Utopia Peningkatan Kualitas Liga 1
Kualitas Liga 1 Indonesia semakin tertinggal dibandingkan liga lain di Asia Tenggara. Kompetisi darurat pembenahan dengan perlunya visi perbaikan yang jelas dan peningkatan sumber daya manusia perangkat pertandingan.

Pesepak bola Bhayangkara FC Ezechiel Ndouasel (kiri) berusaha mengecoh penjaga gawang Persikabo 1973 Syahrul Trisna Fadillah (kanan) saat pertandingan Liga 1 di Stadion Kompyang Sujana, Denpasar, Bali, Minggu (20/2/2022). Bhayangkara FC berhasil mengalahkan Persikabo 1973, 4-0.
Liga 1 2022-2023 adalah edisi ke-28 kompetisi sepak bola tertinggi di Indonesia sejak penyatuan Liga Sepak Bola Utama atau Galatama dan Liga Perserikatan pada 1994. Meski kompetisi telah beberapa kali bongkar pasang format hampir dalam tiga dekade, tidak ada peningkatan signifikan dalam kualitas kompetisi, termasuk di musim ini.
Memasuki musim 2022-2023, permasalahan tradisional yang menahun terjadi di Liga Indonesia, yaitu kualitas wasit, coba dibenahi PT Liga Indonesia Baru, operator Liga 1. PT LIB menghadirkan dua asisten wasit tambahan (AWT) di sisi gawang dalam setiap pertandingan. Cara itu serupa yang diinisiasi UEFA pada Liga Europa edisi 2009-2010.
AWT itu sejatinya telah dihadirkan pada pekan ke-30 Liga 1 musim 2021-2022. Namun, kehadiran AWT guna memantau gol dan insiden di kotak penalti tidak mampu sepenuhnya menyingkirkan kontroversi di pertandingan.
Pasalnya, AWT itu seakan tidak mampu bekerja optimal. Salah satu pertandingan Liga 1 musim ini yang mengundang kontroversi adalah duel PSIS Semarang versus Persija Jakarta di pekan ke-13, 13 Desember lalu. Tim ”Macan Kemayoran” menelan kekalahan 0-2, salah satunya berkat gol berbau offside PSIS yang membuka keran gol melalui Riyan Ardiansyah di menit ke-20.
Lihat juga : Kompetisi BRI Liga 1 Dilanjutkan Kembali

Pesepak bola Persipura Jayapura Yohanes Ferinando Pahabol (kiri) berebut bola dengan pesepak bola Persita Alta Ballah (kanan) pada pertandingan Liga 1 di Stadion Kompyang Sujana, Denpasar, Bali, Kamis (31/3/2022). Persipura menang atas Persita dengan skor 3-0.
Kemudian, peluang Persija untuk menyamakan kedudukan dihentikan hakim garis karena menganggap Riko Simanjuntak dalam posisi offside. Dalam tayangan ulang insiden itu, Riko masih sejajar dengan pemain belakang terakhir skuad ”Mahesa Jenar”, julukan PSIS.
Kontroversi itu menunjukkan kuantitas sang pengadil yang ditugaskan di dalam satu pertandingan tidak menjadi jaminan mampu meningkatkan marwah laga. Utamanya, jika kualitas wasit dan asisten wasit tidak dibenahi secara merata terlebih dahulu.
Impian VAR
Selanjutnya, impian untuk mengikuti tren terkini dengan teknologi asisten wasit peninjau video (VAR) juga masih jauh dari realitas. PSSI pernah kedatangan perwakilan FIFA dan IFAB (Dewan Asosiasi Sepak Bola Internasional), akhir 2019, untuk menyosialisasikan penggunaan VAR.
Hanya saja, pandemi Covid-19 hingga fokus utama pada mengejar prestasi di tim nasional membuat asa untuk peningkatan kualitas liga dengan penggunaan VAR dikesampingkan. Narasi tentang VAR selalu digaungkan petinggi PSSI dan PT LIB ketika kontroversi keputusan wasit kembali mengemuka. Setelah itu, VAR kembali dilupakan.
Baca juga : Kelanjutan Kompetisi Liga 1 Masih Belum Jelas

Sejumlah pesepak bola Persipura Jayapura tertunduk setelah menghadapi Persita pada pertandingan Liga 1 di Stadion Kompyang Sujana, Denpasar, Bali, Kamis (31/3/2022). Persipura dipastikan terdegradasi dari Liga 1 Indonesia 2021/2022.
Seandainya PSSI dan PT LIB serius untuk penggunaan VAR di musim ini, teknologi itu belum akan bisa langsung hadir pada tahun ini. Banyak tahapan yang harus dijalani PSSI untuk mendapat restu dari FIFA dan IFAB untuk menerapkan teknologi VAR di Indonesia.
Guna memastikan sebuah federasi sungguh-sungguh untuk mempersiapkan penggunaan VAR, FIFA mewajibkan anggota federasi untuk menyiapkan tim proyek. Tim itu akan bertugas menyiapkan program protokol VAR, anggaran pelatihan dan instalasi teknologi, hingga sertifikasi wasit khusus. Proses itu memakan waktu enam sampai delapan bulan.
Dalam masa persiapan itu, FIFA dan konfederasi tempat bernaung federasi, misalnya AFC untuk PSSI, akan memberikan bimbingan, terutama untuk membenahi kebutuhan mendasar teknologi di stadion. Generasi pertama VAR yang hadir pada 2018, misalnya, satu stadion harus bisa dipasang 33 kamera. Pada pengembangan VAR yang digunakan di Piala Dunia 2022 teknologi VAR telah ditunjang 42 kamera.
Untuk memasang teknologi VAR dalam satu musim liga, sumber di PT LIB mengungkapkan, PSSI memerlukan 6 juta dollar AS (Rp 93,2 miliar). Kemudian, berdasarkan laporan Asosiasi Sepak Bola Malaysia (FAM), jumlah itu belum termasuk ongkos operasional yang dibebankan kepada klub sebesar 200.000 ringgit (Rp 705,5 juta) per musim.
Baca juga : Liga 1 Mulai Lagi, Tragedi Kanjuruhan Tetap Harus Diusut Tuntas

Pesepak bola Persib Bandung Beckham Putra Nugraha (tengah) berebut bola dengan pesepak bola Barito Putera Kim Jinsung (kiri) dan Bagas Kaffa (kanan) saat pertandingan Liga 1 di Stadion Kapten I Wayan Dipta, Gianyar, Bali, Kamis (31/3/2022). Barito Putera bermain imbang melawan Persib Bandung, 1-1.
Dengan beban biaya besar itu, VAR mustahil bisa diterapkan secara merata di Liga 1 dalam tiga musim mendatang.
Dengan beban biaya besar itu, VAR mustahil bisa diterapkan secara merata di Liga 1 dalam tiga musim mendatang. Penghalang utamanya, tim-tim Liga 1 tidak ada yang memiliki stadion sendiri, kecuali hak pengelolaan mandiri yang dipegang Bali United dan Persita Tangerang, sehingga mustahil klub bersedia mengeluarkan biaya besar untuk pembenahan stadion demi VAR.
Profesionalisme
Selain persoalan kualitas pertandingan, hal yang mendapat sorotan ialah profesionalisme di tubuh PT LIB. Tragedi Kanjuruhan, 1 Oktober lalu, menyebabkan Direktur Utama PT LIB Akhmad Hadian Lukita harus mundur dari jabatan karena menjalani proses hukum. Perubahan direksi operator kompetisi itu pun terjadi.
Alih-alih menghadirkan sosok-sosok profesional yang telah berpengalaman menangani kompetisi di level internasional, Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT LIB yang melibatkan 18 klub Liga 1 dan PSSI sebagai pemegang saham justru menunjuk mantan pengurus klub. Ferry Paulus, mantan petinggi Persija, menjadi pengisi posisi direktur utama, lalu mantan CEO PSM Makassar, Munafri Arifuddin, ditetapkan sebagai direktur.
Tidak salah dengan penunjukan eks petinggi klub untuk memimpin PT LIB, tetapi tidak keliru juga jika PT LIB menghadirkan napas baru dengan dipimpin sosok profesional, seperti Liga Thailand yang pernah menunjuk Benjamin Tan, mantan Manajer Kompetisi AFC, sebagai CEO Thai League.
Baca Juga: Reformasi Semu Sepak Bola Indonesia Pasca Kanjuruhan

Taylon Correa, penyerang Persita Tangerang, menunjukkan kekecewaan setelah gagal memanfaatkan peluang dalam laga pekan ke-18 BRI Liga 1 menghadapi Persib Bandung, Jumat (7/1/2022), di Stadion Gelora Ngurah Rai. Pada laga itu, Persita tumbang 0-1.
Tan membantu Liga Thailand menembus tujuh besar peringkat koefisien kompetisi Asia sehingga Liga Thailand mendapat dua tempat di fase grup dan dua jatah babak playoff Liga Champions Asia sejak musim 2021.
Liga 1 jelas butuh sosok yang memahami tantangan pembenahan kompetisi dan memiliki beragam terobosan penting untuk meningkatkan kualitas. Sebagai gambaran, Liga Super Indonesia di musim 2009-2010 menempati peringkat kedelapan peringkat koefisien kompetisi AFC. Itu menjadikan Indonesia memiliki liga terbaik di kawasan Asia Tenggara.
Pada pemeringkatan koefesien 2021, Liga 1 hanya berada di peringkat ke-26 dari 47 kompetisi profesional yang diakui AFC. Itu tak lepas dari performa buruk klub Liga 1 di kompetisi Asia, seperti Piala AFC.
Di Piala AFC musim 2022, misalnya, juara Liga 1, Bali United, gagal menembus fase grup. Pamor Indonesia sedikit diselamatkan oleh PSM yang mencapai final zona ASEAN sebelum disingkirkan Kuala Lumpur City, duta Malaysia.
Baca Juga: Dua Bulan Tragedi Kanjuruhan, Suporter Tetap Desak Ketua Umum dan Exco PSSI Mundur
Oleh karena itu, Liga 1 memerlukan pembenahan menyeluruh untuk ”menekan” 18 klub terbaik memiliki manajemen yang lebih profesional sesuai standar AFC, yang meliputi legalitas, administrasi, finansial, dan infrastruktur. Pada akhir 2021, hanya sembilan tim yang lolos lisensi AFC atau 50 persen dari total klub.
Persentase itu masih kalah dari Liga 1 Thailand yang memiliki 12 tim lolos verifikasi AFC dari 16 kontestan atau 75 persen, Liga Vietnam yang mencatat 77 persen berkat 10 tim lolos lisensi dari 13 kontestan, serta Liga Super Malaysia dengan 66 persen yang berasal dari delapan tim lolos verifikasi dari 12 peserta.
Di sisi lain, Liga Utama Myanmar, yang diikuti 10 klub, mencatatkan 100 persen lolos verifikasi AFC. Tak hanya divisi utama, lima tim divisi satu Liga Myanmar juga telah mengantongi lisensi klub profesional AFC.
Oleh karena itu, PT LIB tidak bisa hanya sekadar menjalankan kompetisi tanpa ada visi jelas untuk pembenahan. Tanpa itu, ambisi Liga 1 kembali menjadi kompetisi terbaik di Asia Tenggara adalah sebuah utopia.