Tangan Terulur Hati yang Memeluk
Aktris Lola Amaria memasak telur asin, lalu membagikannya kepada mereka yang sedang isolasi. Pematung Nyoman Nuarta ”menukar” karya masterpiece ”Borobudur VI” dengan sejumlah APD dan masker bagi dokter dan tenaga medis.
daging kita satu arwah kita satu
walau masing jauh
yang tertusuk padamu berdarah padaku
Karena kata cuma milikku
Kujenguk kau dengan kata:
”Selamat jalan, batu paras
yang ditatah dengan kapak”
Dua kutipan puisi di atas berasal dari dua bait terakhir dua penyair kenamaan Indonesia. Puisi pertama berjudul ”Satu” karya Sutardji Calzoum Bachri dan puisi kedua karya Frans Nadjira bertajuk ”Selamat Jalan I Gusti Nyoman Lempad”. Secara ”nakal” saya mencoba mempertemukannya dalam satu helaan napas, seolah ia menjadi satu puisi yang ditulis oleh seorang penyair.
Dalam dua bait dari dua puisi berbeda, secara mengharukan kita menemukan makna kehadiran puisi sesungguhnya di tangan para penyair. Ia mengandung pesan kemanusiaan yang dalam: karena penyair cuma memiliki kata, maka katalah yang menjadi medium untuk melakukan ziarah kemanusiaan.
Puisi Sutardji, terutama pada baris terakhir, ”yang tertusuk padamu berdarah padaku”, sebuah uluran tangan yang menegaskan eksistensi manusia sebagai makhluk yang sama. Manusia berasal dari zat yang sama, dengan darah dan daging yang sama. Bahwa terdapat perbedaan di dalamnya, itulah molekul-molekul yang membuatnya menjadi mulia.
Baca juga: Para Dokter yang Mulia
Frans Nadjira secara khusus menulis puisi untuk maestro I Gusti Nyoman Lempad, salah seorang undagi (arsitek dan pelukis) kelahiran Bali, yang karya-karyanya diakui dunia. Sebagai penyair, Frans melakukan ziarah estetik untuk mengantarkan jenazah Lempad ke peristirahatan terakhir. Karena ia cuma memiliki kata, maka dengan katalah ia membangun ”monumen” untuk mengukuhkan jasa-jasa Lempad dalam dunia kesenian.
Hari-hari belakangan ini momen-momen puitis itu menjadi lebih konkret dengan berbagai tindakan mengharukan dari banyak warga. Di Wuhan, seorang bocah berusia 9 tahun setiap hari menangis karena ibunya, Liu Haiyan, seorang perawat, tidak pulang selama sepekan. Pada 31 Januari 2020, ayahnya kemudian mengajaknya menjenguk di rumah sakit setempat sembari membawa makanan kesukaan ibunya.
Pandemi Covid-19 yang mengobrak-abrik Wuhan ketika itu membuat Liu hanya bisa berdiri di depan pintu rumah sakit. Sementara anaknya mengulurkan tangan sebagai bahasa isyarat, betapa ingin ia memeluk ibunya.
Kisah ini berakhir dengan sang bocah menaruh makanan kesukaan ibunya di jalan setapak menuju pintu rumah sakit. Sambil terus menangis, sang bocah menyaksikan Liu melangkah mundur untuk kemudian terus membantu melawan virus korona.
Lewat akun Instragram, Juru Bicara Presiden RI Fajroel Rachman mengunggah peristiwa puitik lainnya. Seorang warga menaruh mi instan dan beras dalam sebuah keranjang yang ia sebut sebagai ”keranjang solidaritas”. Di pintu pagar besi ia menggantung tulisan, ”Silahkan ambil hanya yang Anda butuhkan saja. Sisihkan supaya yang lain bisa kebagian”.
Baca juga: Nyepi Menghentikan Waktu
Warga lain melakukan aksi serupa dengan menggantung mi instan di pintu pagar rumahnya. Mi instan berjumlah masing-masing empat bungkus itu diikat dengan seutas tali. Tanpa tulisan apa pun, siapa pun yang lewat dan membutuhkan makanan bisa mengambilnya.
Mungkin cara-cara memberikan bantuan semacam ini terlihat kecil, hanya seikat mi instan, itu pun digantung di pintu pagar. Namun, mereka yang menghayati nilai-nilai persaudaraan dan kepedulian menangkap pesan yang dalam. Bahwa penderitaan harus ditanggung bersama supaya menjadi ringan.
Pematung Nyoman Nuarta ”menukarkan” karya master piece ”Borobudur VI” dengan sejumlah APD (alat pelindung diri) dan masker bagi para dokter dan tenaga medis yang berada di garis depan melawan Covid-19.
”Mereka yang memberi nilai kurang lebih Rp 1 miliar,” kata Nuarta. Secara kebetulan, perusahaan tekstil dan garmen Sritex selama ini menjadi salah satu kolektor karya-karya Nuarta.
Tahun 2018, harian Kompas pernah mengumpulkan 60 gitaris dalam sebuah konser bernama Gitaris Indonesia Peduli Negeri: Musik dan Syair Solidaritas. Pada malam konser, Kamis (11/10/2018), tampil para gitaris kenamaan, seperti Ian Antono, Dewa Budjana, Eross ”Sheila on 7”, serta penyair senior Sapardi Djoko Damono, dan Joko Pinurbo. Dana yang terkumpul sejumlah Rp 3,6 miliar diperuntukkan bagi para korban bencana likuefaksi di Palu, Sulawesi Tengah.
Dalam lingkup dunia, tentu saja sejarah mencatat inisiatif musisi Bob Geldof bersama Midge Ure yang mengadakan konser amal Live Aid di Stadion Wembley, London, Inggris, dan Stadion JFK, Philadelphia, Amerika Serikat, tahun 1985. Konser di London dihadiri 72.000 orang dan di Philadelphia 90.000 orang.
Baca juga: Pengasingan Seekor Merpati
Konser ini kemudian menggema ke seluruh dunia sebagai aksi solidaritas atas bencana kemiskinan dan kelaparan di Etiopia, Afrika. Konser di Inggris dan Amerika Serikat akhirnya berhasil mengumpulkan donasi 283,6 juta dollar AS.
Apalah artinya seikat mi instan jika dibandingkan pendapatan dari konser Live Aid yang didukung para musisi tenar di seluruh dunia? Nilai sebuah bantuan bukan pada seberapa besar yang telah diberikan oleh seorang donatur, melainkan pada uluran tangan keikhlasan dan pelukan hangat sebagai ungkapan kebersamaan dalam penderitaan. Bukankah penderitaan yang ditanggung bersama jauh menjadi lebih ringan ketimbang berlimpah harta dalam kesendirian?
Intinya, ungkapan solidaritas bisa diekspresikan dalam berbagai cara sesuai dengan ”kemampuan” masing-masing. Karena para musisi menguasai bahasa musik, maka ia mengungkapkan rasa solidaritas dalam penderitaan dan kemiskinan dengan musik. Lewat musik Stadion Wembley dan JFK, menggemakan apa yang disebut oleh Sutardji sebagai, ”yang tertusuk padamu berdarah padaku”.
Sutardji bukanlah penyair yang hidupnya berkecukupan. Hari-harinya ia lewati dengan menghayati puisi dan bermain harmonika sebagai pilihan hidupnya. Setiap hari ia menghayati kata demi kata untuk sampai pada nilai-nilai kemanusiaan yang universal. ”Aku begini, kata jadi mediumku menghayati kemanusiaanku,” katanya.
Berbanding lurus dengan Frans. Meskipun terkadang bisa hidup dari melukis, Frans pada dasarnya seorang penyair yang ”keras kepala”. Kata adalah bagian dari caranya menemukan kesejatian hidup. Maka, ketika seniman besar yang diakui dunia, I Gusti Nyoman Lempad, tiada, ia hanya ”mampu” menulis, ”Karena kata cuma milikku/kujenguk kau dengan kata/.”
Baca juga: Oleander Mekar di Musim Wabah
Kalimat ini tidak saja mewakili kata hatinya, tetapi juga menjadi bahasa simbolik untuk mengatakan secara lebih verbal, ”Apa yang kau miliki, itulah yang mesti kau ulurkan kepada mereka yang menderita. Selebihnya berikanlah itu dengan pelukan hati yang hangat, agar melahirkan kebahagiaan,” kata Frans suatu hari kepada saya.
Di masa sulit ini, aktris dan sutradara film Lola Amaria cuma memiliki ”kemampuan” memasak telur asin. Maka saban hari ia memasak telur asin yang kemudian ia bagi-bagikan kepada orang-orang sekitarnya yang sedang menjalani isolasi di rumah masing-masing. ”Cuma telur asin dan beberapa menu masakan yang bisa aku buat dan aku berikan kepada yang butuh,” katanya.
Telur asin menjadi bahasa puisi di musim pandemi. Ia seolah mewakili penderitaan banyak orang, tidak saja mereka yang ”selamat” dari sergapan Covid-19, tetapi juga mereka yang sedang berjuang melawan virus global ini di banyak rumah sakit di dunia.
Pergulatan selalu menggoreskan rasa getir dan asin, tetapi tanpanya hidup akan berjalan hambar dalam garis lurus yang membosankan. Kelokan dan tanjakan, semoga akan berujung pada taman luas di mana bunga-bunga semerbak memancarkan keharuman.
Jika kedekatan tubuh harus dibatasi, cukuplah mengulurkan tanganmu, lalu peluklah dengan hati hangat. Semoga lahir menjadi pelukan paling sempurna yang pernah kita resapi selama perjalanan hidup kita. Sabbe satta bhavantu sukhitatta, semoga semua makhluk berbahagia….