Ketidakadilan Dalam Larangan Petenis Rusia dan Belarusia di Wimbledon
Intervensi politik, terkait serangan Rusia ke Ukraina, berdampak pada larangan petenis Rusia dan Belarusia tampil di Wimbledon. Keputusan ini dinilai tidak adil dan menjadi bentuk diskriminasi.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
LONDON, RABU - Wimbledon melarang petenis Rusia dan Belarusia tampil dalam turnamen Grand Slam di lapangan rumput itu. Keputusan tersebut dinilai tak adil oleh organisasi tenis, ATP dan WTA, petenis, serta mantan petenis.
Larangan tersebut diumumkan All England Lawn Tennis Club (AELTC) pada Rabu (20/4/2022) tengah malam waktu Indonesia, setelah rencana itu mengemuka beberapa bulan lalu. Menteri Olahrga Inggris Nigel Huddleston, bahkan pernah menyebut tidak ingin melihat petenis dengan bendera Rusia menjadi juara di Wimbledon.
“Kami mendukung keputusan dari organisasi olahraga dan panitia penyelenggara. Kami akan terus mendorong mereka untuk mengambil tindakan yang benar demi olahraga,” kata Huddleston setelah AELTC mengumumkan secara resmi pelarangan tersebut.
Keputusan itu dibuat terkait serangan Rusia, yang dibantu Belarusia, ke Ukraina sejak Februari. Selain di Wimbledon, petenis-petenis Rusia dan Belarusia juga tidak boleh tampil pada turnamen pemanasan di Queen’s Club dan Eastbourne.
“Dalam keadaan agresi militer yang tidak dapat dibenarkan dan belum pernah terjadi sebelumnya, tidak dapat diterima bagi rezim Rusia untuk memperoleh manfaat apa pun dari keterlibatan pemain Rusia atau Belarusia,” pernyataan AELTC.
“Mengingat profil Kejuaraan di Inggris dan di seluruh dunia, adalah tanggung jawab kami untuk memainkan peran kami dalam upaya luas dari pemerintah, industri, olahraga, dan lembaga kreatif untuk membatasi pengaruh global Rusia melalui cara sekuat mungkin. Oleh karena itu, niat kami, dengan penyesalan yang mendalam, menolak pemain Rusia dan Belarusia ke Wimbledon," tambah AELTC.
Dengan keputusan tersebut, tunggal putra top Rusia seperti Daniil Medvedev dan Andrey Rublev serta tunggal putri Belarusia, Aryna Sabalenka dan Victoria Azarenka, termasuk petenis yang tidak akan bertanding di All England Club, London, Inggris, 27 Juni-10 Juli.
Keputusan itu menyulut kemarahan Rusia. “Atlet terkena dampak dari intrik politik. Ini tidak bisa diterima. Rusia memiliki petenis-petenis top dunia. Kompetisi tenis akan rugi dengan melarang mereka bermain,” komentar juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov.
Petenis nomor satu dunia, Novak Djokovic menilai, larangan dari AELTC adalah keputusan gila. Dia sangat menentangnya.
“Saya selalu menentang perang. Di Serbia, itu pernah terjadi pada 1999. Saya tahu bagaimana itu akan meninggalkan trauma bagi banyak orang. Namun, saya tidak bisa mendukung keputusan Wimbledon. Atlet, termasuk petenis, tidak ada hubungannya dengan perang itu. Ketika politik mengintervensi olahraga, itu bukan hal yang baik,” tutur Djokovic.
Mantan petenis tunggal putri nomor satu dunia, Martina Navratilova, juga turut menentang. Meski bersimpati pada rakyat Ukraina, pemiliki 18 gelar Grand Slam itu menilai, atlet seharusnya tidak dikaitkan dengan urusan politik. Apalagi, petenis Rusia dan Belarusia telah terang-terangan menentang serangan tersebut dan menyerukan perdamaian.
“Serangan itu terjadi bukan karena kesalahan petenis. Saya pikir, keputusan AELTC adalah salah. Tenis adalah olahraga yang demokratis. Sangat sulit melihatnya jika politik merusaknya. AELTC tidak melihat masalah ini secara global,” tutur Navratilova.
Saya tidak bisa mendukung keputusan Wimbledon. Atlet, termasuk petenis, tidak ada hubungannya dengan perang itu. Ketika politik mengintervensi olahraga, itu bukan hal yang baik. (Novak Djokovic)
Organisasi tenis profesional, ATP dan WTA, menilai, larangan dari panitia penyelenggara Wimbledon merupakan tindakan diskriminasi. Selama ini, mereka memperbolehkan petenis Rusia dan Belarusia bertanding dalam Tur ATP dan WTA dengan syarat tidak menggunakan bendera negara masing-masing. Sementara, Federasi Tenis Internasional (ITF) telah melarang keikutsertaan Rusia dalam kejuaraan beregu putra dan putri, Piala Davis dan Piala Billie Jean King.
“Keputusan dari Wimbledon untuk petenis Rusia dan Belarusia sangat tidak adil. Ini memunculkan preseden buruk untuk tenis. Diskriminasi berdasarkan kebangsaan seseorang merupakan pelanggaran dari konsitusi dan perjanjian kami dengan Wimbledon. Petenis bisa mengikuti atau tidaknya turnamen berdasarkan ranking individual, bukan kebangsaan,” pernyataan ATP, organisasi yang membawahi tenis profesional putra.
WTA, yang bertanggung jawab atas tenis putri, juga menilai keputusan panitia Wimbledon tidak adil. “Kami sangat kecewa dengan keputusan itu. Prinsip fundamental WTA adalah memberi hak pada atlet untuk bertanding berdasarkan kemampuan tanpa diskriminasi,” pernyataan WTA.
Sementara, Asosiasi Tenis AS (USTA), sebagai penyelenggara Grand Slam AS Terbuka, tidak ingin berkomentar tentang keputusan tersebut. Adapun Federasi Tenis Perancis (FFT) membolehkan partisipasi petenis Rusia dan Belarusia dalam Grand Slam Perancis Terbuka, 22 Mei-5 Juni.
Petenis Australia, John Millman, juga menyatakan penyesalan. “Menurut saya, ada jalan yang lebih baik dibandingkan melarang atlet Rusia dan Belarusia bertanding. Wimbledon bisa memberi donasi dari keuntungan mereka untuk rakyat Ukraina,” katanya melalui akun Twitter.
Sementara, petenis-petenis Ukraina, seperti Elina Svitolina, Marta Kostyuk, dan Sergiy Stakhovsky mendukung pelarangan petenis Rusia dan Belarusia tampil di Wimbledon. Mereka, bahkan, menuntut hal ini dilakukan di semua ajang olahraga internasional. (AFP/Reuters)