Setelah 29 Tahun di Istora…
Indonesia tampak berkembang pesat dalam enam bulan terakhir. Akan tetapi, timnas sebenarnya belum melangkah jauh di Asia jika dibandingkan dengan 29 tahun silam.
Pemain tim nasional bola basket Indonesia tertunduk di Istora Senayan, Jakarta, Senin (18/7/2022). Mereka gagal lolos ke delapan besar Piala Asia 2022, seperti target semula, setelah kalah dari China. Meskipun begitu, ribuan penonton di tribune tetap mengapresiasi mereka.
Gua di timnas sudah sejak 2013. Tim ini yang paling punya potensi, bisa diasah hingga level yang tidak ada ujungnya.
Para penonton merasakan kemajuan pesat timnas. Perasaan itu sama seperti yang dirasakan guard timnas Andakara Prastawa. ”Gua di timnas sudah sejak 2013. Tim ini yang paling punya potensi, bisa diasah hingga level yang tidak ada ujungnya,” katanya dalam konferensi pers sehari setelah laga, Selasa.
Baca juga : Bekal Sikap Spartan dan Keberuntungan Jordania
Di Piala Asia, timnas yang dikalahkan China, 58-108, di kualifikasi perempat final harus puas dengan posisi 12 besar. Indonesia menang dalam laga pembuka atas Arab Saudi, lalu kalah tiga kali beruntun dari Jordania, Australia, dan China.
Untuk melihat kemajuan sebuah tim, harus ada perbandingan. Sekitar 29 tahun lalu, Indonesia juga menjadi tuan rumah Piala Asia 1993 di Istora. Prestasi timnas ketika itu ternyata serupa dengan saat ini. Indonesia menempati peringkat ke-12 dan gagal menggapai delapan besar.
Tim yang dulu dipimpin Antonius Ferry Rinaldo itu menang sekali atas Hong Kong di babak grup, lalu kalah dari Iran dan Jepang. Setelah dipastikan tidak lolos delapan besar, mereka sempat menang sekali atas Singapura dalam laga untuk menentukan peringkat ke 9–12, yang tidak berpengaruh terhadap kelolosan.
Ternyata, setelah hampir tiga dekade, prestasi Indonesia jalan di tempat. Dengan kemajuan teknologi dan pengetahuan di olahraga, kemampuan pemain Indonesia sudah pasti lebih baik ketimbang dulu. Namun, progres itu kalah cepat dari negara lain.
Baca juga : Landas Pacu Timnas Basket
Bandingkan dengan Iran. Dulu, Indonesia hanya kalah 10 poin dari mereka. Sekarang, negara itu sudah menjadi salah satu kekuatan terbesar Asia, menjadi juara Asia tiga kali dalam 15 tahun terakhir. Mereka meningkat drastis berkat pemantauan bakat berkesinambungan dan level kompetisi terstruktur dari kelompok umur hingga profesional.
Dua bintang
Indonesia memang tampak berkembang pesat dalam enam bulan terakhir. Tim asuhan pelatih Milos Pejic itu bisa meraih emas pertama kali di SEA Games Vietnam 2021. Di Piala Asia, Indonesia yang berada di peringkat ke-95 dunia juga bisa bersaing dengan tim level menengah Asia, seperti Arab Saudi dan Jordania.
Namun, jika dilihat lagi, kemajuan itu baru terjadi setelah masuknya dua pemain baru, yaitu center naturalisasi Marques Bolden (24) dan forward potensial Derrick Michael Xzavierro (19). Kedua pemain dengan tinggi lebih dari 2 meter itu yang terlihat paling bisa bersaing di level Asia.
Faktanya, keduanya adalah bakat yang seperti jatuh dari langit. Mereka belum terlihat dua tahun lalu. Bolden baru bermain tahun ini setelah dinaturalisasi. Derrick baru menjadi pebasket Tanah Air paling potensial setelah mengikuti NBA Global Academy di Canberra, Australia, tahun lalu.
Baca juga : Peperangan Suriah di Lapangan Bola Basket
Realitas ini menunjukkan bagaimana kualitas liga lokal Indonesia. Liga yang seharusnya menjadi penetas bakat hebat belum bisa berperan banyak. Padahal, kata Pejic, kunci utama prestasi timnas adalah liga lokal yang kompetitif dan terstruktur.
Liga Bola Basket Indonesia (IBL) makin berkembang dengan berbagai terobosan dan kehadiran pemain asing. Namun, hanya ada sekitar 20 laga dalam satu musim reguler. Belum lagi, laga yang terhitung sedikit dalam kalender setahun itu tidak seluruhnya kompetitif.
Wajar saja jika Indonesia kalah dari China dalam laga hidup dan mati. Pemain China sudah terbiasa tampil di liga lokal, CBA, liga kompetitif yang merupakan salah satu terbaik di Asia. Setiap tim di CBA setidaknya bermain 50 laga setiap musim reguler, 70 laga jika termasuk playoff.
”Mereka punya kompetisi seperti itu sudah puluhan tahun. Kita butuh membangun liga seperti itu agar para pemain terbiasa berkompetisi di level tinggi,” tambah Pejic, mantan pelatih Iran U-18, yang sudah berpengalaman dalam pembinaan usia muda.
Baca juga : Langkah Terakhir Menuju Piala Dunia
Bagi Indonesia, negara yang sedang mengembangkan bola basket, Piala Asia bukan hanya kompetisi. Ajang ini adalah etalase untuk melihat contoh bagaimana raksasa Asia mengembangkan bola basket mereka.
Selain China yang punya liga lokal berkualitas, ada juga Jordania yang datang dengan pemain keturunan. Mayoritas pemain utama mereka lahir dan besar di negara lain. Mungkin cara ini bisa menjadi alternatif untuk Indonesia, sambil membangun liga yang butuh proses lama.
Pelatih Jordania Wessam al-Sous menilai, pemain keturunan bisa menginspirasi pemain lokal, juga membawa pengetahuan baru dari negara kelahiran mereka. ”Saya pikir Indonesia yang punya populasi besar akan lebih mudah mencari pemain keturunan yang berada di negara lain,” katanya.
Bolden dan Derrick akan kembali ke Amerika Serikat setelah ini. Bolden sudah mendapat beberapa tawaran bermain di liga lokal. Derrick akan tampil di NCAA Divisi I bersama Green Canyon University. Dengan usia masih muda, mereka akan berkembang lebih hebat lagi.
Baca juga : Timnas Basket Melawan Kemustahilan
Hanya saja, tidak cukup mengandalkan dua pemain untuk bersaing di level Asia. Bola basket adalah permainan tim. Karena itu, Indonesia perlu mengubah ekosistem pembinaan secara keseluruhan.
Piala Asia seharusnya jadi momentum terbesar. Selain perhatian masyarakat yang tertuju setelah raihan emas di SEA Games, timnas saat ini punya figur bintang Derrick dan Bolden yang bisa menjadi berlian pada masa depan. Adapun Iran juga memulai revolusi dalam pembinaan setelah punya generasi berbakat yang dipimpin mantan pebasket NBA, Hamed Haddadi.
Jika momentum ini tidak dimanfaatkan, sangat mungkin Indonesia masih berada di posisi yang sama pada tiga dekade mendatang. Jangan mengulang kesalahan lalu, ketika momentum besar itu hanya dilewatkan begitu saja seiring waktu.