Christophe Galtier dan Upaya PSG Meredam Ego
Bukan pelatih top seperti Zinedine Zidane dan Jose Mourinho yang menjadi pelatih anyar PSG, justru pelatih minim trofi Christophe Galtier. Galtier diharapkan bisa meredam ego para pemain bintang agar PSG lebih solid.

Pelatih Nice Christophe Galtier saat jumpa pers sebelum pertandingan final Piala Perancis antara Nice dan Nantes di Stadion Stade de France, Paris, dalam arsip foto pada 6 Mei 2022. Galtier menjadi pelatih Paris Saint-Germain selama dua tahun menggantikan Mauricio Pochettino.
PARIS, KAMIS – Paris Saint-Germain atau PSG memang bisa merajai sepak bola Perancis satu dekade terakhir. Namun, mereka belum bisa berbuat banyak di kompetisi antarklub Eropa. Hal itu disinyalir karena tingginya ego dan ekspektasi terhadap klub yang bermarkas di Stadion Parc des Princes, Paris, Perancis, tersebut.
Atas dasar itu, PSG menunjuk Christophe Galtier sebagai pelatih anyarnya per Selasa (5/7/2022). Pelatih berusia 55 tahun itu diharapkan bisa menularkan tuahnya dalam menyulap tim semenjana menjadi raja Perancis, seperti membawa Lille OSC sebagai juara Liga 1 Perancis 2020/2021. Pelatih kelahiran 26 Agustus 1966 itu adalah sosok bertangan besi yang mampu mengendalikan dan mengeluarkan kemampuan terbaik pemain.
Galtier diharapkan memberikan perubahan nyata selama masa kontraknya hingga 30 Juni 2024 di PSG. ”Kami memiliki era baru untuk memulai suasana baru dan tujuan baru,” tegas Presiden PSG Nasser al-Khelaifi dilansir tt.loopnews.com, Selasa.
Baca juga : ”Terjebak” Sengkarut Politik, Mbappe Gagal ke Madrid
Bukan manajer atau pelatih kondang, seperti pelatih Perancis, Zinedine Zidane, dan pelatih Portugal, Jose Mourinho, yang beberapa waktu terakhir santer diberitakan akan menjadi bos baru PSG, melainkan pelatih minim trofi Galtier yang akhirnya didapuk sebagai nakhoda baru klub berjuluk ”Si Merah-Biru” alias ”Les Rouge-et-Bleu” tersebut. ”Sejak awal, kami tidak pernah berbicara dengan pelatih lain (Zidane). Christophe (Galtier) adalah pilihan pertama kami,” kata Al-Khelaifi.

Pelatih Nice Christophe Galtier pada akhir pertandingan final Piala Perancis antara Nice dan Nantes di Stadion Stade de France, Paris, dalam arsip foto tanggal 7 Mei 2022. Galtier menjadi pelatih Paris Saint-Germain selama dua tahun menggantikan Mauricio Pochettino.
Galtier menjadi pelatih ketujuh PSG dalam 11 tahun terakhir atau sejak di bawah kepemimpinan grup taipan ambisius asal Qatar mulai 2011. Galtier menggantikan pelatih Argentina, Mauricio Pochettino, yang menjadi pelatih keempat berturut-turut yang dipecat karena tidak bisa memenuhi ekspektasi pemilik yang sangat mengidamkan melihat PSG menjadi raja baru ”Benua Biru”.
Pochettino hanya mampu mengantarkan PSG sampai 16 besar Liga Champions 2021/2022 seusai kalah agregat 2-3 (1-0, 1-3) dari Real Madrid. Itu prestasi yang lebih buruk dari era sebelumnya, yakni mencapai semifinal Liga Champions 2020/2021 setelah kalah 1-4 (1-2, 0-2) dari Manchester City.
Baca juga : Kylian Mbappe di Persimpangan Jalan
Selama era investasi grup pengusaha kaya raya dari Qatar, banyak manajer atau pelatih silih berganti menukangi PSG, termasuk pelatih kawakan seperti pelatih Italia, Carlo Ancelotti (2012-2013); pelatih Spanyol, Unai Emery (2016-2018); dan pelatih Jerman, Thomas Tuchel (2018-2020). Namun, semuanya tak bisa memenuhi harapan sang pemilik asal Timur Tengah tersebut.
Dari itu, mungkin manajemen PSG menyadari pelatih bintang cuma menambah besar ego PSG yang banyak dihuni pemain bintang. Manajemen klub berjuluk ”Les Parisiens” itu coba mengurangi, bahkan membuang jauh-jauh ego yang justru menjadi bumerang tersebut.

Reaksi Pelatih Nice Christophe Galtier saat pertandingan Liga Perancis antara Lille dan Nice Stadion Pierre Mauroy, Villeneuve, dalam arsip foto tanggal 14 Agustus 2021. Galtier menjadi pelatih Paris Saint-Germain selama dua tahun menggantikan Mauricio Pochettino.
Kita harus menghentikan perkataan bahwa kami akan memenangi ini dan itu. Mimpi adalah satu hal dan kenyataan adalah hal lain. Mungkin kita mesti mengubah slogan kita ”Mimpi Lebih Besar”.
”Kita harus menghentikan perkataan bahwa kami akan memenangi ini dan itu. Mimpi adalah satu hal dan kenyataan adalah hal lain. Mungkin kita mesti mengubah slogan kita ’Mimpi Lebih Besar’. Kita patut bertanya pada diri sendiri bagaimana cara meningkatkan diri,” ujar Al-Khelaifi.
”Hari ini, kita harus lebih realistis. Kami tidak ingin mencolok, kami tidak ingin bling-bling lagi karena itu malah akhir dari kilauan,” ujar Al-Khelaifi dalam laman Dohanews.co, Rabu (6/7/2022).
Baca juga : Pochettino dan Mbappe Bisa Jadi Tumbal Kekecewaan PSG
Pesulap dari Marseille
Galtier memang bukan pelatih tersohor dengan banyak koleksi trofi prestisius dan pernah menangani klub-klub terbaik Eropa. Pelatih asal Marseille, Perancis, ini menghabiskan semua karier kepelatihannya di Perancis dengan tim-tim yang bukan papan atas. Meski demikian, dia bak pesulap di setiap tim yang dinakhodainya.
Awal karier kepelatihannya, Galtier ditunjuk untuk menjadi asisten pelatih di klub kampung halamannya, Olympique Marseille, tahun 1999-2001. Selang delapan tahun kemudian, barulah dia mendapatkan kesempatan menjadi pelatih kepala di AS Saint-Etienne mulai dari 2009 hingga 2017.

Reaksi Pelatih Paris Saint-Germain Mauricio Pochettino dalam pertandingan Liga Perancis antara PSG dan Lens di Stadion Parc des Princes, Paris, Sabtu (23/4/2022). Christophe Galtier telah resmi menjadi pelatih Paris Saint-Germain selama dua tahun menggantikan Mauricio Pochettino.
Di Saint-Etienne, Galtier baru bisa merasakan nikmatnya mengangkat trofi saat membawa klub berjuluk ”Si Biru” alias ”Les Verts” itu meraih Piala Perancis 2012/2013. Di tangannya, Saint-Etienne menjelma sebagai tim papan atas, antara lain urutan keempat Liga 1 2013/2014 dan peringkat kelima Liga 1 2012/2013 serta 2014/2015.
Seusai itu, Galtier didapuk sebagai pelatih Lille OSC selama 2017-2021. Lewat sentuhannya, Lille yang tidak punya pemain bintang sementereng PSG justru bisa keluar sebagai juara Liga 1 Perancis 2020/2021. Nama Galtier pun kian terangkat, tetapi dia memilih berlabuh ke klub papan tengah OGC Nice mulai 2021/2022. Di Nice, dirinya tidak bisa berbuat banyak, yakni cuma mampu mengantar ke urutan kelima Liga 1 Perancis dan runner-up Piala Perancis.
Baca juga : Anomali Nasib Bintang Bebas
Akan tetapi, itu tidak mengurangi minat PSG untuk merekrutnya. Boleh jadi, ada peran penasihat klub PSG, Luis Campos, yang baru didatangkan dari klub Spanyol, Celta Vigo. Campos dan Galtier pernah bekerja bersama di Lille tahun 2017/2018-2020/2021.
Galtier sangat terhormat dengan kepercayaan tersebut. Tiga kali peraih predikat Pelatih Terbaik Liga 1 Perancis (2012/2013, 2018/2019, 2020/2021) itu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang ada. ”Kita harus bekerja dengan cara yang benar untuk membuat orang bahagia. Saya sudah siap. Jika saya menerima pekerjaan ini dan tanggung jawab ini, itu karena saya mampu melakukannya,” ungkap Galtier.

Penyerang Paris Saint-Germain (PSG), Lionel Messi (kiri), melewati hadangan gelandang Real Madrid, Luka Modric, dalam babak 16 besar putaran kedua Liga Champions di Stadion Santiago Bernabeu, Madrid, Spanyol, Kamis (10/3/2022) dini hari WIB. Christophe Galtier telah resmi menjadi pelatih Paris Saint-Germain selama dua tahun menggantikan Mauricio Pochettino.
Sikap tegas
Salah satu sisi positif yang diharapkan PSG dari Galtier adalah sikap tegasnya untuk meredam ego setiap pemain. Sebagaimana filosofi pelatih legendaris asal Skotlandia, Sir Alex Ferguson, bahwa tidak boleh ada pemain yang lebih besar dari klub, itu pula yang menjadi acuan Galtier dalam melatih dan siap untuk diterapkan di tim bertaburkan bintang seperti PSG.
Dalam pernyataan awalnya, Galtier tidak akan mengandalkan pemain bintang yang terlalu dimanjakan oleh PSG. Dia tidak mau ada pemain yang sibuk dengan aktivitas di luar sepak bola. Melalui etos kerjanya, itu diharapkan melahirkan kesimbangan di tubuh PSG.
Baca juga : Strategi Utama PSG dan Efek Lionel Messi
Komitmen, rasa hormat, dan tim di atas segalanya. Jika, sayangnya, ada pemain menjauh dari itu, maka mereka akan ditinggalkan. Tidak ada satu pemain pun yang boleh berada di atas skuad. Saya seorang pelatih yang sangat menuntut itu.
”Komitmen, rasa hormat, dan tim di atas segalanya. Jika, sayangnya, ada pemain menjauh dari itu, maka mereka akan ditinggalkan. Tidak ada satu pemain pun yang boleh berada di atas skuad. Saya seorang pelatih yang sangat menuntut itu,” pesan Galtier.
Galtier menyiapkan solusi untuk menciptakan ruang ganti yang lebih kondusif, antara lain siap memangkas pemain demi tercipta keadilan menit bermain. ”Sangat penting untuk menemukan keseimbangan dalam tim,” katanya.

Penyerang Paris Saint-Germain, Kylian Mbappe, dilanggar bek Real Madrid, David Alaba, dalam babak 16 besar putaran kedua Liga Champions di Stadion Santiago Bernabeu, Madrid, Spanyol, Kamis (10/3/2022) dini hari WIB. Kecepatan Kylian Mbappe yang mencetak gol di dua laga pada babak 16 besar ini beberapa kali merepotkan lini pertahanan tuan rumah.
Kendati demikian, Galtier tidak munafik ingin tetap mempertahankan pemain penting PSG, antara lain penyerang Neymar. Dia memastikan memiliki ide yang jelas untuk mengeluarkan kemampuan terbaik megabintang asal Brasil itu musim depan. Hal itu sekaligus mematahkan isu bahwa PSG akan melepas Neymar pada jendela transfer musim panas ini.
Isu itu merebak karena pemain berusia 30 tahun itu belum jua bisa memberikan kontribusi nyata, terutama di Liga Champions. Padahal, dia didatangkan dari raksasa Spanyol, Barcelona, dengan nilai transfer tertinggi di dunia sejauh ini, yakni 222 juta euro, pada 2017.
Baca juga : Rasa Hambar Gelar ”Les Parisiens”
Neymar sempat dikabarkan akan kembali ke Barcelona. Dia pun diminati sejumlah tim besar Liga Inggris, seperti Chelsea, Manchester United, dan tim kaya baru Newcastle United. Namun, Galtier tidak ingin pemain berbakat seperti itu keluar dari timnya.
”Neymar adalah pemain kelas dunia, pelatih mana yang tidak ingin dia masuk dalam skuadnya. Saya memiliki gagasan yang sangat jelas tentang apa yang saya inginkan dari Neymar. Saya belum bertemu dengannya, tetapi saya ingin dia tetap bersama kami,” tutur Galtier dilansir Menafn.com, Kamis (7/7/2022).

Penyerang Paris Saint-Germain, Kylian Mbappe (kiri) dan Neymar, mengikuti sesi latihan di Camp des Loges, Saint-Germain-en-Laye, 14 Februari 2022, sebelum pertandingan babak 16 besar Liga Champions Eropa antara PSG dan Real Madrid.
Pro dan kontra
Kinerja Galtier, terutama selama di Lille, mendapatkan pengakuan sejumlah pihak. Mourinho dikutip Sportingnews.com, Kamis, penah menggambarkan Galtier sebagai ”man of the season” setelah mengantarkan Lille keluar dari jurang degradasi musim 2017/2018 dan finis kedua musim 2018/2019.
Bek tengah Lille, Jose Fonte, dilansir as.com, Selasa, menuturkan, Galtier adalah pelatih yang tahu cara mengeluarkan kemampuan terbaik pemain. ”Dia tahu persis apa yang harus tim lakukan di lapangan. Dia membuat kami tahu cara bertahan dan menyerang. Dia sangat paham mengorganisasikan klub,” ujar pemain asal Portugal tersebut.
Baca juga : Sinyal Bahaya Messi bagi Paris Saint-Germain
Akan tetapi, dengan pengalaman yang minim, tak sedikit pula yang menganggap Galtier sebelah mata. Dia dirasa akan kesulitan mengendalikan ruang ganti PSG. Salah satu yang pesimistis adalah mantan penyerang Liga Inggris, Gabriel Agbonlahor.
Agbonlahor dikutip Psgtalk.com, Rabu (6/7/2022), mengatakan, sejatinya hanya pelatih raksasa Inggris, Manchester City, Pep Guardiola, yang cocok menukangi tim bertaburkan bintang seperti PSG. Sebab, Guardiola berpengalaman mengelola pemain-pemain top seperti Lionel Messi di Barcelona.

Penyerang Paris Saint-Germain, Kylian Mbappe, menendang bola sebelum pertandingan Liga Perancis antara PSG dan Lens di Stadion Par des Princes, Paris, 23 April 2022. Christophe Galtier telah resmi menjadi pelatih Paris Saint-Germain selama dua tahun menggantikan Mauricio Pochettino.
”Cuma Guardiola yang berhasil menangani Messi. Saya rasanya hanya dia yang mampu melatih pemain-pemain bintang PSG (Messi, Neymar, dan Kylian Mbappe). Saya merasa Mbappe akan menghormatinya (Guardiola) karena apa yang telah dia lakukan, sedangkan Galtier dan Pochettino belum benar-benar memenangi trofi. Mereka tidak bakal mendapatkan rasa hormat dari para pemain top,” tegas Agbonlahor. (AP/AFP/REUTERS)