Perlindungan Ekosistem Gambut Dinilai Belum Optimal
Penegakan hukum belum mendukung restorasi gambut. Hal ini menambah kerentanan terhadap kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penegakan hukum dan implementasi kebijakan yang ada dinilai belum mendukung restorasi gambut di Indonesia. Padahal, pemulihan gambut berperan penting dalam mencegah kebakaran hutan seiring dengan penguatan El Nino yang memicu kekeringan di sejumlah daerah.
Juru Kampanye dan Advokasi Pantau Gambut Wahyu Perdana mengatakan, Presiden Jokowi harus memperbaiki kebijakan lingkungan di sisa masa jabatannya dengan lebih memperhatikan perlindungan ekosistem gambut. Restorasi gambut perlu menjadi perhatian untuk mencegah kebakaran hutan besar di dalam negeri.
”Bertepatan dengan hari ulang tahun di akhir masa jabatan, sejumlah masukan dari kami semoga menjadi refleksi agar ada perbaikan di sisa waktu yang ada,” kata Wahyu di Jakarta, Rabu (21/6/2023).
Wahyu menyampaikan, sejumlah koreksi yang jadi catatan tersebut berdasarkan sejumlah riset yang dilakukan Pantau Gambut. Dalam 10 tahun terakhir, kebakaran besar terjadi pada tahun 2015 dan 2019 dan telah membakar jutaan hektar gambut. Pantau Gambut mengkaji, dari 2,6 juta hektar karhutla pada 2015 serta 1,6 juta hektar pada 2019, sekitar 29 persen di antaranya terjadi di lahan gambut.
Menurut Wahyu, sejauh ini kebijakan dalam melindungi gambut justru kontradiktif dengan kebijakan lain yang diterbitkan. Contohnya, aturan tentang izin pemanfaatan kubah gambut mengganggu suplai air pada lahan gambut.
”Kubah gambut mendapat pendefinisian dan pengaturan di mana kubah gambut yang berada di dalam area konsesi dan belum dilakukan budidaya wajib dipertahankan sebagai ekosistem dengan fungsi lindung,” ujar Wahyu.
Wahyu menunjukkan, standar pembudidayaan kubah gambut menjadi ganda saat Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 bersamaan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan 10/2019.
Pasal 9 PP 57/2016 mengatur bahwa gambut dengan kedalaman lebih dari tiga meter atau lebih seharusnya dijadikan fungsi lindung.
Namun, Pasal 7 Permen LHK 10/2019 menyebutkan, puncak kubah gambut yang telah dimanfaatkan dapat terus difungsikan jika area itu memiliki kubah gambut setidaknya 30 persen dari seluruh luas kesatuan hidrologis gambut (KHG).
”Dengan begitu, pengusaha boleh menggunakan gambut dengan catatan. Padahal, pengeringan kubah gambut untuk perkebunan akan memengaruhi suplai air pada wilayah gambut di sekitarnya. Hamparan gambut di sekitar kubah gambut akan kekurangan daya dukung air, kering, dan rentan terbakar,” ucapnya.
Wahyu juga menyoroti lemahnya penegakan hukum pada perusahaan di wilayah konsesi yang merusak ekosistem gambut. Pada tahun 2023, Pantau Gambut mencatat KHG seluas 16,4 juta hektar rentan terbakar.
Adapun lebih dari setengah total area tersebut berada pada wilayah konsesi beserta area penyangganya (buffer zone). Perusahaan dengan hak guna usaha (HGU) perkebunan dan hutan kayu (IUPHHK) mendominasi area yang rawan terbakar.
Berdasarkan sebarannya, provinsi dengan kerentanan tinggi (high risk) terhadap karhutla adalah Kalimantan Tengah seluas 1,2 juta hektar, Papua Selatan (500.000 hektar), Kalimantan Barat (400.000 hektar), dan Provinsi Riau (400.000 hektar).
Ketika KLHK menang gugatan karhutla 2015, proses eksekusi pada perusahaan untuk mengganti kerugian, pemerintah tidak menunjukkan upaya yang serius.
Wahyu berharap adanya peningkatan penegakan hukum dan kebijakan lebih efektif dalam perlindungan ekosistem gambut. Itu termasuk mengevaluasi pengajuan izin baru ataupun izin yang berjalan, pencabutan izin yang bermasalah, serta penegakan hukum pada konsesi yang pernah terbakar berulang.
”Ketika KLHK menang gugatan karhutla 2015, yakni proses eksekusi pada perusahaan untuk mengganti kerugian, pemerintah tidak menunjukkan upaya yang serius,” kata Wahyu.
Engagement and Outreach Manager Pantau Gambut Romesh Irawan Putra menyampaikan, ekosistem gambut harus menjadi perhatian Presiden Joko Widodo.
”Perlu konsistensi, koordinasi, dan penegakan hukum lebih baik dari sisa akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo. Perlu memerhatikan perlindungan ekosistem gambut, memperkuat penegakan hukum lingkungan, dan mengonsolidasikan kebijakan agar perlindungan lingkungan lebih kokoh dan berkelanjutan," ujarnya.
Dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR, Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove Hartono memastikan BRGM akan fokus memulihkan gambut yang terdegradasi. Sebab, restorasi gambut menjadi upaya pencegahan karhutla, terutama di lahan gambut yang mengalami penurunan air tanah berlebihan.
BRGM juga bekerja sama dengan lembaga terkait lainnya untuk menginformasikan kepada tujuh kepala daerah yang wilayahnya rawan terjadi kebakaran gambut tentang kondisi terakhir kelembaban dan kekeringan di wilayahnya.
Pada lokasi yang sangat rawan, BRGM bekerja sama dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melakukan teknologi modifikasi cuaca (TMC) untuk menambah cadangan air melalui hujan buatan. (Kompas, 2/3/2023).