Pertama ke Amerika Serikat, Langsung ke Perempat Final
Van de Zandschulp lolos ke perempat final AS Terbuka setelah mengalahkan unggulan ke-11, Diego Schwartzman. Sebelum ini, perjalanan van de Zandschulp pada babak utama Grand Slam tak pernah lebih jauh dari babak kedua.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
Sebelum tampil di Amerika Serikat Terbuka 2021, Botic Van de Zandschulp mengenal New York dari tayangan film di Netflix. Dia pun kesulitan mengungkapkan perasaannya ketika mendapat tiket perempat final dengan status sebagai petenis kualifikasi.
Van de Zandschulp lolos ke perempat final setelah mengalahkan unggulan ke-11, Diego Schwartzman, 6-3, 6-4, 5-7, 5-7, 6-1. Pertandingan yang berlangsung di Stadion Louis Armstrong, Flushing Meadows, New York, Minggu (5/9/2021), itu berlangsung 4 jam 20 menit. Ini menjadi laga lima set kedua dari empat pertandingan yang dijalani petenis Belanda peringkat ke-117 dunia itu.
Saya sudah banyak bertanding di sini dan untuk pertama kalinya saya memenangi set pertama. Pada beberapa pertandingan, saya hampir kalah. Saya senang akhirnya bisa menang.
”Saya sudah banyak bertanding di sini dan untuk pertama kalinya saya memenangi set pertama. Pada beberapa pertandingan, saya hampir kalah. Saya senang akhirnya bisa menang,” tuturnya.
Bermain sejak babak kualifikasi, Van de Zandschulp telah memainkan tujuh pertandingan. Dalam tiga laga kualifikasi, yang berlangsung dalam format best of three sets dan tiga laga di babak utama, dia selalu kehilangan set pertama. Salah satu momen itu terjadi ketika petenis berusia 25 tahun itu berhadapan dengan unggulan kedelapan, Casper Ruud, pada babak kedua.
Semua laga itu akhirnya dilewati dengan berpegang pada prinsip bermain tanpa beban. Van de Zandschulp menjadi petenis kualifikasi pertama yang lolos ke perempat final di Flushing Meadows sejak hal itu terakhir kali dilakukan oleh Gilles Mueller (Luksemburg) pada 2008.
Dia juga menyejajarkan namanya dengan petenis Belanda lain yang bisa mencapai perempat final Grand Slam, yaitu Sjeng Schalken di AS Terbuka 2003 dan Wimbledon 2004. Di Flushing Meadows, Paul Haarhuis menjadi petenis Belanda yang paling terkenal. Dia mencapai perempat final pada 1991 sebelum dihentikan Jimmy Connors. Dalam perjalanan menuju delapan besar, Haarhuis mengalahkan unggulan teratas, Boris Becker, pada babak ketiga.
”Saya kira tak ada yang menduga saya bisa mencapai perempat final, termasuk keluarga saya. Semoga mereka dan orang-orang di Belanda bangga dengan pencapaian ini,” ujar petenis yang akan berhadapan dengan unggulan kedua, Daniil Medvedev, pada babak delapan besar itu.
Selain Van de Zandschulp, terdapat dua petenis kualifikasi lain yang tampil pada babak keempat, pada Senin waktu setempat. Mereka adalah tunggal putri Inggris Raya, Emma Raducanu, yang berhadapan dengan Shelby Rogers dan Oscar Otte (Jerman) yang akan melawan unggulan keenam, Matteo Berrettini.
Namun, ada satu hal yang membuat perjalanan Van de Zandschulp istimewa. Sebelum tampil di Flushing Meadows, dia hanya tahu tentang New York dari film Person of Interest dan Suits (serial favoritnya) dalam Netflix. Ini juga menjadi perjalanan pertamanya ke AS.
”Mungkin itu terdengar aneh dari seorang petenis. Saya memang tahu New York dari film. Ini pertama kalinya saya melihat New York secara langsung. Kota ini sangat indah,” tuturnya dalam laman resmi ATP.
Sebelum bertanding, petenis yang memfavoritkan klub sepak bola Ajax Amsterdam itu menyempatkan jalan-jalan dan makan di restoran. Dia berencana melakukannya lagi saat telah tersingkir dari turnamen. Tetapi, rencana itu belum terwujud karena Van de Zandschulp masih bertahan.
Sebelum ini, perjalanannya pada babak utama Grand Slam tak pernah lebih jauh dari babak kedua. Namun, di Flushing Meadows, Van de Zandschulp, bahkan, bisa merasakan tampil di stadion besar. Ketika berhadapan dengan Schwartzman, dia bermain di Stadion Louis Armstrong, stadion terbesar kedua di Flushing Meadows.
Kenangan Andy Roddick
Memulai karier profesional sejak 2013, ada satu momen yang paling diingat Van de Zandschulp di masa kecil, yaitu ketika melihat Andy Roddick menjuarai AS Terbuka 2003. Saat itu, Van de Zandschulp berusia tujuh tahun. Ketika melawan Juan Carlos Ferrero di final, Roddick membuat empat as dalam satu gim. Momen itu tertanam di benaknya.
”Setelah itu, saya banyak menonton penampilan Roddick. Saya juga banyak melihat (Rafael) Nadal dan (Andre Agassi),” katanya.
Bagi petenis yang sering berlatih bersama kakaknya, Melvin, dan ibunya, Ingrid, di sebuah klub tenis di Wageningen, Belanda, ini, menjalani karier sebagai petenis tidaklah mudah. Dia, bahkan, tak pernah bermimpi menjadi petenis profesional pada masa kecil.
”Setelah memenangi beberapa turnamen di level yunior, barulah saya berpikir bermain profesional. Rencana itu mulai muncul sekitar usia 16-17 tahun,” katanya.
Gelar pertamanya baru didapat dari turnamen ITF Future pada 2016. Pada 2019, Van de Zandschulp menaikkan level turnamennya menjadi ATP Challenger. Tetapi, pandemi Covid-19, yang berakibat sebagian besar turnamen pada 2020 dibatalkan, membuat Van de Zandschulp kesulitan menaikkan peringkatnya.
Semangat dan ketekunan untuk bersaing pada level tinggi akhirnya membawanya ke ajang Grand Slam. Dia mulai menembus babak utama pada tahun ini dengan hasil babak pertama Australia Terbuka, serta babak kedua Perancis Terbuka dan Wimbledon.
Termasuk dalam targetnya pada tahun ini adalah menembus peringkat 100 besar dunia dan itu akan terwujud setelah dia mencapai perempat final dalam perjalanan pertamanya ke AS. (AFP)