Daud Yordan dan Petualangan Politik Petinju
Petinju Indonesia, Daud Yordan, mengumumkan akan terun ke panggung politik pada 2024 mendatang. Kalau niat terwujud, ia akan menambah daftar panjang petinju atau atlet yang banting setir ke dunia politik.
Sehabis menang TKO atas petinju Thailand, Panya Uthok, pada ronde keenam dari 10 ronde yang direncanakan di Balai Sarbini, Jakarta, Jumat (1/7/2022) malam, petinju andalan Indonesia, Daud Yordan, mengganti julukan khasnya, yaitu dari ”Cino”, menjadi ”People’s Champ”. Petinju berusia 35 tahun itu berdalih dirinya bukan lagi milik pribadi melainkan milik rakyat.
”Julukan Cino itu identik milik pribadi. Sedangkan, People’s Champs berarti juara masyarakat karena saya sekarang milik semua orang. Saya juara untuk masyarakat,” ujar petinju asal Kayong Utara, Kalimantan Barat itu seusai laga mempertahankan gelar kelas ringan super Dewan Tinju Dunia (WBC) Dewan Tinju Asia Perak tersebut.
Pernyataan Daud itu semakin menegaskan rencananya terjun ke panggung politik pada 2024 mendatang. Dalam dua pertandingan terakhir, yakni saat menang TKO atas petinju Thailand, Rachata Khaophimai, dalam perebutan gelar kelas ringan super WBC Asia di Bangkok, Thailand, pada 19 November 2021 dan ketika menghadapi Uthok, Daud selalu menggenakan sejumlah atribut bermuatan politik.
Baca juga : Dari Balai Sarbini, Tebersit Asa Kebangkitan Geliat Tinju Indonesia
Pada dua laga itu, Daud selalu memakai ikat kepala bertuliskan ”#DY2024”. Tulisan serupa pun tertera di celana tinjunya dan kaus sejumlah tim kepelatihannya. Petinju kelahiran 10 Juni 1987 itu juga sering memakai topi atau kaos bertuliskan ”I Love Kayong Utara”.=
Dalam sejumlah konferensi pers, Daud selalu menambahkan pesan mengenai semangat untuk mengharumkan daerah, baik untuk Kayong Utara maupun Kalimantan Barat. Dia pun menjelma dari petinju yang dikenal ”bad boy” menjadi ”good boy” dengan sikap dan bahasa yang lebih tenang serta santun. Perubahan itu mengisyaratkan dirinya punya agenda politik di Kayong Utara ataupun Kalimantan Barat, dua tahun mendatang.
Saat ditanya wartawan seusai timbang badan di Balai Sarbini, Kamis (30/6), Daud tidak menafikan bahwa dirinya memiliki rencana terjun ke panggung politik. Namun, dia belum bisa memastikan jabatan politik apa yang diincarnya pada 2024 mendatang, baik itu di legislatif maupun eksekutif. ”Dengan tagar DY2024, saya akan menyongsong 2024. Tetapi, saya belum bisa menjelaskannya. Tunggu saja tanggal mainnya,” ungkap Daud.
Bukan tabu
Daud tak segan untuk menyampaikan keinginannya terjun ke dunia politik karena baginya tinju ataupun olahraga dan politik bukan sesuatu yang tabu. Dia berkaca kepada sejumlah rekan seprofesinya yang merambah dunia politik, terutama di luar negeri. Hal itu menjadi inspirasinya. ”Yah, saya akan mencoba menjalani dua karier sekaligus kalau rakyat menghendaki. Atlet dan politikus, itu lumrah terjadi, terutama di luar sana (luar negeri),” katanya kepada Kompas beberapa waktu lalu.
Menurut Daud, panggung politik bisa membantunya berbuat lebih besar untuk masyarakat, terutama daerah asalnya. Sebab, dia melihat daerahnya masih banyak keterbatasan dan itu bisa dibenahi dengan pengaruh politik. ”Saya pikir dunia politik bisa membantu masyarakat dengan lebih luas. Dengan itu, saya ingin membantu memajukan daerah saya karena kita tahu di daerah segala sesuatu masih sangat terbatas, masih sangat kurang,” tegas petinju yang memulai karir profesional sejak 2005 tersebut.
Daud boleh jadi terinspirasi dari petinju legendaris Filipina, Manny Pacquiao. Julukan baru Daud, People’s Champ kemungkinan berasal dari penggalan singatan julukan Pacquiao, ”Pacman” yang singkatan dari ”People’s Champs and National Fist”.
Pacquiao adalah petinju pertama yang menjadi juara dunia di delapan kelas berbeda dan sudah memenangkan 12 gelar dunia utama. Petinju pertama yang menjadi juara dunia dalam empat dekade (dari 1990-an hingga 2020-an) itu terjun ke dunia politik dengan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Filipina 2010-2016 dan Senator Filipina 2016-2022 sebelum kalah dalam Pemilihan Presiden Filipina pada 9 Mei 2022.
Presiden Indonesia pertama, Soekarno, mendeklarasikan bahwa olahraga tidak bisa terpisah dengan politik setelah Indonesia dikeluarkan dari keanggotaan Komite Olimpiade Internasional (IOC) medio 1963.
Alasan utama Pacquiao menjadi politikus pun sama dengan yang diungkapkan Daud, yakni untuk membantu masyarakat. ”Banyak orang kaya yang tahu masalah negara ini, tetapi mereka tidak merasakan bagaimana nasib orang miskin. Hal ini akan berbeda jika mereka pernah merasakan miskin,” ungkap Pacquiao, yang berasal dari keluarga miskin di kawasan General Santos, Filipina, seperti dilansir The Philippine Star.
Sebelum Pacquiao, juara dunia tinju kelas berat pertama asal Ukraina pada 1999, Vitali Klitschko, sukses merintis karier politik. Dia sempat menjadi anggota DPR Kiev 2006-2012 dan anggota DPR Ukraina 2012-2014 sebelum terpilih sebagai Wali Kota Kiev sejak 2014 sampai sekarang.
Di tingkat nasional, Daud akan mengikuti jejak seniornya, juara dunia tinju kelas bulu pertama asal Indonesia, Chris John. Usai pensiun sebagai petinju pada 2013, Chris banting setir menjadi politikus dengan bergabung ke salah satu partai politik nasional mulai awal 2018. Sayangnya, mantan petinju asal Banjarnegara, Jawa Tengah, itu tidak terpilih sebagai anggota DPR RI asal Jawa Tengah 2019-2014 dalam pemilihan legislatif 2019 lalu.
Olahraga alat perubahan
Tinju atau olahraga memang sangat erat dengan politik. Jauh sebelum fenomena Daud ataupun Pacquiao, petinju legendaris Amerika Serikat (AS), Muhammad Ali, menjadikan ring tinju sebagai panggung perlawanan politiknya terhadap rasialisme kepada warga kulit hitam atau Afrika-Amerika dan umat Islam di AS, setidaknya sejak dia berganti nama.
Baca juga : Daud Yordan Perpanjang Rekor 100 Persen Menang atas Petinju Thailand
”Saya adalah Muhammad Ali, sebuah nama yang berarti kekasih Tuhan. Maka, saya ingin orang-orang memanggil saya Muhammad Ali,” ucap Ali ketika pertama kali menanggalkan nama sebelumnya, Cassius Marcellus Clay Jr pada 1964 dikutip CNN.
”Cassius Clay adalah nama saya sebagai budak,” tutur Ali dilansir BBC.
Bahkan, sikap keras Ali turut berdampak negatif terhadap karier tinjunya. Dia sempat menolak wajib militer saat masa invasi AS ke Vietnam pada 1967 yang membuat dirinya ditahan dan didenda. Gelar juaranya bahkan dicopot, ia pun tidak punya izin bertanding hingga 1970.
”Untuk apa menembak mereka (orang Vietnam)? Mereka tidak pernah mengejek saya, tidak merampas kewarganegaraan saya. Mereka juga tidak memperkosa atau membunuh ibu dan ayah saya,” jelas Ali dikutip CNN.
Baca juga : Pertarungan Petinju Ukraina untuk Kehidupan dan Negaranya
Jelang pensiun, Ali menjadi anggota Komite Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk masalah apartheid. Setelah pensiun pada 1979, dia mendedikasikan dirinya membantu mempromosikan perdamaian dunia, kemanusiaan, dan hubungan antarumat beragama. Maka itu, dirinya dinobatkan sebagai Pembawa Pesan Damai PBB pada 1988.
Pahlawan kemanusiaan
Tak heran, Ali bukan hanya dikenang sebagai mantan juara dunia kelas berat tinju, melainkan pula pahlawan kemanusiaan. ”Saya selalu ingin menjadi lebih dari sekadar petinju, lebih dari mantan juara dunia kelas berat tiga kali. Saya ingin menggunakan ketenaran dan wajah saya yang sangat dikenal untuk membantu mengangkat dan menginspirasi orang di seluruh dunia,” ujar Ali jauh sebelum dirinya wafat pada 3 Juni 2016 tersebut.
Dosen Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Surabaya, RN Bayu Aji, dalam artikelnya berjudul ”Politik Olahraga Soekarno: Menggelar Indonesia melalui Sepak Bola dan Bulu Tangkis” yang diunggah dalam Researchgate.net pada 27 April 2018, menyebut, Presiden Indonesia pertama, Soekarno, mendeklarasikan bahwa olahraga tidak bisa terpisah dengan politik setelah Indonesia dikeluarkan dari keanggotaan Komite Olimpiade Internasional (IOC) medio 1963. Soekarno menentang pernyataan IOC bahwa olahraga jangan dicampuri dengan politik.
Namun, IOC tidak menjalankan ideologinya tatkala melarang negara komunis (China dan Vietnam) berpartisipasi dalam Olimpiade. Untuk itu, Soekarno dengan tegas mengusulkan pandangan bahwa olahraga ada hubungannya dengan politik. ”Mulai sekarang, Indonesia mengusulkan untuk mencampur olahraga dengan politik,” kata Soekarno dalam Pembukaan Konferensi Persiapan The Games of The New Emerging Forced (Ganefo) di Jakarta, 27 April 1963. (AP/AFP/REUTERS)