Klub-klub Inggris Paling Sejahtera di Dunia berkat Pengelolaan Baik Liga
Sebanyak 11 klub di Liga Inggris masuk daftar 20 klub paling sejahtera sejagat. Liga yang sempat tertinggal akibat ulah suporter itu kini melesat berkat langkah pengelolaan liga yang baik dan modern.
LONDON, KAMIS — Pengelolaan yang profesional melalui aturan dan sistem yang konsisten adalah modal Liga Inggris menjadi kompetisi sepak bola terbaik di dunia. Selain meningkatnya daya saing, klub-klub Inggris telah menapaki kemakmuran finansial yang kini sangat sulit ditandingi wakil Eropa lainnya.
Ketika mayoritas kompetisi sepak bola Eropa dijerat krisis finansial akibat pandemi Covid-19, klub Liga Inggris mampu terhindar dari masalah pendanaan. Klub-klub dari negara itu menjadi yang paling cepat pulih dan kembali mencetak nilai rekor baru pendapatan.
Dominasi finansial klub-klub Liga Inggris itu diperlihatkan Deloitte, firma keuangan internasional, dalam laporan Money League 2023 yang dirilis Kamis (19/1/2023). Untuk pertama kalinya dalam sejarah, lebih dari separuh dalam daftar 20 klub dengan pendapatan tertinggi di dunia berasal dari satu negara, yaitu Inggris. Total 11 klub Inggris masuk daftar klub termakmur pada musim 2021-2022.
Klub-klub di peringkat enam besar Liga Inggris musim lalu, yaitu Manchester City, Liverpool, Chelsea, Tottenham Hotspur, Arsenal, dan Manchester United, bahkan masuk dalam 10 besar tim paling sejahtera menurut Money League 2023. Posisi puncak ditempati City.
Baca juga : Liga Inggris Mencetak Rekor Pengeluaran Terbesar
Padahal, tiga setengah dekade lalu, Liga Inggris pernah terpuruk dan kalah populer, khususnya dari Liga Italia. Seperti di Indonesia, Liga Inggris pernah ”tersandera” hooliganisme suporter dan buruknya pengendalian massa. Sepak bola mereka sempat berada di titik terendah menyusul Tragedi Stadion Hillsborough yang menewaskan 97 suporter pada April 1989.
Tragedi itu memicu pembenahan masif, terutama regulasi suporter. Salah satu bentuknya adalah Undang-Undang Suporter Sepak Bola yang dilahirkan Parlemen Inggris pada 1989. Undang-Undang itu berdampak pada modernisasi, yaitu diterapkannya sistem identifikasi penonton dan kursi tunggal di stadion. Maka, suporter pembuat onar bisa langsung ditindak, stadion pun lebih modern.
Lambat laun, iklim sepak bola yang kondusif di sana memungkinkan dana asing bisa lebih banyak mengalir. Investasi asing itu pun diatur pemerintah setempat agar bisa sungguh meningkatkan kesejahteraan klub. Dari 20 kontestan Liga Inggris musim ini, 15 klub di antaranya dimiliki investor mancanegara.
”Investasi yang berjalan di Liga Inggris telah meningkatkan daya tarik global dan pertumbuhan hak siar yang signifikan. Liga-liga lain kini berusaha memangkas kesenjangan (finansial) dengan Liga Inggris,” ujar Asisten Direktur Grup Bisnis Olahraga Deloitte Zal Udwadia dikutip The Guardian.
Baca juga : Tidak Digaji, Mengapa Jabatan Ketua Umum PSSI Begitu “Seksi”?
Tidak hanya Deloitte, Brand Finance—konsultan penilai jenama independen—juga memperlihatkan dominasi klub-klub Inggris. Dalam laporan ”Football 50, 2022” yang mereka buat, enam klub Inggris masuk dalam daftar 10 besar jenama sepak bola paling bernilai. Mereka adalah City (posisi kedua), Liverpool (4), MU (5), Spurs (8), Chelsea (9), dan Arsenal (10).
Keberhasilan City menjaga posisinya di puncak Money League, yaitu dengan pemasukan 731 juta euro (Rp 11,9 triliun), dipengaruhi oleh pendapatan komersialnya yang naik signifikan. Nilai kerja sama klub itu dengan empat sponsor, yaitu Etihad Airways, Nexen Tire, Cisco, dan Nissan, naik drastis.
Selain itu, selama 2021-2022, City menjalani kemitraan baru global dengan jenama lainnya, seperti OKX, Emirates Palace, Asahi Super Dry, Aldar Properties, Sony, Masdar, Qualtrics, Recast, dan WeWork. Alhasil, klub berjuluk ”The Citizens” itu menerima 373 juta euro (Rp 6,1 triliun) dari sponsor atau naik 51 persen dibandingkan musim sebelumnya, yaitu 2020-2021.
Kini, jika memperluas ranking menjadi 30 besar, maka ada 16 tim Inggris di daftar itu. Hanya masalah waktu 20 tim Liga Primer Inggris masuk dalam daftar 30 besar kami nantinya.
Dalam laporan keuangan musim 2021-2022 yang dikeluarkan November lalu, City juga mencatatkan rekor pendapatan dan keuntungan tertinggi dalam sejarah. Adapun saham mayoritas klub itu dimiliki konsorsium Uni Emirat Arab. Pendapatan City periode itu mencapai 613 juta pounds (Rp 11,47 triliun), adapun profit sejumlah 41,7 pounds (Rp 780,9 miliar).
”Performa pendapatan kuat kami disebabkan beberapa faktor, terutama dipengaruhi sepak bola indah yang kami mainkan dan pertumbahan jumlah fans. Lebih banyak pendukung, penonton, dan orang di stadion, kian banyak pula mitra yang ingin terasosiasi secara komersial dengan kami,” ujar CEO Manchester City Ferran Soriano dilansir laman klub itu.
Adapun Liverpool, yang menembus final Liga Champions Eropa musim lalu, menjadi klub dengan peningkatan ranking finansial tertinggi. Mereka melesat dari peringkat ketujuh ke posisi ketiga di Money League 2023. Pendapatan tertinggi ”Si Merah” berasal dari hak siar sebesar 314 juta euro (Rp 5,15 triliun). Peningkatan angka hak siar itu tidak lepas dari kiprah konsisten mereka di kompetisi antarklub Eropa tersebut.
Adapun Manchester United, klub Inggris lainnya, berada di peringkat keempat. Sementara trio klub London, yaitu Chelsea, Spurs, dan Arsenal, berada di posisi kedelapan hingga kesepuluh. Arsenal kembali masuk ke peringkat 10 besar daftar klub sejahtera itu dengan menyingkirkan Juventus. Terakhir kali sebelumnya Arsenal masuk daftar 10 besar Money League adalah pada 2019 lalu.
Jumlah duta Inggris itu adalah lonjakan pesat jika melihat laporan Money League edisi perdana pada 2006. Ketika itu, hanya ada delapan klub Liga Inggris yang masuk daftar 20 besar. Inggris pun menjadi satu-satunya negara yang mampu menambah jumlah wakilnya di daftar 20 besar dunia sejak itu.
Baca juga : Kompetisi Abnormal, Efek Domino Menanti
”Kini, jika memperluas ranking menjadi 30 besar, maka ada 16 tim Inggris di daftar itu. Hanya masalah waktu 20 tim Liga Primer Inggris masuk dalam daftar 30 besar kami nantinya,” ujar Udwadia.
Dua liga bergengsi lainnya, yaitu Liga Spanyol dan Liga Jerman, tidak mengalami penambahan jumlah klub di daftar 20 besar sejak 2006. Kedua liga itu, masing-masing, hanya menempatkan tiga dan dua wakilnya pada laporan terbaru.
Liga Spanyol menempatkan Real Madrid (peringkat kedua), Barcelona (ketujuh), dan Atletico Madrid (ke-12) pada daftar itu. Presiden La Liga (operator Liga Spanyol) Javier Tebas menilai, klub-klub di liga Eropa lainnya kesulitan mengimbangi finansial klub Liga Inggris.
Revolusi kompetisi
Menurutnya, dominasi Inggris itu tidak lepas dari revolusi kompetisi sepak bola negara itu yang dimulai pada 1992 seusai lahirnya Undang-Undang Suporter Sepak Bola. Revolusi itu didukung penuh oleh Pemerintah Inggris yang ketika itu meyakini sepak bola bisa menjadi industri raksasa.
”Sebagai contoh, dalam sisi struktur kompetisi dan stadion, saya rasa kami di Spanyol baru bisa setara dengan capaian Inggris saat ini pada empat hingga enam tahun mendatang,” kata Tebas kepada Marca.
Baca juga : Misi Manchester City Melepas ”Gembok” Haaland
”Mereka (klub Inggris) juga amat dominan di bursa transfer pemain karena didanai oleh pemiliknya dan diizinkan membeli pemain (baru), meskipun tengah mengalami kerugian (finansial),” ucap Tebas.
Kontras dengan Inggris, wakil Liga Italia di Money League terus menurun drastis. Pada laporan terbaru, hanya ada tiga klub negara itu yang masuk 20 besar. Pada 2006 silam, mereka masih diwakili lima tim. Bahkan, kini tidak ada satu pun klub Italia yang masuk 10 besar.
Untuk kali pertama dalam satu dekade terakhir, wakil Italia, yaitu Juventus, terlempar dari zona ”elite” itu. Andrea Agnelli, mantan Presiden Juve, pesimistis klub Italia bisa mengejar disparitas finansial dengan klub Inggris. Pada pidato pengunduran dirinya dari posisi puncak eksekutif di Juve, Rabu (18/1), di Turin, Italia, Agnelli menilai, kesetaraan finansial hanya bisa tercipta jika ada perubahan signifikan di kompetisi antarklub Eropa, seperti menjalankan Liga Super Eropa.
”Apabila tidak ada reformasi strukur kompetisi di Eropa, liga lainnya akan mengalami penurunan daya tarik yang tak terhindarkan. Liga Inggris akan kian dominan,” ujar Agnelli dikutip Tuttosport.