Mayoritas Infrastruktur Stadion di Indonesia Belum Sesuai Standar FIFA
Tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur menjadi puncak gunung es fenomena mayoritas infrastruktur stadion di Indonesia yang belum berstandar FIFA. Insiden itu harus jadi momentum pembenahan menyeluruh.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·7 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Tragedi sepak bola usai laga Liga 1 antara Arema FC dan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Sabtu (1/10/2022) yang menyebabkan 125 orang meninggal dunia adalah puncak gunung es dari fenomena mayoritas infrastruktur stadion di Indonesia yang belum berstandar Federasi Sepak Bola Internasional. Kondisi ini diperparah oleh operasional keselamatan yang tidak berjalan ideal, antara lain petugas keamanan yang kurang siaga.
”Secara umum, stadion di Indonesia sudah memenuhi standar FIFA (Federasi Speak Bola Internasional). Namun, secara spesifik terkait keselamatan belum terpenuhi. Yang paling utama adalah mayoritas stadion belum dilengkapi dengan kuris tunggal (single seat), alur evakuasi yang jelas, denah lokasi, dan bahan baku tertentu. Semua itu bertujuan mengontrol kondisi darurat yang bisa terjadi sewaktu-waktu,” ujar Timmy Setiawan, Security Officer FIFA 2007-2011 saat dihubungi dari Jakarta, Senin (3/10/2022).
Timmy, yang pernah bertugas untuk Piala Asia 2007 di Indonesia dan Piala Dunia U-17 2009 di Nigeria mengatakan, sejak 2011, FIFA sudah mengatur bagaimana persiapan pembangunan stadion dengan matang, belajar dari pengalaman berbagai tragedi yang pernah terjadi. Sebagian standar itu secara kasat mata sudah dipenuhi oleh stadion di Indonesia, seperti ketersediaan pintu keluar-masuk.
Akan tetapi, ada beberapa hal krusial yang belum terpenuhi oleh banyak stadion di Indonesia. Pertama-tama dan yang paling penting adalah ketersediaan kursi tunggal. Setidaknya, berdasarkan pantauan Kompas, dari 18 klub peserta Liga 1, hanya delapan stadion yang memiliki kursi tunggal secara penuh.
Delapan stadion itu, yakni Stadion I Wayan Dipta di Bali yang menjadi markas Bali United, Wibawa Mukti di Bekasi, Jawa Barat (Bhayangkara FC), Gelora Bung Tomo di Surabaya, Jawa Timur (Persebaya), Gelora Bandung Lautan Api di Bandung, Jawa Barat (Persib), Stadion Patriot di Bekasi (Persija Jakarta), Stadion Pakansari di Bogor, Jawa Barat (Persikabo 1973 dan RANS Nusantara), Manahan di Solo, Jawa Tengah (Persis Solo), dan Jatidiri di Semarang, Jawa Tengah (PSIS Semarang).
Sebagaimana Pasal 26 mengenai Tiket Pertandingan dalam Bab V tentang Tindakan Struktural dan Teknis dalam Regulasi Keamanan dan Keselamatan Stadion FIFA, ketersediaan kursi tunggal sangat penting untuk memastikan penerapan nomor tempat duduk pada setiap tiket yang dijual. Hal itu untuk menghindari penonton yang datang tanpa tiket atau datang dengan tiket palsu. Dengan demikian, jumlah tiket yang dijual tidak melebihi kapasitas aman stadion. ”Dengan begitu, penonton akan tertib duduk sesuai nomot tiket yang dibelinya,” kata Timmy.
Delapan stadion lainnnya di Liga 1 belum dilengkapi kursi tunggal secara penuh, termasuk Kanjuruhan. Tanpa kursi tunggal, penonton akan sembarangan duduk di tangga, koridor keluar-masuk, hingga di pagar pembatas. ”Saat ini, perilaku seperti itu tidak boleh terjadi lagi. Hal itu bisa dibenahi. Contohnya dalam menggunakan kendaraan umum seperti kereta api, setelah tiket ditertibkan, tidak ada lagi penumpang yang duduk di atas gerbong kereta,” ungkap Timmy, yang pernah menjabat Deputi Sekretaris Jenderal Bidang Infrastruktur Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).
Jalur evakuasi
Hal yang tidak kalah penting adalah ketersediaan informasi mengenai jalur evakuasi. Sebagaimana Pasal 23 mengenai Kalkulasi Kapasitas Aman dalam Bab IV tentang Kapasitas Aman Maksimum Stadion dalam Regulasi Keamanan dan Keselamatan Stadion FIFA, stadion wajib memiliki kecukupan informasi dan komunikasi agar penonton akrab dengan tata letak stadion.
Bahkan, pada Pasal 26 mengenai Tiket Pertandingan, tiket dianjurkan dilengkapi denah atau peta stadion di salah satu sisinya. Denah itu membantu penonton ke mana akan pergi jika terjadi keadaan yang mengancam keselamatan, seperti kebakaran atau huru-hara.
Sejauh ini, stadion di Indonesia belum dilengkapi denah stadion dan petunjuk arah pintu keluar-masuk yang memadai. ”Selain melengkapi stadion dengan informasi petunjuk arah, sudah waktunya stadion di Indonesia mencontoh informasi peringatan yang diterapkan di pesawat. Lima menit sebelum pertandingan dimulai, panitia menjelaskan bagaimana mekanisme mitigasi jika terjadi situasi yang berisiko terhadap keselamatan,” kata Timmy.
Terakhir, lanjut Timmy, adalah penggunaan bahan baku pembangunan stadion. Sebagaimana Pasal 23 mengenai Kalkukasi Kapasitas Aman dalam Regulasi Keamanan dan Keselamatan Stadion FIFA, faktor jenis kontruksi dan bahan baku yang digunakan stadion akan turut berpengaruh untuk mempersingkat waktu evakuasi.
Misalnya, pintu keluar-masuk harus menggunakan sistem kunci otomatis yang bisa langsung terbuka kalau pertandingan berakhir atau terjadi kondisi darurat. Minimal, pintu itu menggunakan kunci sentral yang bisa dibuka-tutup oleh penonton secara mudah. Bahan baku pintu pun dianjurkan tidak terlalu kuat, agar memungkinkan penonton mendobrak atau merobohkannya. Memang, kesannya pintu itu ringkih, tetapi hal itu sangat membantu menyelamatkan diri dalam keadaan yang mengancam.
Secara umum, stadion di Indonesia sudah memenuhi standar FIFA. Namun, secara spesifik terkait keselamatan belum terpenuhi.
Di Indonesia, stadion umumnya dikunci atau digembok ketika pertandingan dimulai. Hal itu sangat berbahaya kalau kondisi darurat. ”Sistem gambok manual tidak boleh dipakai lagi. Pemegang kunci belum tentu bisa bergerak cepat pada situasi berisiko. Jika itu terjadi, penonton bisa terkunci dan dampaknya sangat fatal untuk keselamatan,” tegas Timmy.
Timmy menambahkan, stadion di Indonesia dibangun atau direnovasi oleh pemerintah. Sering kali persyaratan administrasi dalam pembangunannya dipertanyakan, seperti izin bangunan dan sertifikat layak fungsi bangunan. Padahal, tertib administrasi itu yang akan memperhitungkan standar keselamatan. ”Dalam setiap laga resmi, FIFA sudah mengatur agar setiap stadion memiliki sertifikat bangunan. Mereka tidak bertanggung jawab jika stadion itu berdampak buruk terhadap keselamatan, seperti stadion ambruk saat terjadi gempa,” tuturnya.
Kinerja petugas
Di luar faktor infrastruktur, Timmy menyoroti pula operasional keselamatan yang tidak berjalan ideal. Sebagaimana Pasal 19 mengenai Petugas Pinggir Lapangan dalam Bab III tentang Petugas dalam Regulasi Keamanan dan Keselamatan Stadion FIFA, petugas keamanan harus melindungi pemain, pejabat, dan ketertiban umum terkait penonton, dengan salah satu cara berjaga mengelilingi lapangan permainan. Mereka dilarang membawa senjata api, gas pengendali massa (gas air mata), dan memakai perlengkapan yang agresif, seperti helm, masker wajah, perisai, dan sebagainya.
Berkaca dari tragedi Kanjuruhan, Timmy menyampaikan, petugas keamanan terlihat lalai atau kurang displin. Mereka tampak sudah bubar jelang laga berakhir. Seharusnya, mereka tetap siaga di pinggir lapangan. ”Rasanya, kemarin, para petugas terlalu percaya diri. Mereka memperkirakan kalau suporter lawan tidak datang dan berkali-kali ada kegiatan di sana tidak ada masalah. Mungkin, itu yang membuat mereka jadi kurang displin dan itu memang kebiasaan kita,” ujarnya.
Selain itu, selama pertandingan petugas tidak menghadap ke tribune penonton dan ikut nonton pertandingan. Petugas gabungan Polri dan TNI juga berpakaian dinas, yang sejatinya tidak dianjurkan. Hal itu membuat suasana seperti mencekam atau mau perang. Padahal, stadion adalah tempat hiburan. Puncaknya, ada petugas yang menembakkan gas air mata.
Semua hal itu menunjukkan, petugas yang dikerahkan kurang mendapatkan pemahaman mengenai regulasi FIFA. Itu bisa terjadi karena petugas yang diturunkan selalu berganti-ganti. Boleh jadi, petugas yang pernah berjaga sudah paham dengan regulasi FIFA tetapi penggantinya belum dijelaskan tentang regulasi tersebut.
”Semua itu harus menjadi pelajaran. Kita harus serius untuk memperbaiki diri. Selain lebih aktif mengikuti undangan FIFA, teman-teman di sini perlu lebih sering mengadakan seminar atau pelatihan mengenai regulasi FIFA. Pengamanan dalam pertandingan sepak bola bukan hanya kerja fisik, melainkan kerja otak. Penanganan suporter sepak bola tidak bisa disamakan dengan penanganan pengunjuk rasa,” ucap Timmy.
Sementara itu, Ketua Komite Olimpiade Indonesia Raja Sapta Oktohari mengatakan, semua pemangku kepentingan terkait harus mengusut tuntas penyebab terjadinya tragedi Kanjuruhan. Mereka harus menunjukkan komitmen serius untuk menjadikan peristiwa itu sebagai momentum perbaikan tata kelola olahraga nasional, terutama dalam pelaksanaan pertandingan sepak bola.
Selain agar insiden serupa tidak terulang, komitmen komunitas olahraga Indonesia untuk berbuat lebih baik akan menjadi pandangan positif di mata komunitas olahraga internasional. Hal ini agar Indonesia tidak dikucilkan atau mendapatkan sanksi dari komunitas olahraga dunia.
”Sejauh ini, komunitas olahraga internasional masih ikut berkabung dengan tragedi yang terjadi di Kanjuruhan. Namun, kalau tidak ada langkah konkret menyikapi peristiwa itu, pasti akan muncul pertanyaan dari komunitas olahraga dunia di kemudian hari. Kita harus menjaga kepentingan Merah-Putih atau kepercayaan komunitas olahraga dunia. Jadikan tragedi itu sebagai pengingat untuk lebih serius memperbaiki tata kelola olahraga di Tanah Air,” pungkas Okto. (DRI)