Para Puan Perajin Rotan Penjaga Rimba Kalumpang
Perempuan Dayak di Kalteng mengasah kemampuan mengolah kekayaan alam melalui kriya rotan meskipun hutan semakin sempit.
Saat hutan semakin menyusut, sekelompok perempuan Dayak di Kalimantan Tengah semakin besar mengasah kemampuan mengolah kekayaan alam. Lewat kriya rotan, tangan-tangan terampil mereka telaten menjaga masa depan.
Di belakang dapur kecil miliknya berukuran 3 meter x 4 meter, Yaya (49) bersiap menembus hutan, Jumat (12/1/2024) pagi. Perempuan ini hanya memakai daster yang sama dipakai tidur semalam. Namun, parang bersarung diikat di pinggang.
Hanya menggunakan sandal jepit, dia gesit meniti jalan berlumpur menuju hutan di belakang rumahnya di Desa Kalumpang, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah.
Sekitar 100 meter, setelah melewati pohon ketapang besar dan durian, Yaya berhenti di depan pohon-pohon rotan.
Baca juga : Spirit Keberlanjutan Kriya Rotan Kalteng
Duri menjuntai di batang rotan. Namun, Yaya tidak gentar. Tanpa sarung tangan, dia mengambil batang rotan itu. Parang dia cabut dan durinya dia babat habis. Yaya hanya butuh waktu 40 menit untuk mendapatkan 10 rotan yang bersih dari duri.
Rotan yang diambil Yaya adalah jenis irit (Calamus trachycoleus Beccari). Panjangnya sekitar 10 meter. Diameternya 2-4 sentimeter. Ciri khas rotan irit adalah diameternya yang kecil dengan duri agak panjang.
Rotan jenis ini dikenal kuat dan cocok untuk beragam kerajinan tangan. Tidak heran bila rotan irit dijadikan kriya.
”Rotan ini nanti digunakan untuk bahan pembuatan tas, topi, hingga tikar,” kata Yaya, sembari pulang ke rumah membawa rotan-rotan itu untuk dikeringkan sebelum diolah lebih lanjut.
Tidak jauh dari rumah Yaya, Rusidah (48) memperlihatkan pengolahan itu. Dia menggunakan pisau yang lebih tampak seperti parang biasa disebut langgei. Bentuknya ramping dan pendek.
Buku-buku rotan dibersihkan. Rusidah lalu membelahnya menjadi empat sampai delapan bagian. Proses ini disebut ngalingking dalam bahasa Dayak Ngaju.
Setelah ngalingking, proses berikutnya adalah menjangat atau mengikis rotan yang sudah dibelah-belah. Kikisan itu yang nanti akan dianyam. Terlihat sederhana. Namun, butuh waktu 1-2 minggu untuk menghasilkannya bila dihitung dari waktu mengambil rotan.
Saat semua bahan sudah disiapkan, giliran Rusidah menganyam atau dinamakan menjawet. Kali ini, dia hanya butuh 1 hari untuk membuat 2-3 tas dalam sehari. Untuk tikar, biasanya lebih lama hingga 3 hari.
”Iya, tapi maunya jangan ada kerja yang lain, urus ini aja bisa cepat kerjanya,” kata Rusidah yang harus menempuh perjalanan 5-6 km menembus hutan waktu subuh untuk mencari rotan.
Rotan-rotan itu dijual kepada pengumpul dengan harga Rp 60.000 sampai Rp 100.000 untuk tas. Sementara untuk tikar, harganya bisa Rp 500.000 sampai Rp 1 juta.
Dalam sebulan, mereka bisa menghasilkan setidaknya 100 tas dengan berbagai pola anyam dan jenis tas. Namun, berapa pun pesanan yang datang, mereka bisa memenuhinya.
Tujuan besarnya, kami ingin membuat platform bersama dengan komunitas, lalu nanti (rotan) dihubungkan dengan investor, tentunya investor hijau.
Kerja bersama
Yaya dan Rusidah adalah dua dari 30 ibu yang bergabung di Kelompok Tani Hurung Hapakat. Dalam bahasa setempat, Hurung Hapakat artinya kerja bersama.
Kelompok perempuan ini dibimbing Solidaritas Perempuan Mamut Menteng Kalteng (SP Mamut Menteng). Komunitas ini fokus pada isu perempuan dan sumber daya alam.
Rica Kusmirawaty (39), Ketua Kelompok Tani Hurung Hapakat, menjelaskan, kelompok sudah terbentuk sejak 2021. Awalnya, kelompok ini punya dua program kerja, kebun kolektif dan kriya rotan. Namun, kebun kolektif yang ditanami sayuran dan tanaman lain belum aktif lagi setelah lokasinya rusak dihajar banjir.
”Musim hujan ini ibu-ibu semua pasti menganyam karena banyak di dalam rumah. Ini pekerjaan turun-temurun dari leluhur, kami melakukannya setiap saat, lalu ngajarin ke anak-anak juga,” kata Rica.
Kini Hurung Hapakat juga bekerja sama dengan Pantau Gambut. Organisasi yang berjejaring di sembilan provinsi itu fokus pada riset serta advokasi dan kampanye untuk perlindungan dan keberlanjutan lahan gambut di Indonesia. Kerja bersama itu bertujuan meningkatkan kualitas dan promosi kriya rotan karya ibu-ibu di Kalumpang ini.
Baca juga : Liburan ke Palangkaraya, Wajib Icip Lele Borneo dan Rotan
Manajer Program Pantau Gambut Dimas Novian Hartono menjelaskan, kelompok ibu-ibu di Kalumpang merupakan komunitas yang selama ini hidup berdampingan dengan gambut. Sebagian besar kawasan di sekitar Kalumpang yang ditanam rotan adalah lahan gambut.
”Tujuan besarnya, kami ingin membuat platform bersama dengan komunitas, lalu nanti (rotan) dihubungkan dengan investor, tentunya investor hijau,” ungkap Dimas.
Walakin, Dimas tidak menampik masih tingginya deforestasi di Kalteng, termasuk di Kapuas. Deforestasi masih didominasi konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit dan kebun hutan tanaman industri.
”Rotan merupakan hasil hutan bukan kayu yang selama ini dijaga di Kalumpang, mereka menjaga hutan lewat rotan,” kata Dimas.
Menyusut
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat luas Kalteng mencapai 15,3 juta hektar (ha) dan dibagi menjadi beberapa kawasan berdasarkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi Kalteng. Rinciannya, hutan lindung dengan luas 1,3 juta ha. Lalu, kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam pada area eks pengembangan lahan gambut luasnya 1,6 juta ha.
Ada juga kawasan budidaya, yakni kawasan hutan produksi terbatas luasnya 3,3 juta ha, hutan produksi 3,8 juta ha, hutan produksi konversi 2,5 juta ha, dan areal penggunaan lain 2,5 juta ha. Total semuanya menjadi lebih dari 15 juta hektar. Luasnya sama dengan 1,3 kali luas Pulau Jawa. Kalteng pun jadi provinsi dengan wilayah terluas di Indonesia saat ini setelah Papua sudah terbagi.
Akan tetapi, keberadaan hutan tidak sepenuhnya ideal. Hutan di Kalteng digerogoti aktivitas tambang dan sawit.
Catatan Dinas Kehutanan Kalteng menyebutkan, dari izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam, hutan tanaman, restorasi ekologi, karbon periode 2017 hingga saat ini, telah ada 91 unit usaha dengan luas mencapai 5,08 juta ha.
Di sektor tambang, data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kalteng menunjukkan, terdapat 303 perusahaan tambang. Total luas konsesi tambang mencapai 1,8 juta ha.
Untuk sawit, data Dinas Perkebunan Kalteng mencatat, terdapat 333 perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan total luas 3,9 juta ha. Namun, dari 3,9 juta ha itu, jumlah perusahaan yang beroperasi luasnya hanya 1,13 juta ha.
Jika ditotal, semua perizinan itu luasnya mencapai 10,78 juta ha, baik perusahaan yang sudah beroperasi maupun yang belum.
Baca juga : Perlindungan Ekosistem Gambut Dinilai Belum Optimal
Dari 15,3 juta ha luas wilayah di Kalteng, 11,2 juta ha sudah dan bakal dikonversi ke berbagai jenis usaha. Artinya, hanya 4,52 juta ha atau 1,8 persen sisa lahan di Kalteng yang merupakan kawasan permukiman juga kebun-kebun masyarakat atau wilayah kelola lainnya, termasuk lahan-lahan rotan yang dikelola oleh Hurung Hapakat.
Studi yang dilakukan Save Our Borneo (SOB) di Kapuas memperkuat kerentanan itu. SOB menganalisis tutupan hutan alam menggunakan platform Mapbiomas Indonesia dari tahun 2000 sampai 2019, luas tutupan hutan yang hilang mencapai 1.910.197 (1,9 juta) ha.
Dalam kurun waktu 20 tahun itu, 296.257 ha yang hilang berasal dari Kapuas. Kapuas menjadi kabupaten dengan deforestasi terluas di Kalteng. Selanjutnya, ada Kabupaten Kotawaringin Timur dengan luas deforestasi 270.554 ha.
Tidak diam
Kondisi itu sedikit banyak dirasakan kelompok Hurung Hapakat. Rica, misalnya, bahkan merasakan dampak langsung saat suaminya kehilangan mata pencarian.
”Dulu, suami saya pemanjat ulung. Dia bisa memanen rotan dari atas pohon. Dia kerap dipanggil ke desa-desa tetangga hanya untuk memanen rotan. Kini, jasanya tidak dibutuhkan. Semakin sedikit rotan yang bisa dipanjat. Sekarang, dia jadi buruh serabutan,” tutur Rica.
Meski belum punya solusi untuk keahlian suaminya, Rica tak ingin tinggal diam. Di sela pekerjaannya sebagai guru TK, ia tetap menjaga semangat ibu-ibu di Kalumpang untuk menjual rotan-rotannya.
Rica mendapatkan banyak bantuan dari SP Mamut Menteng. Saat SP Mamut Menteng berkongres di Lampung, ia menawarkan kriya rotan dari desanya. Kongres itu pun akhirnya memesan setidaknya 400 tas rotan berbagai jenis.
Selain itu, ia juga menghubungi beberapa kerabatnya di desa-desa tetangga yang ternyata memiliki akses ke Bali. Ada beberapa jenama tas rotan Kalteng yang memiliki toko di Bali, beberapa tas rotan dari Kalumpang pun dijual ke sana.
Hutan Kalimantan tidak boleh lagi menyusut. Ada masa depan dunia yang bergantung padanya. Keteguhan dan kerja bersama para puan dari Kalumpang menjadi salah satu alasan kenapa hutan di Kalteng tidak boleh lagi merana.
Baca juga : Slamet Riaman dan Salasiah, Jalan Pemberdayaan Perajin Rotan