Dominasi Erling Haaland di Liga Inggris ternyata masih sebatas angka individu. Performa City ternyata lebih baik musim lalu, tanpa Haaland.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·5 menit baca
LONDON, SENIN — Meskipun baru setengah musim berjalan, penyerang Manchester City, Erling Haaland, sudah pantas dinobatkan sebagai predator tertajam yang pernah hadir di Liga Inggris. Mirisnya, dominasi Haaland sejauh ini ternyata tidak cukup menjadikan City sebagai tim yang lebih baik.
Haaland bagai lokomotif yang tidak terhentikan dalam musim perdana di City. Dia memuncaki daftar pencetak gol terbanyak sementara di liga (25 gol), saat City baru bermain 21 kali dari total 38 laga. Sebagai pembanding, jumlah golnya cukup untuk meraih gelar ”Sepatu Emas” pada empat musim terakhir.
Sang striker menyumbang nyaris separuh dari total gol City (53 gol). Namun, Haaland ternyata tidak membuat ”The Citizens” lebih baik secara keseluruhan. Menurut Squawka, performa tim asuhan manajer Josep Guardiola itu justru menurun dalam berbagai aspek dibandingkan musim lalu.
Rerata gol City ternyata menurun, dari 2,61 gol ke 2,52 gol. Padahal, musim lalu mereka hanya memakai jasa Phil Foden yang bukan penyerang murni sebagai ujung tombak. Begitu juga dengan sentuhan di kotak penalti, 41,8 kali ke 37,4 kali dan penguasaan bola, 68,3 persen ke 65,4 persen.
Puncaknya, produksi poin City menurun drastis. Mereka menjuarai musim lalu dengan 93 poin. Musim ini, mereka berpotensi hanya meraih 81 poin jika dihitung lewat rerata poin saat ini. Hanya Leicester pada 2015-2016 yang bisa juara dengan tidak lebih dari 81 poin dalam satu dekade terakhir.
Kita belum melihat pengaruh besar Haaland. Dia mencetak banyak gol, tetapi gol City masih hampir sama (seperti musim lalu). Belum lagi fakta City lebih banyak kemasukan dan lebih rentan saat serangan balik lawan. Haaland sepertinya salah memilih tim.
”Kita belum melihat pengaruh besar Haaland. Dia mencetak banyak gol, tetapi gol City masih hampir sama (seperti musim lalu). Belum lagi fakta City lebih banyak kemasukan dan lebih rentan saat serangan balik lawan. Haaland sepertinya salah memilih tim,” kata bek legendaris Jamie Carragher kepada Sky Sports.
City, lanjut Carragher, tidak bisa memaksimalkan Haaland yang punya kecepatan lari tinggi untuk skema serangan balik. Sebaliknya, Haaland juga tidak optimal membantu proses serangan berbasis penguasaan bola di tengah tumpukan pemain bertahan lawan. Dia hanya digunakan untuk mencetak gol.
Masalah lain adalah ketergantungan City terhadap Haaland. Hal itu terlihat jelas ketika mereka takluk 0-1 di Stadion Tottenham Hotspur, London, pada Senin (6/2/2023). Mereka tidak banyak berbicara di kotak penalti lawan, saat Haaland juga gagal mencatatkan satu tembakan pun.
Semua pemain City seperti hanya mengandalkan Haaland untuk mencetak gol. Mereka begitu sering memberikan umpan silang ke tiang jauh agar disambut penyerang asal Norwegia tersebut. Pola serangan itu berulang, begitu monoton dan sangat mudah dibaca lawan.
Di sisi lain, permainan Haaland-sentris sudah dapat dibaca oleh tim-tim Inggris. Mereka memang kesulitan berduel fisik dengan Haaland, tetapi bisa memutus garis umpan ke arahnya. Cara itu dieksekusi sempurna oleh tiga bek tengah Spurs.
Haaland sampai harus mencari bola ke lini tengah. Sayangnya, dia bukanlah tipe penyerang yang berbahaya ketika jauh di luar kotak penalti. Seperti lawan-lawan City sebelumnya, Spurs bertahan sangat rapat setelah unggul cepat menit ke-15 lewat gol Harry Kane.
Rumus menghentikan Haaland mulai diketahui para lawan. Terbukti, dia hanya mencetak delapan gol dalam 10 laga terakhir di seluruh kompetisi sejak jeda Piala Dunia Qatar 2022. Adapun dalam 10 laga pertama berseragam City, dia menciptakan 14 gol, di antaranya dua kali hattrick.
Adaptasi Guardiola
Kegundahan Guardiola mulai terlihat dari perubahan strategi beberapa laga terakhir. Di laga versus Spurs, dia memasang dua penyerang sekaligus dalam formasi 4-4-2, yaitu Haaland dan Julian Alvarez. Alvarez menggantikan gelandang Kevin De Bruyne untuk memanfaatkan gravitasi Haaland.
”Kami ingin lebih rapat saat bertahan dan menyerang. Itu mengapa saya menurunkan dua penyerang sekaligus. Tujuannya juga agar mereka bisa memanfaatkan suplai langsung dari lini tengah Bernardo (Silva) pada paruh pertama dan Kevin pada paruh kedua,” tutur Guardiola.
Strategi dua penyerang itu berhasil ketika menang atas Arsenal 1-0 dalam laga Piala FA di Stadion Etihad, akhir pekan lalu. Namun, hal itu tidak terlalu berfungsi ketika melawan Spurs. City kekurangan kreativitas karena harus mengurangi satu gelandang, terutama mencadangkan De Bruyne.
Sementara itu, perbedaan paling terasa City dibandingkan musim lalu adalah soal bertahan dengan blok tinggi. Tim dengan permainan ekstra ofensif seperti mereka selalu ingin merebut bola sejak garis pertahanan lawan. Sering kali, pertahanan tinggi itu menginspirasi gol hasil dari kesalahan lawan.
Haaland bukanlah sosok terbaik untuk memainkan skema bertahan itu. Dia tidak punya agresivitas seperti mantan penyerang City, Gabriel Jesus, yang hengkang pada musim panas lalu. Terlihat dalam statistik, Haaland hanya mencatat 0,11 tekel per 90 menit, saat Jesus menghasilkan 1,41 tekel per 90 menit di Arsenal musim ini.
Meskipun tidak tampak berpengaruh besar, kontribusi ujung tombak dalam pertahanan itu mungkin menjadi salah satu masalah City. Faktanya, City sudah kemasukan 21 gol di separuh perjalanan liga musim ini, hanya selisih lima gol dari jumlah total kemasukan pada musim lalu.
Akibat kekalahan dari Spurs, City harus melewatkan kesempatan untuk mendekati pemimpin klasemen sementara Arsenal. Padahal, sehari sebelumnya, Arsenal takluk dari tim zona degradasi Everton. City pun harus puas menempati peringkat kedua (45 poin), tertinggal lima poin dari Arsenal yang masih menyimpan satu laga.
Saat bersamaan, krisis lebih besar sudah menanti City. Menurut The Times, City terlibat dalam lebih dari 100 tuduhan pelanggaran aturan keuangan oleh Liga Inggris selama periode sembilan tahun, 2009-2018. Jika terbukti, mereka bisa diganjar pengurangan poin sampai dikeluarkan dari liga. (AP/REUTERS)