Dunia olahraga dan politik tidak dapat dipisahkan. Serangan Rusia pada Ukraina membuat salah satu ajang prestisius dunia, Wimbledon, melarang atlet Rusia dan Belarus ikut bertanding.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
Meskipun merupakan dua dunia berbeda, olahraga terkadang tidak bisa dilepaskan dari intrik politik. Sejak terjadi serangan Rusia (yang dibantu Belarus) ke Ukraina pada Februari lalu, dunia olahraga turut ”memanas”. Grand Slam Wimbledon, turnamen tenis paling prestisius, kini menjadi bagian dari ajang yang tidak akan diikuti atlet Rusia dan Belarus.
All England Lawn Tennis Club (AELTC), penyelenggara Wimbledon yang tahun ini akan digelar pada 27 Mei-10 Juni, mengumumkan larangan partisipasi atlet Rusia dan Belarus, Rabu (20/4/2022). Rumor tentang hal itu sebenarnya sudah muncul sejak Maret, setelah banyak federasi olahraga internasional mengambil sikap atas serangan Rusia.
Federasi olahraga beregu, seperti sepak bola (FIFA, UEFA), dan hoki (FIH), melarang keikutsertaan tim Rusia dan Belarus dalam berbagai ajang. Dalam sepak bola, mereka dilarang mengikuti playoff Piala Dunia Qatar 2022 dan kompetisi sepak bola antarklub Eropa. Adapun tim hoki dilarang tampil dalam Kejuaraan Dunia 2022.
Sementara organisasi yang membawahi cabang individu, seperti asosiasi tenis profesional, ATP dan WTA, memperbolehkan atlet bertanding dengan syarat tidak tampil di bawah bendera negara mereka. Kebijakan itu sama seperti rekomendasi dari Komite Olimpiade Internasioal (IOC). Adapun Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF) membatalkan semua pertandingan di Rusia dan melarang diperdengarkannya lagu kebangsaan negara itu.
Larangan tampil pada cabang olahraga individu mulai dilakukan oleh World Athletics yang melarang atlet Rusia dan Belarus tampil dalam kompetisi atletik, Liga Berlian. Larangan itu diumumkan pada 18 Maret lalu.
Bagai ”ledakan bom”, salah satu ajang olahraga prestisius di dunia, Wimbledon, melakukan hal yang sama. Larangan partisipasi petenis Rusia dan Belarus dimulai ketika Wimbledon menerima panduan dari Pemerintah Inggris yang dipimpin Perdana Menteri Boris Johnson, Maret lalu.
Pemerintah merekomendasikan bahwa calon pemain Rusia dan Belarus harus memberikan pernyataan tertulis bahwa mereka tidak mewakili negara mereka, tidak menerima dana atau sponsor negara dari perusahaan yang memiliki hubungan kuat dengan Rusia, dan tidak akan menyatakan dukungan untuk invasi ke Ukraina atau kepemimpinan negara mereka.
Tekanan pemerintah
Di bawah tekanan pemerintah itulah, Asosiasi Tenis Inggris Raya (LTA) dan AELTC akhirnya mengumumkan larangan bermain untuk petenis Rusia dan Belarus. Tunggal putra nomor dua dunia, Daniil Medvedev; Andrey Rublev; Aryna Sabalenka; dua kali juara Grand Slam, Victoria Azarenka; serta petenis lain dari kedua negara itu tidak hanya dilarang tampil di Wimbledon.
Menyandera orang-orang seperti Medvedev, Rublev, dan (Anastasia) Pavlyuchenkova, adalah salah. Saya pikir, Wimbledon membuat kesalahan. Mereka sudah terlalu jauh. (Yevgeny Kafelnikov)
Mereka juga tidak boleh bertanding pada turnamen pemanasan yang akan berlangsung di Eastbourne dan Queen’s Club, London. Tak pelak, petenis pun dirugikan karena tidak mendapat kesempatan untuk menambah poin ranking dunia.
”Mengingat profil kejuaraan di Inggris Raya dan di seluruh dunia, maka tanggung jawab kami untuk memainkan peran dalam upaya luas pemerintah pada bidang industri, olahraga, dan kreatif, untuk membatasi pengaruh global Rusia. Oleh karena itu, niat kami, dengan penyesalan yang mendalam, menolak pemain Rusia dan Belarus ke Wimbledon,” bunyi pernyataan AELTC.
Keputusan tersebut dirilis hanya berselang 50 hari setelah ATP, WTA, Federasi Tenis Internasional (ITF), dan empat Dewan Grand Slam mengeluarkan pernyataan bersama untuk merespons serangan Rusia ke Ukraina. Mereka bersepakat melarang pemain Rusia dan Belarus mengikuti ajang beregu, seperti pada Piala Davis dan Piala Billie Jean King, tetapi tetap mengizinkan keikutsertaannya dalam kejuaraan individu tanpa identitas kebangsaan.
Untuk pertama kalinya sejak Perang Dunia II, Wimbledon pun melarang atlet dari negara tertentu untuk berpartisipasi. Setelah tidak digelar pada 1940-1945, Wimbledon melarang atlet Jerman dan Jepang untuk tampil pada 1946. Dalam pernyataannya, Wimbledon menambahkan, masih ada kemungkinan bagi mereka untuk mengubah peraturan jika terjadi perubahan situasi. Artinya, perubahan itu hanya dimungkinkan jika Pemerintah Inggris melunak dengan sikap mereka.
Banyak ditentang
Meskipun terdapat pernyataan tambahan itu, banyak pihak menentang keputusan Wimbledon. Apalagi, peraturan Grand Slam menyebutkan, partisipasi dalam turnamen ditentukan oleh peringkat dunia dan kemampuan mereka. Bukan oleh hal lainnya.
”Atlet tak boleh dilarang tampil dalam ajang individu. Ini adalah diskiriminasi dan wujud dari ketidakadilan,” bunyi pernyataan WTA sebagai organisator tenis putri profesional.
Tunggal putra nomor satu dunia, Novak Djokovic, dan mantan petenis Martina Navratilova berpendapat serupa. Djokovic bahkan menyebut keputusan itu adalah gila.
”Saya selalu menentang perang. Di Serbia, itu pernah terjadi pada 1999. Saya tahu bagaimana itu akan meninggalkan trauma bagi banyak orang. Tetapi, saya tak bisa mendukung keputusan Wimbledon. Atlet, termasuk petenis, tak ada hubungannya dengan perang itu. Ketika politik mengintervensi olahraga, itu bukan hal yang baik,” tutur Djokovic.
Mantan petenis nomor satu dunia asal Rusia, Yevgeny Kafelnikov, dikutip New York Times, turut menyesalkan larangan itu. ”Saya benar-benar terkejut dengan apa yang sedang terjadi. Akan tetapi, menyandera orang-orang seperti Medvedev, Rublev, dan (Anastasia) Pavlyuchenkova, adalah salah. Saya pikir, Wimbledon membuat kesalahan. Mereka sudah terlalu jauh,” ujar juara Perancis Terbuka 1996 dan Australia Terbuka 1999 itu. (AFP/REUTERS)