Pengucilan Pelaku Olahraga Rusia dan Belarus Mencoreng Semangat Olahraga
Olahraga identik apolitis. Namun, setelah serangan Rusia ke Ukraina, seruan sanksi massal didengungkan dunia olahraga kepada Rusia dan Belarus. Sikap itu dianggap mencoreng nilai persatuan dan perdamaian dalam olahraga.
Selama ini, olahraga identik apolitis atau tidak terkait isu politik. Namun, seruan sanksi massal yang dilakukan puluhan federasi olahraga internasional kepada Rusia dan sekutunya, Belarus, pasca-serangan ke Ukraina seolah meruntuhkan doktrin tersebut. Bagi pelaku olahraga Rusia dan Belarus, pengucilan mereka dari dunia olahraga adalah tindakan diskriminatif yang mencoreng nilai luhur olahraga yang mengedepankan persatuan dan perdamaian.
”Negara kami selalu berpegang pada prinsip bahwa olahraga berada di luar politik, tetapi kami (olahraga) terus ditarik ke dalam isu politik karena mereka memahami pentingnya olahraga dalam kehidupan rakyat Rusia,” ujar Wakil Perdana Menteri Rusia Dmitry Chernyshenko dilansir Washington Post, Selasa (1/3/2022).
Usai Rusia melakukan serangan ke Ukraina pada 24 Februari, Komite Olimpiade Internasional (IOC) yang bermarkas di Lausanne, Swiss, menyerukan semua federasi olahraga internasional mengecualikan pelaku olahraga Rusia dan Belarus dari semua rangkaian kegiatan olahraga dunia per 28 Februari. Hingga kini, sedikitnya 27 federasi olahraga sudah menjatuhkan sanksi kepada dua negara tersebut.
Baca juga: Rusia Melawan Sanksi FIFA dan UEFA
Sanksi yang diberikan mulai dari pembatalan dan larangan penyelenggaraan kejuaraan internasional di Rusia dan Belarus, larangan pelaku olahraga dari dua negara itu berpartisipasi dalam ajang global, hingga larangan penggunaan simbol dua negara itu di pentas global. Terbaru, Komite Paralimpiade Internasional (IPC) pada 3 Maret mencoret kontingen dua negara tersebut dalam Paralimpiade Musim Dingin Beijing, China, 2022.
”Untuk para atlet dari negara yang terkena dampak (Rusia dan Belarus), kami sangat menyesal mengatakan bahwa Anda terpengaruh oleh keputusan yang diambil pemerintah Anda minggu lalu dalam melanggar gencatan senjata Olimpiade (prinsip yang dimulai sejak tujuh hari sebelum pembukaan Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022 pada 4 Februari lalu dan berakhir tujuh hari setelah penutupan Paralimpiade 2022 pada 4-13 Maret). Ukraina menjadi korban tindakan pemerintah Anda,” kata Presiden IPC Andrew Parsons dikutip BBC, Jumat (4/3/2022).
Tidak adil
Tak dimungkiri, segala bentuk kekerasan atau penindasan tidak dibenarkan di muka bumi. Namun, menjatuhkan sanksi kepada para pelaku olahraga Rusia dan Belarus dinilai tidak adil karena mereka tidak terlibat dengan keputusan politik yang diambil pemerintahnya.
Maka dari itu, sejumlah pelaku olahraga dua negara tersebut, antara lain pencetak gol terbanyak Rusia, Artem Dzyuba, dilansir The Globe and Mail, Rabu (2/3/2022), mengatakan, dirinya sangat menentang perang di mana pun karena itu suatu peristiwa yang menakutkan. Namun, pemain klub Zenit Saint Petersburg itu tidak menerima sanksi olahraga terhadap Rusia dan Belarus.
Baca juga: Solidaritas atas Ukraina, Rusia Dikucilkan dari Olahraga
Pernyataan itu merespons kebijakan Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) yang menendang Rusia dari kualifikasi Piala Dunia Qatar 2022 dan Federasi Sepak Bola Eropa (UEFA) yang menskors timnas Rusia serta klub asal Rusia dari semua kegiatannya per 28 Februari. ”Sanksi olahraga itu merupakan bentuk diskriminasi. Saya menentang diskriminasi berdasarkan kebangsaan. Saya tidak malu menjadi orang Rusia. Saya bangga menjadi orang Rusia. Dan saya tidak mengerti mengapa para atlet (Rusia) harus menderita sekarang,” tutur Dzyuba.
Mantan pebalap asal Rusia, Daniil Kvyat, dikutip Daily Star meminta IOC dan federasi olahraga internasional tidak melarang atlet Rusia dan Belarus berkompetisi. Pebalap berusia 27 tahun ini menilai, keputusan itu cuma memperuncing kebencian. Padahal, olahraga bisa menjadi alat kampanye untuk kian mempererat persatuan antarbangsa.
Kepada semua federasi olahraga dunia, termasuk IOC, olahraga harus tetap berada di luar politik. Melarang atlet Rusia berpartisipasi dalam kompetisi dunia adalah solusi yang tidak adil dan bertentangan dengan apa yang diajarkan olahraga, yakni persatuan dan perdamaian.
”Kepada semua federasi olahraga dunia, termasuk IOC, olahraga harus tetap berada di luar politik. Melarang atlet Rusia berpartisipasi dalam kompetisi dunia adalah solusi yang tidak adil dan bertentangan dengan apa yang diajarkan olahraga, yakni persatuan dan perdamaian. Siapa lagi kalau bukan kita orang-orang olahraga yang akan merekatkan bangsa-bangsa di masa mendatang,” terangnya.
Sejatinya, tak sedikit atlet Rusia dan Belarus yang menyatakan menentang serangan ke Ukraina. Petenis putri Ukraina, Elina Svitolina, pun mengakuinya dan mengangkat topi untuk sikap berani rekan sesama atlet asal Rusia dan Belarus dalam melawan perang. ”Saya ingin memberi penghormatan kepada semua atlet, terutama asal Rusia dan Belarus yang berani menyatakan posisi mereka melawan perang. Dukungan mereka sangat penting,” ungkapnya dilansir Sky Sports, Selasa.
Baca juga: Akhir Pelik Roman Abramovich di Chelsea
Atlet jadi korban
Peneliti integritas olahraga di University of Canberra, Australia, Catherine Ordway, dikutip ABC, Selasa, menuturkan, sanksi terhadap atlet Rusia dan Belarus karena olahraga dianggap membawa beban signifikan dan diharapkan bisa memberikan tekanan guna mengubah sikap Rusia. Hal itu dilakukan karena diplomasi telah gagal atau mengalami keterbatasan.
Namun, keputusan itu memberikan dampak negatif kepada atlet atau pelaku olahraga dari kedua negara tersebut. Atlet menjadi salah satu pihak yang paling terluka dalam situasi ini. ”Sanksi itu menyakitkan atlet secara individu. Padahal, banyak di antaranya sangat menentang serangan ke Ukraina,” ujar Ordway.
Sejarawan olahraga di Macquarie University di Sydney, Australia, Keith Rathbone, mempertanyakan keadilan larangan olahraga itu memang valid. ”Sebab, tidak ada atlet yang ikut terlibat. Sekarang, mereka justru menghadapi hukuman untuk hal-hal yang tidak dilakukan mereka,” ujarnya kepada BBC, Jumat.
Jack Anderson, Profesor Hukum di Melbourne Law School, Australia, menyampaikan, atlet atau pelaku olahraga dari Rusia dan Belarus tidak bisa dilepaskan dari kebijakan negaranya. Dalam hal ini, bagaimana mereka akan terbang atau bepergian ke suatu tempat atau bagaimana asosiasi olahraga mereka mendanai. Semua itu melampaui hukum olahraga internasional. Secara keseluruhan, sanksi itu dianggap tak sebanding dengan dampak yang terjadi di Ukraina.
Daur ulang sikap
Menurut Profesor Manajemen Olahraga di University of Michigan, Amerika Serikat, Stefan Szymanski dilansir The Conversation, Kamis (3/3/2022), sikap yang ditunjukkan oleh federasi olahraga internasional kepada Rusia dan Belarus membuktikan bahwa olahraga tidak bisa lepas dari politik. Untuk itu, perlu ada daur ulang doktrinisasi terkait isu politik agar bisa menempatkan posisi yang lebih adil.
Baca juga: Tenis Tidak Lebih Penting dari Perdamaian
Melihat sanksi yang diberikan kepada Rusia dan Belarus, Szymanski mengutarakan, itu lebih cenderung reaksi ad hoc di bawah tekanan publik. Dalam keputusan FIFA, misalnya, itu jauh dari tradisinya. Selain tersingkirnya Afrika Selatan dan Rhodesia selama era apartheid, contoh-contoh mencegah suatu timnas bersaing sulit didapat.
Nazi Jerman ambil bagian dalam Piala Dunia 1938, seperti yang dilakukan Perancis di Piala Dunia 1950-an meskipun negara itu berperang melawan gerakan kemerdekaan di Aljazair dan Indocina. Tidak ada sanksi olahraga kepada junta Argentina, yang menahan dan mengeksekusi penduduknya sendiri di dalam stadion sepak bola yang kemudian menjadi tuan rumah Piala Dunia 1978.
Nigeria diizinkan berkompetisi di kualifikasi Piala Dunia 1970 meskipun pemerintahnya berperang melawan Biafrans, yang mengakibatkan hingga 2 juta kematian karena kelaparan. Daftarnya terus berlanjut. Namun, intinya, FIFA tidak menghukum suatu timnas atas tindakan pemerintah negara bersangkutan.
”Dalam kasus negara-negara otoriter dilarang oleh FIFA, itu bukan karena tindakan negara. Myanmar dikeluarkan dari Piala Dunia 2006 bukan akibat kediktatoran militer brutal negara itu, melainkan karena gagal menjalani laga kualifikasi Piala Dunia melawan Iran empat tahun sebelumnya. Suriah tidak diizinkan lolos ke Piala Dunia 2014 karena menurunkan pemain yang tidak memenuhi syarat, bukan karena kekejaman yang dilakukan pemerintah Bashar al-Assad,” jelas Szymanski.
Standar ganda
Di sisi lain, sikap berbeda ditunjukkan federasi olahraga internasional untuk kekerasan yang dilakukan suatu negara di belahan bumi berbeda. Simpati di Eropa sangat cepat ketika terjadi serangan ke Ukraina. Warga di Palestina, Yaman, Afghanistan, Irak, dan Suriah pasti bertanya-tanya apa yang harus mereka lakukan untuk membuat penderitaan mereka bisa mendapatkan reaksi secepat penderitaan di Ukraina.
Baca juga: Hentikan Perang, Sepak Bola Sebarkan Cinta
Faktanya, seruan terus-menerus pada FIFA untuk menangguhkan Israel atas perlakuannya terhadap Palestina telah diabaikan. Demikian pula,protes atas perlakuan China terhadap penduduk Uighur tidak menghasilkan kecaman terhadap timnas China.
”Saya percaya tidak masuk akal mengklaim bahwa sepak bola dunia atau olahraga internasional bisa menjadi apolitis. Olahraga internasional diselenggarakan di sekitar konsep negara bangsa. Pemerintah dengan cepat merayakan kemenangan tim olahraga negara mereka sebagai suatu kebanggaan atau menghukum tim karena kinerja buruk,” kata Szymanski.
Mantan pesepak bola Mesir, Mohamed Aboutrika, dengan lantang menyatakan bahwa ada standar ganda dalam sikap yang ditunjukkan dunia olahraga internasional, terutama antara peristiwa yang terjadi di Ukraina dan Palestina. Semestinya, kampanye antiperang atau anti-kekerasan berlaku dengan setara.
”Keputusan untuk menangguhkan klub dan timnas Rusia dari semua kompetisi harus diikuti pula dengan larangan terhadap tim yang berafiliasi dengan Israel, yang telah membunuh anak-anak dan wanita di Palestina selama bertahun-tahun. Anda menggunakan standar ganda,” tegas Aboutrika yang menyindir FIFA seperti dikutip King Fut, Selasa.
Persatuan Atlet Rusia (RUA) dilansir Mirror, Rabu, menyatakan, mereka tidak pernah mengambil inisiatif melarang rekan-rekan atlet dari negara yang terlibat langsung dalam operasi militer di wilayah mana pun dengan dalih atau alasan apa pun. Sebab, itu tidak sesuai dengan semangat Olimpiade.
”Kami sangat menentang genosida olahraga terhadap atlet Rusia dan Belarus (sanksi massal yang dilakukan oleh sejumlah federasi olahraga internasional). Kami mengimbau semua orang dan organisasi yang bertanggung jawab dan terlibat agar mempertimbangkan kembali keputusan Anda,” ujar RUA. (AFP)