Langkah Mahkamah Agung menerbitkan pedoman pemidanaan kasus korupsi merupakan langkah maju dan menjawab kegalauan publik.
Oleh
Editor
·2 menit baca
Langkah Mahkamah Agung menerbitkan pedoman pemidanaan kasus korupsi merupakan langkah maju dan menjawab kegalauan publik.
Pedoman pemidanaan itu tertuang dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 tentang pedoman hakim untuk pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi. Perma ditandatangani Ketua MA M Syarifuddin, 24 Juli 2020. Langkah Ketua MA patut diapresiasi untuk merespons kelelahan bangsa memerangi korupsi.
Dalam perma itu diatur soal kategori kerugian negara paling berat dalam kasus korupsi yang merugikan keuangan negara dan perekonomian lebih dari Rp 100 miliar. Kategori berat dengan kerugian Rp 25 miliar hingga Rp 100 miliar, kategori sedang Rp 1 miliar-Rp 25 miliar, dan kategori paling ringan kurang dari Rp 200 juta. Vonis hakim diharapkan mempertimbangkan derajat kesalahan, dampaknya bagi negeri, dan keuntungan yang didapat terdakwa. Jika semuanya masuk kategori berat, hakim bisa menjatuhkan hukuman 16 tahun hingga 20 tahun penjara atau seumur hidup.
Pedoman pemidanaan MA merupakan jawaban atas keresahan publik terhadap korupsi. Elite politik, termasuk pimpinan nasional, seperti lelah memberantas korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi telah diamputasi dan ”dikonstruksikan” sebagai cabang kekuasaan eksekutif. KPK kehilangan elan memberantas korupsi. Saat Wahyu Setiawan menawarkan diri menjadi whistle blower justru ditolak oleh jaksa KPK. Pantas jika kepercayaan publik kepada KPK turun. Polri dan kejaksaan kedodoran karena kasus Joko Tjandra.
Perma bisa menjadi harapan bagi publik untuk lebih bersemangat memberantas korupsi. Korupsi tak bisa dilepaskan dari pemahaman pejabat soal kekuasaan. Di sebagian pejabat, kekuasaan diperlakukan seperti milik pribadi. Akibatnya, kekuasaan ditransaksikan, termasuk mengeluarkan surat jalan untuk buron. Posisi seseorang sebagai penegak hukum dengan tanpa menimbang etika dan kepantasan bisa menemui buron di luar negeri. Sungguh menyedihkan.
Karena situasi kebatinan itulah, perma memberikan harapan. Progresivitas untuk memberantas korupsi justru harus terus disuarakan ketika KPK seperti kehilangan elannya memberantas korupsi. Jika mau dibuat lebih progresif, MA bisa menambahkan pedoman pemidanaan secara lebih keras dan menganjurkan hakim menjatuhkan pasal pidana tambahan. Pidana tambahan itu bisa diterapkan kepada politisi korup dengan mencabut hak politiknya, merampas kekayaan yang didapat dari korupsi, termasuk hukuman sosial lain. Korupsi di Indonesia yang akut dan berakar tak mungkin hanya diimbau jangan korupsi.
Perlu ada efek jera dan selanjutnya dilakukan pembenahan sistem. Ketika elite lelah memberantas korupsi, MA jangan lelah memberantas korupsi. MA harus berkomitmen dengan peraturan yang dibuat. Itu akan diuji oleh sejumlah kasus korupsi yang sedang ditangani MA di kasasi atau PK. Kalau hakim agung mengingkari, tamatlah marwah Mahkamah.