Beragam Wajah Pengganti Phelps
Olimpiade Tokyo 2020 tidak punya ikon sebesar Michael Phelps. Namun, kolam Tokyo Aquatics Center punya ”seribu” cerita dan wajah yang bergabung menggantikan sosok Phelps.
Pertarungan cabang renang di Olimpiade Tokyo 2020 telah rampung pada Minggu (1/8/2021). Total 35 emas dari semua nomor sudah diperebutkan, dengan tim raksasa Amerika Serikat keluar sebagai juara umum. Setelah selesai, seperti masih ada sesuatu yang kurang dari ajang terbesar itu.
Adu cepat di kolam Tokyo Aquatics Center terasa kurang lengkap karena tak ada lagi Michael Phelps (36), perenang paling ikonik dalam sejarah Olimpiade. Setelah mendominasi empat gelaran Olimpiade, 2004-2016, sosok paling dinanti pencinta renang ini hanya datang ke Tokyo sebagai pensiunan.
Phelps berada di dekat kolam lomba, tetapi tidak terjun ke dalamnya. Olimpian tersukses sepanjang masa ini (28 medali) hanya bertugas menjadi komentator. ”(Pengalaman) Ini terasa aneh,” kata Phelps tentang pengalaman barunya kepada The Washington Post.
Baca juga : Caeleb Dressel Meneruskan Jejak Supremasi Phelps
Rasa aneh itu pula yang dirasakan banyak pencinta renang. Pepatah tua ”bagaikan sayur tanpa garam” agaknya bisa menggambarkan rasa tersebut. Meski begitu, kehilangan Phelps tidak bisa dihindari. Dunia terus berputar, begitu juga dengan Phelps yang terus menua dan butuh pengganti.
Kolam akuatik di Tokyo pun seakan menjadi ajang seleksi penerus Phelps selanjutnya. Di antara banyaknya bintang baru, sosok paling potensial meneruskan jejak sang ”raja” adalah perenang AS, Caeleb Dressel (24).
Perenang yang juga tandem Phelps di Rio 2016 ini memukau dengan raihan 5 emas di Tokyo. Sebanyak 3 emas diraihnya dalam nomor individu. ”Emas itu sangat berarti. Saya tahu beban yang ada di pundak saya. Sebelumnya, saya tidak pernah menang di individu. Jadi ini sangat spesial,” kata Dressel.
Spesialnya, Dressel memecahkan rekor Olimpiade dalam tiga nomor individu itu, 50 meter dan 100 meter gaya bebas, serta 100 meter gaya kupu-kupu. Khusus nomor gaya kupu-kupu, dia sukses juga memecahkan rekor dunia, memperbarui rekor miliknya di Kejuaraan Dunia Gwangju 2019.
Baca juga : Tim Estafet China Kejutkan Titmus dan Ledecky
Dominasi dalam nomor individu ini menjadikan Dressel sebagai tulang punggung tim estafet AS. Perenang kelahiran Florida ini memikul tim untuk menyabet dua emas meski tanpa bantuan dua andalan AS, Phelps dan Ryan Lochte.
Dressel, dengan prestasi individu dan tim, terlihat sangat mirip dengan Phelps. Dia bisa menjaga tradisi Phelps yang selalu menguasai nomor 100 meter gaya kupu-kupu dan estafet 4 x 100 meter gaya ganti. Adapun Phelps meraih total 7 emas dan 1 perak hanya dari dua nomor tersebut.
Saya rasa itu tidak adil untuk Michael. Dia jauh lebih baik. Saya tidak masalah mengatakan itu karena tujuan saya di renang, bukan untuk mengalahkan Michael. Dia ada di level berbeda.
Meski agak mirip, Dressel merasa tidak pantas disandingkan dengan sang senior. ”Saya rasa itu tidak adil untuk Michael. Dia jauh lebih baik. Saya tidak masalah mengatakan itu karena tujuan saya di renang, bukan untuk mengalahkan Michael. Dia ada di level berbeda,” ujarnya.
Dressel memang potensial pada Olimpiade kedua dalam kariernya di Tokyo, tetapi itu belum cukup menyamai level Phelps. Sebagai pembanding, pada Olimpiade kedua yang dijalani Phelps di Beijing 2008, dia meraih 8 emas (5 individu, 3 tim). Tujuh dari emas itu berujung pada pemecahan rekor dunia.
Persaingan berbeda
Tanpa sosok dominan seperti Phelps, ada hikmah tersendiri dari kolam akuatik. Persaingan di cabang olahraga induk ini jauh lebih merata. Tim AS mulai mendapat perlawanan sengit dari kebangkitan perenang putra Inggris Raya dan perenang putri Australia.
Baca juga : Mereka yang Berlaga di Air
Pemerataan terlihat dari klasemen medali terakhir. AS memang menjadi juara umum dengan 30 medali (11 emas, 10 perak, 9 perunggu). Namun, capaian itu tampak menurun dibandingkan dengan supremasi mereka di Rio 2016 dengan 33 medali (16 emas, 8 perak, 9 perunggu). Padahal, jumlah lomba di Tokyo lebih banyak tiga nomor daripada Rio.
Saat bersamaan, Australia menempel di urutan kedua dengan 20 medali (9 emas, 3 perak, 8 perunggu). Mereka finis dengan urutan sama di Rio, tetapi hanya meraih 10 medali (3 emas, 4 perak, 3 perunggu).
Lompatan Inggris Raya tak kalah memukau. Mereka meraih 8 medali (4 emas, 3 perak, 1 perunggu). Capaian medali itu merupakan yang terbanyak sepanjang sejarah keikutsertaan mereka di Olimpiade. ”Ini adalah pekerjaan bertahun-tahun. Kami semakin kuat dan kuat,” kata perenang andalan Inggris, Tom Dean (21).
Inggris Raya bisa berjaya salah satunya karena tidak ada lagi Phelps di tim AS. Di Rio, mereka dua kali kalah dari AS dan meraih perak dalam nomor 4 x 200 meter gaya bebas dan 4 x 100 meter gaya ganti. Mereka kini menyabet dua emas dalam nomor tersebut. Itu adalah raihan emas estafet pertama kali dalam sejarah keikutsertaan Inggris Raya.
Perenang putra mereka juga meningkat drastis. Mereka punya peraih emas dalam 200 meter gaya bebas, Dean, dan 100 meter gaya dada, Adam Peaty (26). Dean dan Peaty menjadi kekuatan besar di nomor estafet, ditambah dengan perenang veteran, seperti Duncan Scott (24) dan James Guy (25).
Guy berkata, persaingan estafet sudah jauh berbeda tanpa Phelps dan Lochte. Dengan pengalaman di Rio, mereka sekarang menjadi tim tak terkalahkan. ”Kami sudah jauh berubah sejak Rio. Kami adalah yang terbaik. Kami juara Olimpiade,” ucapnya.
Fokus estafet
Di sisi lain, tim Australia mengancam eksistensi AS dengan dominasi perenang putri. Tim ”Negeri Kanguru” ini sempat beberapa kali menyusul perolehan medali AS di klasemen sementara.
Salah satu kuncinya adalah program besar Australia untuk fokus pada nomor estafet. ”Estafet adalah kesempatan terbaik yang bisa kami ambil. Kami membuatnya sebagai prioritas utama dalam persiapan,” kata Rohan Taylor, pelatih kepala tim renang Australia, dikutip The Guardian.
Baca juga : Kekuatan Pikiran Kunci Emma McKeon Menyabet Emas
Taylor spesifik membenahi teknik estafet para perenangnya. Pembenahan itu dimulai dari detail terkecil, seperti cara pergantian antarperenang. Tim Australia sampai punya kelompok analis dari Universitas Canberra untuk menentukan strategi sekaligus mengevaluasi gerakan mereka.
Sementara itu, semua perenang nasional juga diwajibkan berkumpul dalam pemusatan latihan selama setahun sekali. Mereka akan fokus melatih pola estafet selama seminggu penuh. Di pemusatan itu, para perenang akan mengasah kekompakan dengan tingkat kompetitif latihan yang sangat tinggi.
Itulah yang membuat mereka memenangi 5 medali (2 emas, 3 perunggu) dalam 7 nomor lomba estafet. Tentu, capaian itu juga tidak lepas dari kebangkitan perenang veteran, Emma McKeon (24), dan perenang debutan, Ariarne Titmus (20).
McKeon bersinar terang pada penampilan kedua di Olimpiade. Dia meraih 4 emas dan 3 perunggu, yang merupakan jumlah medali terbanyak dari perenang putri dalam satu gelaran Olimpiade. Titmus mencuri dua emas di 200 meter dan 400 meter gaya bebas dari ”ratu” asal AS, Kathleen Ledecky (24). Dominasi mereka cukup untuk menggambarkan perlawanan sepadan Australia terhadap AS.
Baca juga: Dua Emas Olimpiade Belum Cukup untuk Terminator Titmus
Tak hanya itu, kisah kebangkitan para ”David” atau sosok yang tidak diunggulkan juga menjadi hal yang biasa di kolam Tokyo Aquatics Center. Dua kejutan terbesar adalah peraih emas 400 meter gaya bebas asal Tunisia, Ahmed Hafnoui (18) serta peraih emas 200 meter dan 400 meter gaya ganti asal Jepang, Yui Ohashi (25).
Hafnoui dan Ohashi memberikan warna tersendiri untuk Olimpiade kali ini. Ekspresi emosional mereka ketika juara menjadi sebuah sejarah indah yang tercatat dari kolam akuatik.
Nyaris mustahil untuk menggantikan sosok Phelps hanya dengan seorang perenang. Meskipun begitu, dengan beragam kisah dari regenerasi perenang dan perubahan peta persaingan, kolam akuatik Olimpiade tidak akan kehilangan daya tariknya. (AP/REUTERS)