Perpindahan atlet dari satu daerah ke daerah lain masih jadi fenomena yang bertahan kekal di PON. Sejatinya, atlet sama sekali tidak salah.
Oleh
Kelvin Hianusa
·5 menit baca
Teriakan-teriakan yang mengguncang gendang telinga terasa betul di lapangan tenis Arena Sian Soor, Kota Jayapura, ketika final tunggal putra PON Papua 2021 berlangsung, Kamis (7/10/2021). Para penonton “menggila”, berteriak lantang, “Papua Barat bisa! Ayo, kamu pasti bisa. Ini rumah kita!”
Wasit pertandingan sampai dibuat “naik darah” berkali-kali karena antusiasme itu. Setiap kali pendukung terlalu berisik, dia selalu menegur. “Terima kasih, Pace. Mohon tenang ketika sedang permainan, jangan sampai mengganggu pemain,” tegasnya.
Di lapangan, tersaji laga antara dua petenis muda berbakat, M. Althaf Dhaifullah (20) versus M. Rifqy Fitriadi (22). Dilihat berkali-kali, tidak ada ciri Melanesia dari sosok keduanya. Lantas, untuk siapa para penonton berteriak.
Setelah wasit memberikan poin, baru ketahuan, Althaf adalah atlet Papua Barat. Sosok atlet berkulit sawo matang inilah yang merepresentasikan penonton. Dia berhadapan dengan Rifqy, wakil Jatim.
Meskipun akhirnya kalah di final, Althaf mengukir salah satu prestasi tertinggi untuk Papua Barat, provinsi yang tidak punya tradisi tenis seperti Jatim. “Saya sebenarnya asli Jawa Barat, tetapi memutuskan pindah ke Papua Barat pada tiga tahun lalu,” katanya seusai laga.
Althaf hanyalah salah satu dari sekian banyak petenis berstatus “cabutan” di PON Papua. Mereka tidak datang membela daerah kelahiran atau pembinaan. Termasuk di antaranya, dua petenis veteran Jatim Christopher Rungkat dan Aldila Sutjiadi, yang pernah berseragam DKI Jakarta.
Mereka mungkin kerap dicap tidak loyal, atau kasarnya pengkhianat daerah. Namun, mereka sebenarnya hanya bersikap realistis dan profesional. Althaf, misalnya. Sebagai petenis muda, dia butuh pertandingan sebanyak mungkin.
“Saya gagal main PON sebelumnya karena tidak masuk dalam tim Jabar. Lalu, ada tawaran dari beberapa daerah salah satunya Papua Barat. Karena materi pemain tim di sini cukup bagus, saya ambil. Cuma itu alasan utamanya, nyari kesempatan tanding,” ucap Althaf yang mengalahkan petenis senior, David Agung Susanto, di semifinal.
Beda lagi dengan Christo, yang masih berseragam DKI saat terakhir kali ikut PON Kaltim 2008. Dia tidak mencari batu loncatan, tetapi melirik rumah baru yang bisa memfasilitasinya. Kebetulan, Jatim paling siap mendukung karier profesionalnya.
“Saya kan seorang profesional yang punya kebutuhan dana cukup besar untuk tur pertandingan. Kadang, ada pemerintah daerah yang tidak bisa menyanggupi kebutuhan kami. Karier kami kan harus selalu jalan ya, tidak bisa menunggu diam saja,” ucap peraih tiga emas di PON Papua tersebut.
Biaya untuk bertanding itu lumayan fantastis. Kalau ada yang komitmen untuk dukung, kenapa tidak? (Christopher Rungkat)
Kata Christo, Jatim bisa memenuhi kebutuhan bertanding selama 25-35 minggu per tahun. Dukungan itu tidak hanya 1-2 tahun, tetapi dalam jangka panjang. “Biaya untuk bertanding itu lumayan fantastis. Kalau ada yang komitmen untuk dukung, kenapa tidak?” jelasnya.
Pada akhirnya, tambah Christo, kepindahan itu akan baik untuk perkembangan atlet. Saat bersamaan, mereka juga bisa bersiap lebih baik membela “Merah Putih” di ajang internasional. Tidak hanya duduk diam mengandalkan bantuan negara kepada induk cabang yang seadanya.
Cermin daerah
Derasnya perpindahan atlet ini bisa menjadi cermin bagi para daerah asal. Mereka tidak bisa lagi hanya berpangku tangan mengandalkan nasionalisme buta atlet kepada daerah kelahiran. Mereka harus lebih agresif menjamin pembinaan duta olahraganya. Jika tidak, siap-siap saja kehilangan atletnya.
Atlet tidak mau lagi kesetiaan mereka terhadap daerah justru jadi bom waktu. Dengan buruknya pembinaan, karier mereka akan pupus seiring waktu. Atlet lagi yang akan jadi korban pada akhirnya jika hanya berpangku dengan kesetiaan.
Jurang karier itulah yang dilihat atlet sepatu roda kelahiran Riau, Dinda Salsabila (18). Dia memilih bergabung bersama tuan rumah, Papua, karena daerah asal tidak mampu memfasilitasinya.
“Sejak 2018, Papua sudah berkomitmen menanggung semuanya kebutuhan latihan. Di Riau, atlet masih kurang diperhatikan. Bahkan pelatih kami saat itu hanya dari orang KONI. Buat apa jadi atlet tetapi didiamkan saja. Aku cari yang mau dukung aku untuk maju,” ungkap penyumbang emas untuk tuan rumah itu.
Lagi pula, kepindahan atlet sebenarnya sah-sah saja karena didukung lewat peraturan KONI. Perpindahan mungkin terjadi selama dilakukan sebelum pendaftaran administratif, yaitu dua tahun sebelum PON. Jarak waktu tersebut diterapkan agar daerah tidak terlalu memanfaatkan prestasi instan.
Hanya saja, daerah yang mendatangkan atlet juga perlu lebih bertanggung jawab dalam pembinaan jangka panjang. Terutama tuan rumah yang biasanya mengakhiri kontrak dengan pemain atau pelatih seusai PON berakhir.
Pelatih senam putra artistik putra Papua, Jeffrey Reza Sanger, jadi salah satu contohnya. Dia belum tahu masih akan menjadi pelatih seusai PON atau tidak. Padahal, dia sudah menghadirkan emas pertama Papua dari senam lewat atletnya, Abiyu Rafi.
Sang pelatih bersama para atlet senam Papua hanya dikontrak sampai akhir gelaran PON. “Jadi belum tahu lagi bagaimana ke depannya. Mungkin lanjut, mungkin juga tidak. Seperti sebelumnya, saya membela Papua Barat di PON Jabar, lalu sekarang membela Papua,” ucapnya.
Rencana pembinaan jangka pendek itu bisa terlihat dari Arena Istora Lukas Enembe, Kabupaten Jayapura, tempat berlangsungnya ajang senam. Tempat megah tersebut tidak dikhususkan untuk cabang senam, tidak ada busa kolam busa untuk melindungi atlet ketika latihan.
Di tengah daerah yang berburu prestasi instan, Ketua Umum Pengurus Pusat Persatuan Tenis Seluruh Indonesia (PP PELTI), Rildo Ananda Anwar berharap terciptanya keseimbangan. “Misal dua atlet luar, dua atlet lagi harusnya binaan daerah. Biar atlet yang didatangkan itu bisa memacu atlet daerah. Jangan sampai semuanya hanya mengambil dari daerah lain,” jelasnya.
Fenomena perpindahan atlet ini hanyalah cermin nyata dari pola pembinaan instan nan abstrak olahraga nasional. Atlet sebagai titik terbawah dari sistem pembinaan, hanya bisa mengikutinya. Tujuan mereka sebenarnya hanyalah bisa berkarier dengan lancar, tidak lebih.