Menyelisik Piala Eropa 2020, Ide ”Gila” Platini
Piala Eropa (Euro) 2020, yang akan digelar di 11 negara mulai 11 Juni 2021, sempat dianggap konyol, bahkan gila. Namun, konsep ”Pan-European” yang digagas Platini itu justru relevan dan tepat di era pandemi saat ini.
Piala Eropa (UEFA Euro) 2020, yang tertunda dari tahun lalu dan akan digelar mulai 11 Juni 2021, masih mengundang tanya banyak orang. Bagaimana mungkin itu bisa digelar di tengah pandemi? Negara mana tuan rumahnya? Kenapa masih menggunakan label tahun 2020, padahal saat ini sudah menginjak 2021?
Jauh sebelum kebingungan itu muncul akhir-akhir ini, sembilan tahun silam, Piala Eropa 2020 telah membuat banyak insan sepak bola di ”Benua Biru” garuk-garuk kepala. Semua itu berpangkal dari ide ”gila” mantan Presiden UEFA Michel Platini, sehari sebelum final Piala Eropa Polandia-Ukraina, 30 Juni 2012.
”Piala Eropa 2020 harus digelar di seluruh wilayah Eropa. Mungkin, di 12 atau 13 kota tuan rumah, tetapi bisa saja (mencapai) 24 atau 32 (kota). Banyak negara bisa menggelarnya. Itu semua memungkinkan di era penerbangan murah saat ini,” ujar Platini yang mengakui idenya itu terdengar sedikit konyol, kala itu.
Publik sepak bola Eropa pun bereaksi, kebanyakan menentangnya. Para suporter tim sempat menolak keras ide itu karena dianggap bakal membuat bengkak biaya transportasi untuk berpindah dari satu negara ke negara lainnya di Eropa, semata-mata demi mendukung skuad kesayangannya.
Baca juga : Romansa Piala Eropa Memeluk Dunia
Para aktivis lingkungan hidup bahkan mengecamnya. Gagasan itu dinilai bisa memperburuk pemanasan global lewat peningkatan jejak karbon yang dihasilkan jutaan pendukung tim saat harus bepergian dengan pesawat dari satu negara ke negara tuan rumah lainnya selama Piala Eropa 2020.
Pendukung tim Swiss, misalnya, harus menempuh perjalanan 9.760 kilometer dari Geneva ke Baku (Azerbaijan), singgah di Roma (Italia), dan kembali ke Baku, hanya untuk menonton langsung tiga laga tim itu di babak penyisihan Grup A. Munculnya virus korona baru kian menambah rumit situasi. Para fans yang bepergian lintas negara berpotensi menjadi ”bom biologis”.
”Jadi, bukan lagi konyol (ide Platini). Itu gila!” ungkap Janek Speight, jurnalis Deutsche Welle.
Menyalahi kelaziman
Konsep Pan-European atau tuan rumah bersama di belasan negara yang digagas Platini juga dianggap menyalahi kelaziman di Piala Eropa, yaitu sebagai melting pot atau titik temu fans dari berbagai negara di Benua Biru. ”Piala Eropa bakal tanpa jiwa. Fans bukanlah lagi yang utama bagi UEFA,” kritik Herbert Schalling, jurnalis DW lainnya, November 2019.
Namun, UEFA bergeming. Mereka menolak penawaran Turki sebagai tuan rumah tunggal Piala Eropa 2020. Aleksander Ceferin, pengganti Platini, bahkan pasang badan demi romantisisme, yaitu merayakan 60 tahun Piala Eropa. Ide Pan-European di Piala Eropa 2020 kini hanyalah tinggal menunggu hitungan hari untuk digelar.
Guna menjaga romantisisme, Piala Eropa edisi ke-60 itu tetap dinamai ”UEFA Euro 2020” meskipun faktanya digelar tahun ini akibat pandemi Covid-19.
Untuk pertama kali, Piala Eropa akan digelar di 11 kota di 11 negara pada 11 Juni hingga 11 Juli mendatang. Ke-11 kota itu melintasi empat zona waktu, yaitu mulai dari Sevilla (Spanyol) di ujung barat Eropa hingga ke Baku di tepi Asia, yang terpisah 4.778 km jauhnya.
Konsep Pan-European pada penyelenggaraan Piala Eropa edisi ke-16 itu memang tidak lazim, jika tidak bisa disebut aneh. Sejak pertama kali digelar di Perancis pada 1960, tidak sekali pun turnamen sepak bola itu digelar di lebih dari dua negara tuan rumah. Pada edisi terakhir, 2016 silam, misalnya, Perancis menjadi tuan rumah tunggal.
Persiapan oleh satu negara saja sudah cukup rumit, apalagi ada 11 negara yang terlibat. Pada 2016 lalu, Piala Eropa Perancis nyaris batal digelar. Saat menginjakkan kaki di negara itu, sepekan jelang pembukaan pada Juni 2016, Perancis tampak tidak siap menggelar Piala Eropa. Transportasi lumpuh, sampah menumpuk di tepi jalan sehingga mengeluarkan aroma tidak sedap, jalan raya pun berkali-kali ditutup.
Alih-alih stadion megah baru, Piala Eropa membangun sense of belonging di antara sesama negara atau warga komunitas Benua Biru, tidak terkecuali Inggris yang telah memisahkan diri dari Uni Eropa.
Berbagai masalah itu dipicu pemogokan para tenaga kerja menyusul rencana revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan di Perancis. Gejolak itu memperburuk situasi di Perancis, khususnya di Paris, yang lebih dulu mencekam menyusul penetapan keadaan darurat akibat serangan teroris yang menewaskan 137 warga, tujuh bulan sebelumnya.
Gejolak serupa membuat Kolombia batal menjadi tuan rumah turnamen kontinental lainnya, Copa America 2021. Nasib turnamen yang akan diikuti bintang sepak bola Amerika Selatan, seperti Lionel Messi dan Neymar Jr, itu kian buram setelah tuan rumah kedua, Argentina, dicoret menyusul peningkatan kasus harian Covid-19. Serupa Piala Eropa 2020, Copa America telah ditunda setahun akibat pandemi dan sedianya digelar mulai 13 Juni mendatang.
Terobosan besar
Berkaca dari kasus-kasus itu, konsep tuan rumah bersama ternyata menjadi terobosan besar dan baru terasa manfaatnya di era pandemi saat ini. UEFA dengan mudah bisa mengganti satu tuan rumah yang tidak siap ke negara lainnya, seperti dialami Dublin (Irlandia) yang menolak menjamin kehadiran penonton di stadion dengan aman selama Piala Eropa 2020.
Biaya penyelenggaraan pun bisa ditekan hebat karena Piala Eropa 2020 memakai arena atau stadion yang sudah terbangun, seperti Olimpico di Roma (Italia) dan Wembley di London (Inggris). Belgia, negara yang berniat membangun stadion baru untuk arena Piala Eropa 2020, justru dicoret dari daftar awal tuan rumah. Mereka tidak bisa menjamin terbangunnya Stadion Euro tepat waktu.
Baca juga : Resep Kualitas Turnamen Piala Eropa
Bukan lagi rahasia jika penyelenggaraan turnamen besar, baik Piala Dunia maupun Piala Eropa, kerap meninggalkan masalah finansial bagi negara tuan rumah. Ukraina, misalnya, terjerat krisis ekonomi dan utang menumpuk setelah menjadi salah satu tuan rumah Piala Eropa 2012.
Pada akhirnya, wargalah yang terbebani karena pemerintah memilih menaikkan pajak untuk menutup defisit anggaran. Bersama Polandia, Ukraina telah menghabiskan 30,2 miliar euro (Rp 519 triliun) untuk membangun stadion baru dan infrastruktur pendukung Piala Eropa kala itu (Erste Group Research, 2012).
Celakanya, arena-arena baru yang dibangun acap kali menjadi white elephants, yaitu sebutan untuk infrastruktur masif yang terbengkalai atau jauh lebih banyak membutuhkan biaya perawatan ketimbang menyumbang pemasukan. Fenomena ini selalu terjadi dari masa ke masa, antara lain Piala Eropa Portugal 2004, Piala Eropa Polandia-Ukraina 2012, Piala Dunia Brasil 2014, dan Piala Dunia Rusia 2018.
Piala Eropa 2020 adalah istimewa karena konsep Pan-European tidak akan diulangi UEFA, setidaknya hingga 40 tahun mendatang.
Arena Amazon di Manaus, salah satu stadion Piala Dunia Brasil, misalnya, kini terbengkalai dan ditumbuhi semak belukar karena pengelolanya tidak sanggup menanggung biaya perawatan Rp 3,5 miliar per bulan. Adapun Stadion Aveiro di Portugal sempat diusulkan untuk dihancurkan dan diperkecil setelah menghabiskan biaya Rp 1,1 triliun untuk menggelar sejumlah laga di Piala Eropa 2004.
”Gagasan tuan rumah bersama adalah untuk menghindari pembangunan white elephants seperti terjadi di Brasil (setelah Piala Dunia 2014) dan menghadirkan Piala Eropa ke tempat-tempat yang selama ini tidak bisa menggelarnya karena isolasi,” ujar Direktur Pemasaran UEFA Guy-Laurent Epstein dikutip Reuters, Februari 2020.
Selain menghindari biaya tidak perlu, seperti disampaikan Epstein, semangat Piala Eropa 2020 adalah melibatkan partisipasi negara-negara anggota semaksimal mungkin. Jadi, negara yang tidak punya banyak arena atau infrastruktur sepak bola yang megah, seperti Azerbaijan, Hongaria, Romania, dan Skotlandia, kini bisa merasakan menjadi tuan rumah. Pada masa-masa sebelumnya, hal itu mustahil dilakukan.
Mengusung persatuan
Dengan demikian, alih-alih stadion megah baru, Piala Eropa membangun sense of belonging di antara sesama negara atau warga komunitas Benua Biru, tidak terkecuali Inggris yang telah memisahkan diri dari Uni Eropa. Meskipun secara geopolitik tidak lagi menjadi bagian Uni Eropa, Inggris di mata sepak bola tetap menjadi bagian integral Eropa. Maka, posisi mereka sebagai tuan rumah laga final (juga dua semifinal) pada Piala Eropa 2020 tidaklah terusik menyusul referendum ”Brexit”.
Maka, sangatlah tepat jika Piala Eropa edisi ini mengusung tema ”persatuan”. Semangat itu pula yang membuat negara-negara Eropa kompak merapatkan barisan untuk menggelar Piala Eropa 2020 dan nyaris tanpa penolakan dari warganya.
Menariknya pula, mereka berkomitmen menghadirkan penonton di seluruh laga Piala Eropa tahun ini. Hal itu bukan lantaran untuk gaya-gayaan, melainkan menghidupkan optimisme dan nuansa kebangkitan di tengah pandemi Covid-19 yang masih berkecamuk.
Baca juga : Piala Eropa, Suar Asa di Tengah Gelapnya Dunia
Alih-alih mengumpulkan jutaan penonton dari berbagai penjuru Eropa ke satu atau dua negara, Piala Eropa 2020 justru menyambangi penggemarnya di 11 kota di 11 negara berbeda. Dengan demikian, potensi kerumunan antarpendukung bisa ditekan seminimal mungkin. Hanya penonton lokal yang direkomendasikan menyaksikan langsung laga-laga Piala Eropa itu di stadion.
Kehadiran kembali penonton di stadion juga disertai kehati-hatian yang besar. Hanya penonton yang mengantongi sertifikat vaksin atau surat negatif Covid-19 yang bisa hadir di dalam stadion. Protokol rumit dan berlapis juga menjadi pegangan para petugas lapangan guna menangkal penularan virus korona baru di arena laga dan kota-kota tuan rumah.
”Setelah mati suri selama beberapa bulan, sepak bola (dan fans) kembali. Piala Eropa bakal menjadi ajang global pertama yang digelar setelah pandemi melanda. Itu menjadi kesempatan emas untuk menunjukkan ke dunia bahwa (komunitas) Eropa telah beradaptasi. Eropa mampu bertahan dan saatnya merayakannya. Kita tunjukkan, ada cahaya di ujung lorong gelap,” ujar Presiden UEFA Aleksander Ceferin.
Baca juga : Ajakan Bangkit Bersatu dari DJ Garrix dan Bono U2
Maka, saat bergulir mulai 11 Juni mendatang, Piala Eropa 2020 akan menjadi pusat gravitasi dan perhatian publik sejagat. Piala Eropa 2020 adalah istimewa karena konsep Pan-European tidak akan diulangi UEFA, setidaknya hingga 40 tahun mendatang.
Turnamen itu juga hadir pada momen sangat tepat, yaitu di mana seluruh warga dunia membutuhkan hiburan dan pengharapan. Semua itu berawal dari ide gila Platini, 2012 silam....