Tidak Digaji, Mengapa Jabatan Ketua Umum PSSI Begitu “Seksi”?
Untuk kali pertama, menteri, selebritas, dan legenda sepak bola nasional, saling berlomba untuk menjadi pengurus baru PSSI. Padahal, jabatan itu tidak digaji. Lantas, apa yang dicari?

CEO Rans Nusantara FC Raffi Ahmad (kanan) mendukung Menteri BUMN Erick Thohir sebagai calon Ketua Umum PSSI Periode 2023 - 2027 karena dinilai sebagai sosok yang memiliki nyali untuk membenahi sepak bola Indonesia.
Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) adalah anomali di negeri ini. Selayaknya organisasi induk cabang olahraga nasional lainnya, jajaran pengurusnya tidak digaji sepeser pun. Sebaliknya, ketua umum dan jajarannya seyogyanya justru harus mengorbankan waktu, tenaga, bahkan biaya, untuk membesarkan organisasi itu.
Maka, pada umumnya, peralihan pengurus induk cabor di Tanah Air minim animo pendaftar dan nyaris tidak mendapatkan sorotan luas. Kondisi itu berbanding terbalik dengan PSSI. Hiruk-pikuk hampir selalu menyertai peralihan pengurus pusat induk sepak bola nasional itu, terutama sejak era reformasi pada awal 2000-an lalu.
Menjelang Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI untuk pemilihan pengurus PSSI periode 2023-2027 pada 16 Februari 2023 mendatang, suasana pun kian semarak. Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah, pejabat tinggi publik, pengusaha, kalangan selebritas, hingga legenda sepak bola, berlomba-lomba mengadu peruntungannya untuk menjadi nakhoda ataupun masuk kabinet baru PSSI.
Baca juga : Komite Pemilihan Umumkan Lima Bakal Calon Ketua Umum PSSI
Di posisi ketua umum, ada dua nama besar yang punya keunggulan setara untuk menjadi orang nomor satu di sepak bola Indonesia. Kedua tokoh itu adalah Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir dan Ketua Dewan Perwakilan Daerah La Nyalla Mattalitti. Adapun tiga calon lainnya di posisi ketua umum, yaitu CEO Bandung Premier League Doni Setiabudi, CEO Nine Sports Arif Putra Wicaksono, dan Ketua Komsi V DPR Fary Djemy Francis, hadir kembali untuk menuntaskan penasaran setelah gagal pada pencalonan periode sebelumnya.

Selain hadirnya dua “gajah” di posisi nomor satu, Erick dan La Nyalla, posisi bakal calon Anggota Komite Eksekutif PSSI juga diramaikan selebritas kondang, Raffi Ahmad. Ia dan Erick, yang berada dalam satu “koalisi”, adalah orang-orang baru di bursa pencalonan pengurus PSSI. Kedua tokoh publik itu sudah punya popularitas, takhta, dan harta, yang tidak bisa dilihat sebelah mata, bahkan hanya bisa diimpikan mayoritas orang.
Pertanyaannya, mengapa mereka harus susah payah turun gunung untuk mencoba mengurus PSSI dan sepak bola nasional yang selama ini dikenal sarat persoalan, alih-alih prestasi? Mengejar gaji ataupun harta agaknya tidak masuk alasan mereka. Seperti pernah disampaikan sejumlah mantan ketua umum maupun yang masih aktif, yaitu Mochamad Iriawan, jajaran Komite Eksekutif (Exco) PSSI tidak menerima gaji.
Mereka yang digaji secara rutin hanyalah jajaran pengurus di kesekretariatan, yaitu mulai dari sekretaris jenderal, direktur, manajer, dan staf lainnya. Para Exco PSSI, termasuk ketua umum, tak jarang harus mengeluarkan kocek pribadi untuk menutupi kebutuhan operasional organisasi itu. Hal itu antara lain diakui La Nyalla, Ketua Umum PSSI periode 2015-2019. Ia pernah memakai dana sendiri untuk merenovasi Gedung PSSI di dalam kawasan Stadion Utama Gelora Bung Karno.
Baca juga : 2023 Mendaftar Lagi, 10 Anggota Komite Eksekutif PSSI 2019-2023
“Kalau dibilang PSSI banyak duit, jangan tergiur. Kita tutup lubang, gali lubang. (Keuangan PSSI) minus 17 miliar. Mafia bola di PSSI? Apa yang mau dimafiakan?” ungkap La Nyalla dalam diskusi “Suporter Bertanya, PSSI Menjawab”, 5 Juli 2015 lalu.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F11%2F13%2F30267c07-e6d9-467c-ac2d-77817553bca1_jpeg.jpg)
Ketua DPD La Nyalla M Mattalitti.
Menariknya, saat itu, Nyalla menyebut satu-satunya pendahulunya yang menerima gaji. “Djohar (Arifin, Ketua Umum PSSI 2011-2015) sebulan dapat Rp 50 juta dari PSSI. Apa pantas pengurus mendapatkannya? Kalau karyawan sih iya,” ujar La Nyalla, pengusaha dan pucuk pimpinan salah satu ormas di Jatim, yang dikenal blak-blakan dalam berbicara, saat itu.
Insentif operasional
Djohar, saat itu, membela diri dan berkata, gaji yang dimaksud Nyalla adalah insentif operasional bulanan dirinya yang telah disepakati bersama para pengurus di eranya. Singkat kata, kerja mereka di organisasi itu bukanlah pro-bono. Tetap ada “buah” yang dipetik dari kerja mereka, meskipun tidak pernah diketahui pasti nilainya mengingat ketertutupan PSSI selama ini.
Apa pun itu, jabatan Exco PSSI, apalagi ketua umum, memiliki nilai strategis. Exco PSSI, secara kolektif dan kolegial, misalnya, berwenang menggolkan sponsor maupun hak siar kompetisi Liga 1 yang nilai anggarannya bisa mencapai ratusan miliar per musim. Mereka juga punya hak eksklusif mengelola dana pendapatan dari tiket laga tim nasional maupun kelompok umur lainnya. Selain itu, mereka juga sepenuhnya boleh mengelola dana denda hukuman disiplin dan block grant ataupun proyek kerjasama dari FIFA yang nilainya tak sedikit.
PSSI adalah representasi dari Indonesia. Survei Nielsen pada 2022 menyebut, 69 persen penduduk Indonesia menggemari sepak bola. Artinya, olahraga ini sangat strategis untuk mendongkrak citra dan popularitas.
Di atas semua itu, yang terpenting, Exco PSSI adalah jabatan paling “seksi” di antara cabor lainnya di Tanah Air. Posisi pucuk, yaitu ketua umum, bahkan kerap dianggap sebagai “puncak” yang sulit didaki. Ibarat pendaki di Piramida Carstensz, Papua, jika mampu meraih puncak tertinggi di Tanah Air itu, mereka punya modal pengalaman menaklukkan puncak-puncak lainnya, bahkan “World's Seven Summits”.

Batu loncatan karier
Ya, sejarah berbicara, posisi nomor satu di PSSI biasanya menjadi batu loncatan untuk karier yang lebih tinggi. Berkat pengalaman pelik di PSSI, yaitu ketika dibekukan pemerintah, La Nyalla bisa meraih jabatan Ketua DPD, meskipun ia sempat didakwa kasus korupsi yang lantas tidak terbukti. Adapun Djohar “meloncat” ke Senayan sebagai Anggota DPR setelah meninggalkan PSSI.
Adapun Edi Rahmayadi, Ketua Umum PSSI pertama pasca-era pembekuan, yaitu periode 2016-2019, mewujudkan ambisinya menjabat Gubernur Sumatera Utara. Ia bahkan sempat merangkap jabatan publik itu dengan Ketua Umum PSSI karena memang tak ada larangan tertulis di dalam Statuta PSSI. Jejak Edy ingin ditiru Iriawan yang sangat berminat menjadi Gubernur Jawa Barat.
PSSI adalah representasi dari Indonesia. Survei Nielsen pada 2022 menyebut, 69 persen penduduk Indonesia menggemari sepak bola. Artinya, olahraga ini sangat strategis untuk mendongkrak citra dan popularitas. Setiap timnas bermain, tak peduli bagaimana prestasi mereka, penonton selalu penuh sesak. Hanya di Indonesia pula laga sepak bola rutin dihadiri oleh Kepala Negara. Indonesia juga satu-satunya negara di dunia yang stadionnya sering penuh sesak penonton ketika menggelar laga timnas kelompok umur.
Baca juga : Mendambakan Ketua Umum PSSI yang Berani dan Berkomitmen
Tak heran, pada masa lalu, khususnya seusai reformasi, “politik uang dan kepentingan” tak jarang berbicara dalam menentukan posisi Exco PSSI. Nurdin Halid, Ketua Umum PSSI 2003-2011, bahkan sampai mati-matian ingin mempertahankan jabatannya dari bui, yaitu saat tersandung kasus Bulog. Pertarungan kepentingan bahkan sempat menyebabkan perpecahan berupa dualisme PSSI pada 2011. Klub-klub pun sempat “dikloning” karena sepak bola di Indonesia ibarat gula, komoditas berharga.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F16%2Fa856a5da-845b-4688-9808-8af3f8dcc9c6_jpeg.jpg)
Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali menerima perwakilan klub Liga 2 serta pemain dalam audiensi di Kantor Kemenpora, Jakarta, Senin (16/1/2023). Menpora berjanji akan mencari jalan keluar agar Liga 2 dan Liga 3 yang dihentikan oleh PSSI bisa dilanjutkan. Sebab, klub maupun pemain mengalami kerugian besar karena penghentian kompetisi tersebut.
Kondisi itu kontras dengan era pemerintahan terpimpin, baik pada Orde Lama maupun Orde Baru. Pada dua masa itu, posisi Ketum PSSI biasanya memang ditempati para pejabat publik, bahkan menteri, untuk menjaga soliditas. Kardono, Azwar Anas, dan Agum Gumelar, antara lain adalah barisan pejabat publik yang pernah mendapat "restu" presiden menempati posisi itu.
Mercusuar bangsa
Presiden kedua Indonesia, Soeharto, pernah menantang PSSI untuk membentuk timnas yang kuat yang karena ia meyakini olahraga, khususnya sepak bola, adalah salah satu etalase daya kompetitif sebuah bangsa. Lebih lagi dengan Presiden RI pertama, Soekarno. Ia menjadikan olahraga sebagai mercusuar daya saing bangsa yang dibuktikan dengan berdirinya infrastruktur megah pada masanya, Stadion Utama Gelora Bung Karno (1962).
Ironisnya, seberapa pun besar publik menganggap PSSI penting dan berharga atas nama sepak bola Indonesia, proses pemilihan Exco PSSI selama ini jauh dari kata transparan ataupun demokratis. Tidak pernah ada yang namanya debat terbuka untuk mengukur kualitas dan kapabilitas kandidat.
Tujuan PSSI adalah mendidik rakyat dengan perantaraan voetbalsport (sepak bola). Maka, kita yang insyaf sport itu untuk (tujuan) kemanusiaan, harus berupaya bekerja demi kepentingan Indonesia. (Soeratin)
Publik hanya bisa menjadi penonton karena jajaran exco terpilih mutlak ditentukan suara voters yang kini berjumlah 87. Mereka antara lain terdiri dari 18 klub Liga 1, 16 klub Liga 2, dan 34 Asosiasi Provinsi PSSI. Mereka lantas memilih satu-persatu posisi, mulai dari ketua umum, wakil ketua umum, dan anggota, dengan suara terbanyak. Calon yang memiliki pengaruh, lobi, bahkan “modal” besar, biasanya unggul, tak peduli kapabilitasnya.

Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat Marciano Norman menyampaikan sambutan saat Kongres Biasa PSSI 2023 di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (15/1/2023). PSSI menggelar Kongres Biasa 2023 untuk membahas sejumlah agenda, yakni pengesahan laporan aktivitas dan keuangan 2022, rencana program dan anggaran 2023, serta penetapan susunan Komite Pemilihan (KP) dan Komite Banding Pemilihan (KBP).
Maka, tak jarang, siapa yang terpilih, mulai dari jajaran ketua umum sampai anggota, sudah dapat ditentukan sebelum kongres pemilihan digelar. Biasanya, calon ketua umum dan “gerbong”-nya telah gencar melakukan pendekatan dan sosialisasi ke voters, jauh sebelum kongres digelar. Tidak heran, dalam satu dekade terakhir, yang terpilih nyaris selalu menang dengan suara mutlak atau di atas 90 persen.
Harus diakhiri
Era lama itu harus diakhiri, jika kasus menyedihkan yang menampar semua stakeholder sepak bola nasional, yaitu Tagedi Kanjuruhan, tak ingin terulang. Ketika negara tetangga, seperti Thailand dan Malaysia, telah lepas landas mengejar prestasi level regional maupun kontinental dan menemukan “DNA” sepak bolanya, kita masih saja bergulat dengan urusan mendasar, yaitu organisasi.
Barangkali, pihak-pihak berkepentingan bisa merenungkan kembali perkataan pendiri dan Ketua Umum PSSI pertama, Soeratin, pada 1930 silam. “Tujuan PSSI adalah mendidik rakyat dengan perantaraan voetbalsport (sepak bola). Maka, kita yang insyaf sport itu untuk (tujuan) kemanusiaan, harus berupaya bekerja demi kepentingan Indonesia,” ujar Soeratin yang menjadikan PSSI pada masanya sebagai alat untuk persatuan melawan penjajah Belanda.
Maka, dalam pemilihan nantinya, sudah saatnya keluarga sepak bola nasional menggunakan nuraninya dan berjuang untuk kepentingan besar, yaitu kemanusiaan dan bangsa, alih-alih kelompoknya.