Romario: Penebusan Kepribadian Negatif di Piala Dunia 1994
Romario adalah salah satu pesepakbola yang memiliki kepribadian paling menyebalkan. Meski begitu, dia membawa Brasil menjuarai Piala Dunia AS 1994.
- Romario mencetak lima gol saat mengantar Brasil menjuarai Piala Dunia 1994
- Romario berani menentang pelatih timnas Brasil dalam penentuan pemain yang dipanggil ke timnas
- Romario juga mengintervensi pelatih tentang siapa yang tidak boleh dimainkan
Publik saat ini kerap kali mengolok-olok sifat arogan Cristiano Ronaldo yang sering marah-marah ketika tidak diberi kesempatan bermain. Menolak menjadi pemain pengganti hingga meninggalkan stadion sebelum laga usai menjadi perangai Ronaldo yang dianggap kekanak-kanakan.
Memberikan stigma buruk kepada bintang tim nasional Portugal itu menunjukkan orang-orang itu belum mengenal Romario. Bisa dikatakan, Romario adalah salah satu penyerang terbaik yang pernah lahir di bumi, tetapi ia juga pemain paling egois yang tak ada yang bisa menandingi. Ronaldo, bahkan Eric Cantona sekali pun, tidak bisa menyaingi keegoisan Romario.
Nama Romario mencapai puncak dunia ketika dirinya menjadi sosok protagonis utama bagi gelar juara Piala Dunia keempat Brasil di Amerika Serikat 1994. Ia mencetak lima gol dari tujuh laga yang dijalani tim "Selecao"di “Negeri Paman Sam”.
Romario mencetak satu gol pada masing-masing tiga laga di Grup B. Rusia, Kamerun, dan Swedia tidak bisa membendung aksi pemain setinggi 1,68 meter itu di kotak penalti. Di fase gugur, ia mencetak masing-masing satu gol yang membantu Brasil menumbangkan Belanda dan Swedia di babak perempat final serta semifinal.
Di luar kualitas individu dan insting golnya yang brilian, penampilan mengagumkan Romario di AS juga tidak lepas dari kepiawaiannya membentuk kolaborasi terbaik bersama Bebeto di lini depan Brasil. Delapan gol dihasilkan duo penyerang itu. Pada AS 1994, Selecao secara total mencetak 11 gol.
Romario tidak hanya bisa memenuhi mimpinya mengangkat trofi Piala Dunia, ia juga mendapat suara mutlak untuk meraih bola emas atau pemain terbaik Piala Dunia AS 1994. Trofi pribadi itu menjadikan pemain kelahiran Rio de Janeiro itu sebagai pemain Brasil pertama yang secara resmi mendapat gelar Bola Emas FIFA yang dimulai pada Spanyol 1982.
Ia pun masuk dalam daftar 11 pemain terbaik di turnamen itu. Alhasil, nama Romario semakin harum di tanah airnya.
Disingkirkan
Sebelum menjadi sentra dalam permainan Brasil di AS 1994, Romario sempat disingkirkan Pelatih Brasil Carlos Alberto Parreira di babak kualifikasi. Ia tidak dipanggil untuk tujuh laga kualifikasi zona CONMEBOL.
Parreira baru memasukkan Romario pada daftar pemain di laga kedelapan atau pamungkas babak kualifikasi menghadapi Uruguay. Selecaowajib menang pada laga itu agar bisa menyegel tiket ke AS sekaligus mengungguli dua pesaing utama, Bolivia dan Uruguay, di klasemen akhir grup.
Baca juga : Mario Kempes Melahirkan Identitas Juara Argentina di Piala Dunia 1978
Hasilnya, Romario memboyong dua gol kemenangan Brasil 2-0 atas Uruguay di Stadion Maracana, 19 September 1993. Laga itu disaksikan 101.533 pasang mata.
Pada jelang persiapan AS 1994, Romario mengusik hak prerogatif Parreira untuk memilih pemain. Berdasarkan arsip berita Kompas edisi 19 Juli 1994, Romario sempat ngotot kepada Parreira untuk memilih karibnya, Edmundo, dibandingkan memanggil Bebeto.
Setelah melalui pembicaraan alot, Parreira menegaskan kewenangannya untuk memilih Bebeto. Hal itu sempat membuat Pele, legenda Brasil, mengkritik Romario agar tidak mencampuri “urusan dapur” tim pelatih.
Masalah itu pun sempat menjadi santapan empuk media Brasil. Pasalnya, ucapan Pele itu ditanggapi juga oleh Romario dengan menyebut peraih tiga gelar Piala Dunia itu sebagai idiot dan terbelakang mental. Kedua sosok itu pun belum sepenuhnya berdamai hingga saat ini.
Dalam beberapa tahun setelah 1994, Romario pun mengakui, Bebeto adalah mitra terbaiknya di lini depan. Menurut dia, kunci sukses Brasil menjadi juara adalah kolaborasi sempurna dirinya dan Bebeto.
Baca juga : Memupus Elegi Berkepanjangan Brasil
Kemudian, Parreira juga bersitegang dengan Romario yang bersikeras agar Rai, gelandang serang, menjadi pemain cadangan. Padahal, Rai datang ke AS sebagai bintang Sao Paolo yang membantu meraih gelar Piala Interkontinental 1993 setelah mengalahkan juara Eropa, AC Milan.
Rai, yang merupakan adik legenda Brasil, Socrates, bahkan diberikan kostum nomor 10. Karena desakan Romario, Rai hanya tampil sebagai pemain utama di tiga laga babak penyisihan, termasuk mencetak gol ke gawang Rusia di laga pembuka. Pada fase gugur, Rai memulai laga dari bangku cadangan.
“Rai hanya gemilang di klub, tetapi tidak di timnas. Tidak ada tempat bagi Rai di timnas,” kata Romario tentang wakil kapten Brasil itu di Piala Dunia 1994, Kompas (19/6/1994).
Kemudian, ia pun menolak mengikuti pemusatan latihan terakhir di Brasil sebelum tim terbang ke AS. Permintaannya itu diluluskan oleh Parreira. Alih-alih berlatih dengan rekan setimnya, Romario menikmati pantai indah di Rio de Janeiro untuk bermain voli dan berpesta.
Ketika hendak berangkat ke AS, Romario kembali berulah. Ia protes kepada Parreira karena tidak diberi kursi pesawat yang dekat dengan jendela.
Baca juga : Menunggu Sinar Neymar di Qatar
Romario, seperti (Diego) Maradona dan Pele serta pemain legendaris lainnya di Piala dunia, ia memenangkan trofi dengan tim yang mendukung dirinya.
Dukungan penuh
Meskipun banyak tingkah dan berperangai buruk, kapten utama Brasil, Dunga, mengungkapkan, selama masa persiapan menuju AS 1994, Selecao telah menyiapkan taktik dan rencana permainan untuk mendukung penuh Romario.
“Tujuan utama adalah mencoba dan fokus kepada apa yang benar-benar diinginkan Romario, yang berambisi menjadi juara dunia, top skor, pemain terbaik turnamen. Selama di AS, kami menjadi teman baik yang bisa berbicara jujur dan terbuka satu sama lain,” ungkap Dunga dilansir Goal.
Dalam seremoni pemberian trofi Piala Dunia, Romario pun berdiri di sebelah Dunga. “Saya ingat waktu itu, entah Branco atau Dunga yang berkata di sebelah saya, ‘Tetaplah di sini, setelah saya memegang trofi, kamu bisa mengambilnya’. Mengangkat lalu mencium trofi itu adalah perasaan yang tak tertandingi,” kenang Romario kepada FIFA.com.
Parreira menyebut, Romario adalah salah satu bakat terbaik yang pernah dimiliki Brasil, tetapi ia menegaskan, Romario tidak seorang diri memenangi Piala Dunia.
“Romario, seperti (Diego) Maradona dan Pele serta pemain legendaris lainnya di Piala dunia, ia memenangkan trofi dengan tim yang mendukung dirinya,” ucap Parreira.
Baca juga : Pentas Dansa Tim ”Samba” Brasil di Grup G Piala Dunia 2022
Setelah mencapai targetnya menjadi juara di Piala Dunia 1994, Romario gagal menembus timnas pada Perancis 1998 dan Korea Selatan-Jepang 2002. Mario Zagallo, Pelatih Brasil di Perancis 1998, dan Luiz Felipe Scolari yang menukangi Selecao di edisi 2002, memilih menghindari friksi akibat perangai Romario yang sulit diatur.
Posisi Romario pun digantikan oleh sejumlah juniornya, seperti Ronaldo yang memenuhi kuota penyerang tengah bersama Bebeto dan Edmundo pada 1998. Lalu, Luizao dan Ronaldinho yang dibawa Scolari untuk melengkapi daftar penyerang bersama Ronaldo di 2002.
Setelah mundur dari timnas pada 2005, Romario memberikan sumbangan lain bagi negaranya. Ia menjadi salah satu duta Brasil yang membantu kemenangan Brasil pada pencalonan Piala Dunia 2014.