Piala Eropa, Suar Asa di Tengah Gelapnya Dunia
Sepak bola telah berkali-kali mengubah wajah dunia dan menghibur manusia dari tragedi terburuk sekali pun. Spirit itu kembali hadir di Piala Eropa 2020, festival massal pertama di tengah pandemi.
Jauh sebelum pandemi Covid-19 hadir dan mengubah interaksi antarmanusia, Nelson Mandela, peraih Nobel Perdamaian asal Afrika Selatan, pernah mengakrabi sepi dan suramnya hidup di dalam isolasi. Kebebasannya hanyalah berjarak 2,4 x 2,1 meter, yaitu sebuah sel yang gelap, dingin, dan nyaris tanpa perabotan, di Pulau Robben—pulau penjara di utara Cape Town, Afrika Selatan.
Siapa pun mudah kehilangan kewarasannya dalam kondisi itu, apalagi ditambah kerja paksa di tambang kapur yang bisa merusak penglihatan. Namun, Mandela mampu bertahan selama 18 tahun (1964-1982) diasingkan di sana dan lantas dikenang sebagai ”bapak” perlawanan apartheid di Afsel.
Dalam masa sulitnya di penjara yang disebut ”Pulau Iblis” itu, sepak bola menjadi satu-satunya hiburan Mandela. Permainan bola—terbuat dari gulungan koran, kardus, dan kain perca—yang ditampilkan sesama tahanan dari balik ventilasi kecil di selnya kerap membuatnya tersenyum dan tertawa. Ia bahkan berjingkrak girang, semata-mata mendengar tim kesayangannya mencetak gol di Piala Dunia lewat sayup-sayup suara radio dari kejauhan.
”Ketika (diasingkan) di Pulau Robben, sepak bola adalah satu-satunya kegembiraan bagi para tahanan,” ujar Mandela (almarhum). ”Olahraga mampu menciptakan harapan ketika hanya ada keputusasaan. Olahraga memiliki kekuatan mengubah dunia,” ujarnya dalam pidato penghargaan Laureus World Sports edisi perdana, 25 Mei 2000 silam, di Monako.
Baca juga : Piala Eropa Ditunda ke Tahun 2021
Seperti dikatakan Mandela, olahraga—khususnya sepak bola—bisa mengubah wajah dunia, bahkan dalam seringai terbengisnya sekalipun. Pada 1914 silam, sebagian Eropa barat mulai luluh lantak. Tentara Inggris-Sekutu dan Jerman saling bunuh, meninggalkan tumpukan mayat dan jejak kehancuran pada masa awal Perang Dunia I itu.
Keajaiban
Namun, keajaiban terjadi pada malam Natal tahun itu. Medan perang di Saint-Yvon, Belgia, yang biasanya tidak berhenti diramaikan suara desing peluru dan ledakan mortir mendadak sunyi. Hanya terdengar senandung Malam Kudus, sayup-sayup. ”Jika kalian tak menembak, kami pun demikian!” bunyi teriakan pemecah keheningan, sesaat kemudian.
Rasa lelah berperang, dinginnya udara, kerinduan akan keluarga, dan syahdunya suasana pada malam Natal membuat kedua belah pihak sepakat menurunkan senjata. Mereka keluar dari sarang persembunyian masing-masing dan menyalami musuh yang berusaha dibunuh, malam sebelumnya. Mereka saling bertukar makanan, atribut militer, dan obrolan dengan bahasa Inggris ala kadarnya.
”Tiba-tiba, bola muncul entah dari mana. Yang pasti, bukan dari kami (Sekutu). Mereka (tentara Jerman) lantas melepas mantelnya untuk dijadikan penanda gawang. Tidak perlu ada wasit ataupun skor. Kami hanya ingin bermain, seperti anak-anak di jalanan. Semua pun menikmatinya,” ungkap Ernie Williams, prajurit Resimen Cheshire Inggris saat itu, dalam buku Fire and Movement 1914 karya Peter Hart yang diterbitkan 2014 silam.
Setelah gencatan senjata legendaris yang hanya berlangsung sehari itu, ”pasukan” Inggris dan Jerman berpotensi bereuni di fase gugur Piala Eropa 2020. Walaupun lebih dari seabad berlalu, turnamen sepak bola itu digelar dalam suasana yang tidak jauh berbeda dari ketika Williams masih remaja dan mengangkat senjata. Ratusan warga sipil meregang nyawa di tangan tentara Myanmar, gedung-gedung luluh lantak dan puluhan ribu warga Palestina mengungsi dari Gaza.
Sementara di India, ratusan mayat bergelimpangan di pinggir jalan, bahkan mengambang di Sungai Gangga. Pandemi Covid-19 tidak hanya merenggut jutaan nyawa, tetapi juga memaksa miliaran orang di berbagai belahan dunia terisolasi, mirip yang dialami Mandela. Adapun arena dan stadion sunyi bak kuburan tanpa kehadiran dan teriakan suporter setia.
Olahraga mampu menciptakan harapan ketika hanya ada keputusasaan. Olahraga memiliki kekuatan mengubah dunia.
Dihadiri penonton
Dalam situasi muram dan nyaris tanpa harapan, sepak bola lagi-lagi coba mengambil peran. Piala Eropa 2020 akan membangkitkan kembali keceriaan dengan menjadi festival massal pertama di tengah pandemi. Sebanyak 11 stadion di 11 negara Eropa, mulai dari Sevilla di Spanyol hingga Baku di Azerbaijan, dipastikan akan dihadiri belasan hingga puluhan ribu penonton secara serentak.
Zona fans, yang sebelumnya terdengar mustahil digelar pada masa pandemi karena berpotensi menimbulkan kerumunan orang, bahkan telah disiapkan di sejumlah tempat, seperti di Glasgow, Skotlandia. Sebab, seperti yang pernah dikatakan Sir Matt Busby, pelatih legendaris asal Skotlandia, sepak bola bukanlah apa-apa tanpa penggemar. Sepak bola dan penonton bak dua sisi mata uang yang saling melengkapi dan tak terpisahkan.
Maka, kembalinya penonton ke stadion bisa menghadirkan asa dan suasana kehidupan seperti sebelum pandemi hadir. ”Momen kebangkitan kita akan tiba saat orang-orang mulai datang bersama-sama lagi walaupun itu (sebatas) pada turnamen (Piala Eropa). Teriakan dari kerumunan adalah energi yang menyatukan,” kata Paul ”Bono” David Hewson, vokalis band U2, yang mengisi lagu tema Piala Eropa 2020.
Luka lama Inggris
Teriakan dukungan dari penonton itu menjadi energi yang, antara lain, dibutuhkan tuan rumah final Piala Eropa 2020, Inggris, untuk mengakhiri lima dekade penuh luka. Setelah menjuarai Piala Dunia 1966 di London, berkat kemenangan atas Jerman di final, negara kiblat industri sepak bola dunia itu tidak lagi pernah meraih trofi bergengsi. Bahkan, tidak sekali pun mereka mencapai final dari 15 edisi Piala Eropa yang telah berjalan selama ini.
”(Pengalaman) skuad kami terus bertumbuh, sejak Piala Dunia terakhir (2018 di Rusia). Kami tidak akan tampil di Piala Eropa kali ini (2020) tanpa ambisi menjadi juara. Jika tidak punya keyakinan, tidak ada gunanya mengikuti turnamen,” ujar Raheem Sterling, penyerang timnas Inggris yang kehilangan sejumlah kerabatnya akibat Covid-19, seperti dikutip majalah FourFourTwo.
Baca juga : Benzema Wujudkan Trisula Maut di Timnas Perancis
Keyakinan serupa, tetapi berbeda tujuan, diusung penyelenggara Piala Eropa edisi ke-16 itu. Mereka tidak ingin mengulangi kegagalan masa lalu. Pada 19 Februari 2020, Asosiasi Sepak Bola Eropa (UEFA) dan panitia lokal nekat menggelar laga babak 16 besar Liga Champions Eropa antara Atalanta versus Valencia di Milan, Italia, dengan kehadiran ribuan penonton. Padahal, wabah Covid-19 dari China tengah mengintai semua negara, saat itu.
Setelah laga yang dihadiri 44.000 penonton itu selesai, kasus Covid-19 meledak di Italia dan Spanyol, negara-negara asal kedua klub yang bertarung itu. Korban jiwa berjatuhan, kota-kota di Italia dan Spanyol pun lumpuh akibat penutupan wilayah. Tak pelak, laga itu disebut ”game zero” alias titik nol pandemi Covid-19 di Eropa. Sebagian lainnya menyebutnya ”bom biologis”.
Piala Eropa bisa menjadi katalis yang menghadirkan harapan serta optimisme dengan kehadiran kembali penonton. Namun, itu semua harus berjalan aman.
Guna menangkal terulangnya tragedi itu, protokol kesehatan ketat akan diterapkan di 11 arena Piala Eropa 2020. Penonton, misalnya, diwajibkan mengantongi sertifikat vaksin dan mengikuti tes antigen Covid-19 sebelum memasuki stadion. Terkendalinya kasus baru Covid-19 dan tingginya cakupan vaksinasi di negara-negara arena Piala Eropa 2020, yaitu di atas 30 persen, kian menambah optimisme.
Namun, untuk berjaga-jaga, salah satu tuan rumah, Inggris, tetap mewajibkan karantina 10 hari bagi wisatawan asing. Berbagai prosedur itu telah diuji coba dan berjalan lancar, salah satunya pada final Piala FA Inggris yang dihadiri 21.000 penonton, Sabtu (15/5/2021) lalu.
”Saya ingin melihat warga Skotlandia datang ke London dan menyaksikan laga Skotlandia versus Inggris. Bakal sungguh fantastis. Kita bisa memanfaatkan Piala Eropa 2020 sebagai batu loncatan untuk pemulihan. Piala Eropa bisa menjadi katalis yang menghadirkan harapan serta optimisme. Namun, itu semua harus berjalan aman,” ujar Wali Kota London Sadiq Khan, dikutip Express.
Senada dengan Khan, mantan bek timnas Inggris, Lee Dixon, meyakini, sepak bola lewat Piala Eropa akan kembali menjadi suar asa manusia di tengah gelapnya dunia. ”Hal itu telah terbukti,” ujarnya.