Sulitnya Tampil di Lapangan Rumput
Banyak petenis tak suka tampil di lapangan rumput. Perubahan kondisi, dari lapangan mulus bagai karpet menjadi "botak", menjadi salah satu tantangan petenis untuk bisa beradaptasi setiap hari.
Bermain di lapangan rumput, apalagi terjadi setelah musim kompetisi lapangan tanah liat, bukan hal mudah. Dalam setiap era, ada saja petenis yang tak pernah merasa cocok bermain di lapangan tersebut, termasuk petenis bintang.
Salah satu bintang yang terkenal tak menyukai lapangan rumput adalah Ivan Lendl. Di antara delapan gelar juara Grand Slam pada era 1980-an, tak ada satu pun yang berasal dari Wimbledon.
Dia mencapai final pada 1986 dan 1987, tetapi kalah dari Boris Becker dan Pat Cash. Padahal, Lendl memiliki gaya main agresif dari baseline dengan pukulan keras dan datar, yang sebenarnya cocok untuk bermain di lapangan rumput.
Baca juga: Favorit Juara di Tangan Senior
Mantan petenis Spanyol, Manolo Santana bahkan pernah menyebut ”rumput hanya untuk sapi”, meski dia pernah juara Wimbledon 1966.
Pada era saat ini, petenis Norwegia Casper Ruud (23), termasuk petenis yang dengan terang-terangan menyatakan tak cocok bermain di lapangan rumput. Meski Wimbledon tahun ini baru menjadi Wimbledon keempat sejak debut pada 2018, hasil dari turnamen itu pantas membuat Ruud menyebut dirinya kesulitan tampil di lapangan rumput.
Dari delapan gelar juara turnamen ATP, tujuh diantaranya didapat dari turnamen lapangan tanah liat dan satu dari lapangan keras. Final pertama di ajang Grand Slam pun didapat di tanah liat, yaitu ketika dikalahkan Rafael Nadal pada Perancis Terbuka, tiga pekan lalu.
Wimbledon menjadi satu-satunya Grand Slam yang membuat Ruud tak bisa melewati babak pertama sejak 2018. Dia baru bisa lolos ke babak kedua untuk menghadapi Ugo Humbert di All England Club, London, Rabu (29/6/2022), setelah mengalahkan Albert Ramos-Vinolas pada babak pertama, Senin lalu.
Baca juga: Swiatek Masih Belajar di Lapangan Rumput
Sebelum memenangi laga pertamanya di Wimbledon, Ruud mengatakan, lapangan rumput hanyalah untuk atlet golf. “Persiapan saya untuk Wimbledon adalah sering bermain golf, karena saya merasa lebih nyaman bermain golf di lapangan rumput dibandingkan dengan tenis untuk saat ini. Namun, kita lihat apakah hal itu akan berubah atau tidak,” tuturnya.
Bermain di lapangan rumput menuntut petenis tak sekadar memiliki servis dan pukulan keras, meski jenis lapangan ini memantulkan bola paling cepat ketimbang lapangan lain. Penulis buku berjudul “Essential Tennis”, Ian Westermann, menyebut, syarat terpenting untuk bisa bermain tenis di rumput adalah memiliki kemampuan untuk menapak dengan nyaman di atasnya.
Rumput yang licin menuntut petenis bisa bergerak dengan cara meluncur. Namun, lebih sulit untuk mengerem setelah meluncur di rumput dibandingkan dengan di lapangan tanah liat.
Persiapan saya untuk Wimbledon adalah sering bermain golf, karena saya merasa lebih nyaman bermain golf di lapangan rumput dibandingkan dengan tenis untuk saat ini.
Kondisi lapangan yang berubah setiap hari menambah tingkat kesulitan. Kelembaban rumput terus berkurang. Lapangan yang terlihat hijau dan rapi bagaikan karpet pada hari pertama, berubah kian “botak” terutama di sekitar baseline. Petenis pun harus beradaptasi setiap hari karena area baseline bisa berubah dari lapangan rumput menjadi tanah.
Pola botak di baseline terbentuk karena hampir semua petenis bertipe baseliner. Mereka pun lebih banyak bergerak di area belakang lapangan, termasuk dalam menyerang.
Namun, ada masanya ketika Wimbledon menjadi pertandingan yang membosankan bagi penonton karena gaya main servis dan voli, seperti yang dimiliki Pete Sampras, tujuh kali juara Wimbledon pada 1990-an hingga 2000. Cara main ini mengurangi drama karena perebutan setiap poin cenderung berlangsung cepat.
Ganti rumput
Pada 2001 panitia mengubah rumput dari campuran 70 persen jenis ryegrass dan 30 persen creeping red fescue menjadi 100 persen ryegrass untuk mengurangi kecepatan pantulan. Selain mengurangi kecepatan, ryegrass juga membuat pantulan bola menjadi lebih tinggi, meski petenis tetap dituntut untuk sering berlutut saat mengembalikan bola.
Untuk menghadapi kondisi ini, backhand slice menjadi jenis pukulan yang efektif. Ini adalah pukulan yang menjadi senjata Roger Federer untuk meraih delapan gelar juara Wimbledon.
Baca juga: Wimbledon Penuh Kontroversi Sejak Awal
“Slice, pukulan pelan dengan putaran bola yang cepat sangat pas di lapangan rumput, apalagi pantulan di lapangan rumput sering berubah arah karena permukaan yang tak begitu rata dibandingkan jenis lapangan lain,” kata mantan petenis Amerika Serikat, Tracy Austin, yang sering menjadi komentator pertandingan Grand Slam.
Mantan kepala bagian pemeliharaan lapangan All England Club Eddie Seaward, seperti disebutkan dalam The New York Times, mengatakan, penggantian rumput pada 2001 dilakukan demi kebaikan, dalam hal ini agar pertandingan bisa lebih dinikmati.
Seiring dengan perubahan gaya main petenis, perubahan rumput membuat taktik servis dan voli kurang diminati petenis di Wimbledon. Ahli statistik tenis, Craig O’Shannessy, mengatakan, sebanyak 33 persen poin dari petenis putra pada 2002 didapat melalui servis dan voli, tetapi angka itu turun menjadi 19 persen pada 2005 dan terus menurun pada tahun-tahun berikutnya. Meski demikian, taktik itu masih menjadi cara efektif mendapat poin di lapangan rumput.
Austin menilai, permainan reli telah menjadi bagian dari Wimbledon. Teknologi yang digunakan untuk membuat senar dan gaya main membuat petenis bisa mendapat poin dari pengembalian servis untuk mengatasi mereka yang memiliki gaya main servis dan voli.
Baca juga: Ketika Wimbledon Dipengaruhi Situasi Politik
Maka, tak heran jika Rafael Nadal bisa mencuri kesempatan menjadi juara Wimbledon, pada 2008 dan 2010, meski gaya mainnya, dengan ciri pukulan top spin, lebih cocok untuk bermain di lapangan tanah liat. (REUTERS)