kehidupan bangsa ke depan.
Untuk itu, keputusan yang diambil oleh DPR dan pemerintah mencabut sektor pendidikan dari RUU Cipta Kerja patut diapresiasi. Keputusan ini menjadi pelajaran berharga bagi para pembentuk UU, yakni pemerintah dan DPR. Lebih jauh, pemerintah dan DPR mesti melakukan refleksi diri bahwasanya dalam pembentukan RUU harus membuka ruang-ruang demokrasi partisipasi.
Pandangan ini sangat materialistik dan bertentangan dengan filosofi bangsa, yakni Pancasila.
Ruang partisipasi publik secara masif sejatinya dibuka selebar-lebarnya agar lebih transparan dan publik sekaligus terlibat pada setiap proses perumusan kebijakan yang akan ditetapkan. Dengan kata lain, pembentukan UU harus membuka ruang dialog dan kanal diskursus atau perbincangan publik secara meluas.
Dengan dicabutnya sektor pendidikan dalam RUU Cipta Kerja, kini pengaturannya dikembalikan kepada UU existing. Akan tetapi, ke depan DPR dan berbagai pihak, baik organisasi masyarakat maupun tokoh pendidikan, harus tetap mengawal isu-isu pendidikan secara berkelanjutan. Pasalnya, kendati sektor pendidikan dicabut dari RUU Cipta Kerja, pemerintah justru mengusulkan pengaturan tentang pelaksanaan perizinan sektor pendidikan di kawasan ekonomi khusus (KEK).
Pelaksanaan perizinan sektor pendidikan tersebut nantinya akan dilakukan di KEK yang diusulkan oleh pemerintah pusat atau badan usaha milik negara. Pengaturannya pun dilakukan melalui peraturan pemerintah sehingga pelaksanaan perizinan pendidikan di KEK dapat dikontrol sepanjang waktu oleh pemerintah.
Persoalan tersebut tentu harus dikawal dan dikaji secara komprehensif oleh berbagai pihak. Jangan sampai pengaturan perizinan sektor pendidikan di KEK justru bertentangan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan tentang pendidikan. Apabila terjadi, hal ini justru akan menimbulkan persoalan baru di dunia pendidikan.
Ibaratnya, sektor pendidikan keluar dari mulut buaya, kemudian masuk ke kandang macan. Posisi itu hanya akan membuat pendidikan tetap jadi sektor yang lemah dan termarjinalisasi. Oleh karena itu, semua pihak wajib mengawal RUU Cipta Kerja agar tetap propublik dan kehidupan ekonomi kita lebih maju tanpa harus mengorbankan dunia pendidikan.
Khusus bagi para wakil rakyat di DPR, mereka harus tetap bertindak menjadi wali aspirasi rakyat. Tugas mereka mengagregasi dan mengartikulasikan kepentingan dan aspirasi publik secara baik.
Khusus bagi para wakil rakyat di DPR, mereka harus tetap bertindak menjadi wali aspirasi rakyat.
Pasca-pencabutan sektor pendidikan dari RUU Cipta Kerja, DPR harus juga mendukung dan mengawal ide dibentuknya Panitia Kerja (Panja) Peta Jalan Pendidikan (PJP) Indonesia oleh Komisi X DPR. Panja PJP dapat menjadi instrumen aspiratif untuk menampung berbagai masukan, usulan, dan aspirasi masyarakat terhadap perbaikan atau perubahan regulasi penyelenggaraan pendidikan nasional.
Kita berharap adanya Panja PJP dapat mengeluarkan usulan inisiatif dari DPR, khususnya Komisi X, untuk membentuk RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang baru dengan model omnibus law.
Pasca-pencabutan sektor pendidikan dari dalam RUU Cipta kerja, DPR perlu segera menginisiasi hak inisiatif untuk pembentukan RUU Sisdiknas model omnibus law. Hal ini dilatarbelakangi sejumlah alasan penting. Pertama, RUU Sisdiknas sudah 17 tahun berjalan dan perlu penyesuaian dengan konteks kekinian, termasuk persoalan disrupsi pendidikan dan tantangan era pandemi.
Kedua, dalam rangka penguatan desentralisasi pendidikan, khususnya implementasi kewenangan konkuren pada urusan pemerintahan wajib layanan dasar.
Ketiga, UU Sisdiknas yang berlaku saat ini dipandang masih parsial dan belum mengatur sebuah sistem pendidikan yang komprehensif. Terdapat sejumlah regulasi berbentuk UU di luar UU Sisdiknas yang substansinya tentang pendidikan. Alhasil, perlu harmonisasi dan sinkronisasi bidang pendidikan agar tidak terjadi inflasi regulasi pendidikan yang tumpang tindih.
Cecep Darmawan, Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia dan Sekretaris II Persatuan Guru Besar/Profesor Indonesia