Messi datang untuk kelima kali, sekaligus yang terakhir, ke Piala Dunia. Dia masih berburu satu-satunya mahkota yang menjadi lubang di kariernya.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
Diego Armando Maradona adalah ikon terakhir yang mengantar Argentina juara dunia pada 1986.
Lionel Messi mencapai kesempurnaan emosional setelah kegagalan di tiga final beruntun bersama Argentina, 2014-2016.
Di bawah Pelatih Lionel Scaloni, Messi dan rekan-rekan hanya kalah 4 kali dari 49 laga.
Penyerang, kapten, sekaligus ikon tim nasional Argentina, Lionel Messi, sering disebut sebagai pesepak bola terhebat yang pernah lahir di bumi, atau greatest of all time. Namun, bagi masyarakat Argentina, Messi belum sebanding dengan sang legenda, mendiang Diego Armando Maradona.
Messi sudah mengoleksi 40 trofi di level klub dan negara. Dia juga menjadi peraih terbanyak gelar individu paling prestisius sedunia, Ballon d’Or, sebanyak tujuh kali. Hanya ada satu lubang dalam kariernya. Pemain berusia 35 tahun itu belum pernah mengantar Argentina juara Piala Dunia.
Berbeda dengan Maradona. Karier klubnya memang tidak sementereng Messi. Akan tetapi, dengan talenta luar biasa dan sedikit kelicikan, dia sukses membawa pulang trofi sekaligus julukan ”Si Tangan Tuhan” dari Piala Dunia Meksiko 1986.
Seperti kata Presiden Argentina Raul Alfonsin tahun 1986, Maradona telah memberikan kebahagiaan yang paling dibutuhkan warganya. Kebahagiaan itulah yang belum sanggup diberikan Messi untuk warga ”Negeri Tango” yang lahir, hidup, dan mati dengan rasa cinta terhadap sepak bola.
Messi berkesempatan mengembalikan kebahagiaan itu di Piala Dunia Qatar 2022, setelah Argentina paceklik juara selama 36 tahun. Dia telah memastikan akan kembali ke turnamen paling bergengsi tersebut untuk kelima kali, sekaligus terakhir kali.
”Ada kecemasan dan kegelisahan pada saat yang sama. Ini adalah (Piala Dunia) yang terakhir. Saya sudah bermain untuk timnas dalam waktu yang lama. Ada momen spektakuler, seperti pada 2014-2016 kami dikritik karena tidak menjadi juara setelah melakukan segalanya sampai final,” katanya kepada Star Plus.
Pendewasaan Messi
Piala Dunia yang digelar pertama kali pada paruh musim kompetisi klub pun menjadi pertaruhan terakhirnya. Menariknya, megabintang Paris Saint Germain itu sedang berada dalam fase paling siap jika dibandingkan dengan empat pergelaran sebelumnya.
Terutama, dari sisi emosional. Messi sudah mengalami momen terburuk dan terindah selama 164 laga bersama timnas. Dia sempat mengalami krisis emosional terbesar setelah kalah di tiga partai puncak berurutan, yaitu Piala Dunia Brasil 2014 serta Piala Amerika Chile 2015 dan Amerika Serikat 2016.
Bagi Messi, tidak ada yang lebih menyakitkan ketimbang gagal juara di timnas. Dia bukan hanya mengecewakan satu tim, tetapi juga satu negara. Mantan agennya, Fabian Soldini, menyebut, Messi selalu terbangun pada tengah malam setelah kekalahan pada 2014. ”Penyesalan itu berputar di pikirannya,” ucap Soldini.
Penderitaan itulah yang menjadikan Messi semakin matang dari sisi emosional. Terbukti, dia akhirnya sukses mengantar Argentina juara Piala Amerika Brasil 2021 di tempat yang sama, Stadion Maracana, setelah kenangan pahit tujuh tahun sebelumnya.
Saya berada dalam kedamaian pikiran setelah menggapai salah satu mimpi yang gagal berkali-kali. Rasanya seperti mimpi.
Kepemimpinan sang kapten Argentina di laga final lawan Brasil terekam dalam film dokumenter Netflix, Sean Eternos: Campeones de America. Messi memberikan pidato berapi-api di ruang ganti sebelum laga. Pidato itu berujung trofi yang mengakhiri paceklik 28 tahun Argentina di turnamen itu, sekaligus menjadi gelar bergengsi pertama untuk Messi.
Dia telah telah bermetamorfosis sempurna bagai ulat menjadi kupu-kupu bersayap indah. ”Saya berada dalam kedamaian pikiran setelah menggapai salah satu mimpi yang gagal berkali-kali. Rasanya seperti mimpi,” kata Messi kepada ESPN.
Soal fisik, Messi tidak perlu diragukan meskipun semakin dekat ke usia pensiun. Dia kembali ke puncak performa bersama PSG musim ini lewat catatan 12 gol dan 14 asis dari 18 penampilan. Rata-rata kontribusi golnya naik hampir dua kali lipat ketimbang musim lalu. Semua itu berkat persiapan lebih baik pada pramusim.
Demi Messi
Kesempurnaan ”Si Kutu” didukung dengan skuad kompak Argentina. Mereka berada dalam momentum positif sejak dilatih Lionel Scaloni pada 2018. Scaloni mampu mengharmonisasi veteran seperti Messi dengan pemain muda seperti Lautaro Martinez. Hasilnya, Argentina hanya kalah 4 kali dalam 49 laga.
Sejarah membuktikan, skuad bertabur bintang saja tidak cukup mengantar juara Piala Dunia. Butuh skuad yang harmonis, bermain sebagai satu tim, agar bisa melangkah jauh. Adapun sebelum era Scaloni, skuad Argentina nyaris tidak punya pelatih yang bisa dihormati seluruh pemain.
Menurut gelandang Argentina, Rodrigo De Paul, awalnya mereka juga tidak percaya dengan Scaloni yang berstatus pelatih debutan. ”Sekarang dia justru bisa meyakinkan kami dalam hal apa pun. Dia sangat detail. Bahkan, jika dia berkata sekarang sudah malam, pada jam 10 pagi, kami akan percaya itu malam hari,” ujarnya.
Di sisi lain, anak asuh Scaloni sudah bertekad mempersembahkan segalanya dalam ajang terakhir Messi. Mereka ingin melihat sang senior sekaligus idola bisa mewujudkan mimpi juara dunia. Kiper Emiliano Martinez sampai berujar, para pemain siap melakukan apa pun karena Messi adalah manusia terpenting di negara mereka, bahkan melebihi presiden.
Messi menilai Argentina yang berada di peringkat ketiga dunia versi FIFA punya peluang besar juara. Di Qatar, Argentina tergabung di Grup C bersama Arab saudi, Meksiko, dan Polandia. ”Saya tidak tahu apakah kami favorit, tetapi Argentina selalu menjadi kandidat juara karena sejarah. Di Piala Dunia semua bisa terjadi. Semua pertandingan selalu sulit. Tim favorit tidak selalu menang,” katanya.
Dunia pun akan menjadi saksi pertaruhan terbesar Messi. Dia bisa menyudahi paceklik panjang sejak 1986, lalu mengikuti jejak kisah legendaris Maradona. Atau, akan bernasib seperti Johan Cruyff, pemain hebat yang hanya bisa bermimpi memeluk trofi Piala Dunia. (AP/AFP/REUTERS)