Dengan Kopi Arabika dan Batik, Anak Muda Memangkas Stigma di Papua
Anak-anak muda Papua memanfaatkan potensi lokal seperti kopi arabika dan batik untuk mendongkrak kesejahteraan.
Geliat usaha mikro, kecil, dan menengah di Papua membuka harapan baru bagi daerah yang kaya akan sumber daya alam itu. Sejumlah anak muda tergerak mengelola produk lokal seperti kopi arabika dan batik agar memiliki nilai tambah. Kegiatan itu tidak hanya mendongkrak kesejahteraan, tetapi juga mengikis stigma dan ketimpangan dengan pendatang.
Kesadaran akan kekayaan lokal Papua itu mengakar dalam benak Alo Jufuway (42), warga asal Depapre, Kabupaten Jayapura, Papua. Ia tergerak untuk mengangkat kopi lokal Papua melalui UMKM. Upaya itu diawalinya pada medio September 2020, saat awal pandemi Covid-19 merebak di Tanah Air.
Alo membawa sejumlah jenis kopi dari wilayah Papua Pegunungan masuk ke Kota Jayapura. Di ibu kota Papua itu, Alo berupaya menemukan pasar bagi penikmat kopi. Jayapura dilihatnya sebagai kawasan hub dan hilir bagi bisnis kopi lokal.
Di sebuah rumah di kawasan Abepura, Jayapura, yang disebutnya sebagai ”gudang kopi,” Alo memulai bisnis kopi itu dari nol. Sebelumnya, Alo telah bertahun-tahun berkecimpung dalam bisnis di bidang logistik. Namun, saat pandemi, ia melihat ada euforia tersendiri di sektor UMKM. Ia lalu mencoba bisnis kopi lokal Papua.
Baca juga : Infrastruktur PON Mengubah Wajah Papua
Alo mengambil kopi dari petani lokal, khususnya dari Papua Pegunungan, seperti kopi tiom (Lanny Jaya), kiwirok (Pegunungan Bintang), tangma (Yahukimo), dan kurima (Yahukimo).
”Selain brand identity yang ditonjolkan, ada nasib hasil kopi milik petani-petani lokal yang sebenarnya punya potensi, tetapi kurang dilirik dan diberdayakan,” ujarnya, sembari menyiapkan kopi untuk disuplai ke sejumlah kedai kopi, Selasa (19/12/2023).
Kopi saat ini menjadi kebutuhan tak terpisahkan dari keseharian masyarakat. Aktivitas menyeduh kopi seakan menjadi rutinitas wajib dalam berbagai kesempatan, baik bersantai maupun saat memacu produktivitas.
Baca juga : Tingkat Ekonomi Masyarakat Adat di Jayapura Masih Rendah
Alo tidak menyangka kini dirinya menjadi penyuplai kopi arabika bagi sejumlah kedai kopi di Jayapura. Ia bahkan menyuplai kopi dalam jumlah besar untuk perhotelan dan pemerintahan.
Di sisi lain, di saat banyak pengusaha lokal Papua mengeluhkan sulitnya menjangkau pasar di luar daerah, ia justru berfokus menggarap pasar lokal Papua. Menurut Alo, produk Papua akan lebih memiliki nilai, baik secara harga maupun eksklusivitas, jika dipasarkan langsung di Papua.
”Dengan berbagai kekurangan, termasuk rantai pasok yang belum memadai, kekurangan seharusnya tetap menjadi keunggulan kitorang dengan brand identity tadi. Ada nilai eksklusivitas dari kekayaan daerah sehingga harga yang ditetapkan juga seharusnya bukan menjadi masalah bagi pembeli,” ujarnya.
Banyak potensi lokal Papua yang seharusnya dapat diberdayakan anak Papua itu sendiri. Dengan begitu, menurut Alo, akan tercipta pasar yang semakin besar di lokal sehingga membentuk ekosistem bisnis yang sehat.
Jika Alo melirik kopi lokal Papua, lain lagi dengan John Wona (39), yang mendirikan Sanggar Almeldi di Kota Jayapura sejak 2018. Di sanggar itu, John dan penggiat sanggar lainnya mengembangkan batik motif lokal Papua, seperti dua burung cenderawasih jantan, rumput laut, dan ikan-ikan serta aneka biota laut lain, yaitu gurita dan bunga karang. Motif lokal itu terinspirasi dari kekayaan alam Papua.
Batik, yang sebelumnya identik dengan kebudayaan Jawa, di tangan anak-anak muda Papua kini dikembangkan dengan nuansa lokal Papua. Bahkan, dengan keberagaman etnis yang mencapai ratusan suku bangsa, motif-motif batik Papua masih memiliki potensi besar untuk digali dan dikembangkan.
Baca juga : Mariana Ibo Pulanda Menghidupkan Batik Papua
”Kami punya potensi, tinggal bagaimana anak-anak Papua mau bergerak memanfaatkan potensi-potensi yang ada itu,” ucap John.
Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, UKM, dan Tenaga Kerja Papua Omah Laduani Ladamay menuturkan, UMKM di Papua terus ditumbuhkan. Selama ini, ada stigma anak-anak Papua kurang meminati sektor usaha karena lebih tertarik menjadi aparatur sipil dan militer.
”Padahal, ada potensi lokal yang bisa digarap dengan berbagai kekayaan yang dimiliki. Dan orang yang cocok menggarapnya itu anak-anak asli Papua itu sendiri. Butuh kolaborasi semua pihak untuk ini semua,” ujar Omah.
Upaya memanggungkan UMKM ini pun kian krusial untuk melepas ketergantungan Papua pada sektor pertambangan. Selama ini, pertambangan menopang perekonomian Papua. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Papua menunjukkan, ekonomi Papua pada triwulan III-2023 secara tahunan (year on year) dibandingkan dengan triwulan III-2022 tumbuh 8,28 persen.
Kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan itu adalah pertambangan dan penggalian sebesar 40,48 persen; konstruksi 12,96 persen; pertanian, kehutanan, dan perikanan 9,98 persen; perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor 9,37 persen; serta usaha administrasi pemerintahan, pertahanan, dan jaminan sosial wajib 7,93 persen.
Memanfaatkan momentum
Penggerak kewirausahaan sekaligus akademisi Universitas Cenderawasih (Uncen), Kurniawan Patma, mengungkapkan, potensi ekonomi Papua di bidang ekonomi kerakyatan yang bernilai tambah perlu terus didorong. Ini juga akan membuktikan bahwa perekonomian Papua bisa bertumbuh tanpa ketergantungan pada satu sektor saja.
Salah satunya yang biasanya mematahkan euforia ini adalah karena mereka tidak mampu menjangkau pasar yang luas karena harga produk dan pengiriman tinggi. Ya, jadi cara terbaiknya menghadirkan pasarnya ke Papua.
Daerah-daerah kepulauan dan pesisir seperti Biak Numfor, Serui, dan Yapen dapat mengembangkan wirausaha produk olahan hasil ikan. ”Sementara itu, daerah dengan potensi sektor pertanian seperti di Kabupaten Keerom mengembangkan hasil olahan pertanian seperti keripik keladi dan Kabupaten Jayapura dengan mengembangkan kerajinan tangan, seperti noken serta berbagai pernak-pernik,” katanya.
Baca juga : Lulusan Kampus di Papua Banyak Menganggur, Kewirausahaan Didorong
Dalam beberapa tahun terakhir, ada sedikit pergeseran. Anak-anak muda di Papua mulai tertarik menekuni dunia wirausaha. Geliat wirausaha seakan menjadi gaya hidup sehingga mereka tidak lagi menggantungkan nasib pada sektor birokrasi atau aparat negara.
”Ada pergeseran, wirausaha kini menjadi minat gaya hidup. Hal seperti ini bisa menarik semakin banyak orang bergelut di dalamnya. Akhirnya yang lain juga ikut tertarik sehingga membentuk sebuah kebiasaan dan ekosistem yang semakin besar pula,” ucap Kurniawan.
Saat ini, misalnya, Kurniawan mendampingi program kewirausahaan yang dinaungi oleh Universitas Cenderawasih serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Ada total 90 tim wirausaha. Satu tim terdiri atas 5-6 mahasiswa. Mereka mengembangkan berbagai potensi lokal yang dimiliki di daerah masing-masing.
Salah seorang mahasiswi binaan Kurniawan di Uncen, Sapira Dantru (19), mengikuti program tersebut sejak semester satu. Mahasiswi Jurusan Manajemen angkatan 2021 ini bersama dua rekannya mengembangkan kuliner olahan dengan bahan baku lokal, seperti sagu, keladi, pisang, serta ikan untuk abon.
Baca juga : Melihat Pusat Kerajinan Tangan dari Port Numbay, Jayapura
Saat ini, tim mereka berfokus memasarkan produk di Kota Jayapura dan sekitarnya. Dengan pendampingan dan mulai masuknya bantuan pihak lain, ia berharap wilayah pemasaran bisa berkembang.
”Kami juga dibantu oleh Bank Indonesia untuk membantu perizinan dan legalitas lain. Kami berharap, jika semua dimudahkan, ke depan kami bisa menembus pasar yang lebih luas,” ucapnya.
Optimalisasi pariwisata
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Papua Ronald Antonio mengatakan, perlu ada sinergisitas lintas pihak untuk menjaga euforia terhadap dunia wirausaha di Papua ini. ”Salah satunya yang biasanya mematahkan euforia ini adalah karena mereka tidak mampu menjangkau pasar yang luas karena harga produk dan pengiriman tinggi. Ya, jadi cara terbaiknya menghadirkan pasarnya ke Papua,” ujarnya.
Untuk menciptakan pasar lokal, sejumlah agenda kegiatan dapat dimanfaatkan. Salah satunya Sail Cenderawasih yang diadakan pada November 2023. Pemprov Papua melaporkan, kegiatan tersebut menggairahkan perputaran ekonomi. Selama 12 hari acara, terdapat pergerakan wisatawan domestik 6.521 orang. Kegiatan itu juga melibatkan sekitar 4.000 pelaku UMKM. Jumlah transaksi di acara itu mencapai Rp 78 miliar. Adapun pengeluaran rata-rata wisatawan Rp 1 juta per orang untuk akomodasi, transportasi, dan kuliner.
”Harapannya festival-festival serupa juga terlaksana di wilayah Papua lain sehingga orang semakin banyak menghabiskan waktu di Papua sekaligus bisa mencoba destinasi lain di berbagai daerah. Dengan begitu, panggung UMKM itu semakin besar dan anak-anak Papua ini semakin tertarik,” ujar Ronald.
Baca juga : Sail Teluk Cendrawasih Dorong Investasi dan Ekspor
Data BPS Papua pada 2022 menunjukkan, pergerakan wisatawan domestik di Papua mencapai 1,05 juta perjalanan. Dari angka tersebut, sebanyak 52 persen adalah perjalanan profesi atau bisnis, 9,89 persen kunjungan pada kerabat, 5,81 persen berlibur, serta 31,26 persen kunjungan lainnya.
Tidak hanya melalui pariwisata, potensi perdagangan antara Papua dan wilayah tetangga di Papua Niugini juga dapat ditingkatkan. Setiap hari, ratusan warga dari wilayah Vanimo, Provinsi Sandaun, Papua Niugini, melintasi Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Skow, Jayapura. Masyarakat Papua Niugini yang tinggal di sekitar perbatasan banyak menggantungkan kebutuhan dasar dari Kota Jayapura.
Konsul RI di Vanimo Allen Simarmata menyebutkan, transaksi dari Papua Niugini tidak sebatas pada kebutuhan dasar, tetapi meluas pada perdagangan yang lebih besar lagi. Menurut Allen, ini menjadi potensi pasar yang menjanjikan untuk dimanfaatkan bagi Kota Jayapura dan Papua.
Orang pendatang bukan lagi sebut jadi musuh (kompetitor), tetapi justru mereka jadi pasar menggiurkan untuk usaha.
Pada 15-17 Desember 2023, kedua daerah perbatasan menggelar festival perbatasan bertajuk ”Border Trade Show”. Beragam UMKM lokal dari Jayapura mengikuti pameran di sana. Ia berharap konektivitas ini tidak terbatas pada transaksi di perbatasan saja, tetapi bisa menjangkau hingga ke pusat kota.
”Ada beberapa yang sedang kami komunikasikan dengan Pemprov Papua, misalnya tentang angkutan umum hingga ke pusat kota. Dengan begitu, potensi lain dari ekonomi kerakyatan di pusat kota juga bisa dijangkau,” katanya.
Baca juga : Anyaman Ketulusan dan Solidaritas ”Mama Pasar Papua”
Dengan menggeliatnya UMKM, anak-anak muda Papua berharap semua kalangan tergerak memanfaatkan potensi lokal untuk memangkas berbagai stigma. Selama berpuluh-puluh tahun, Papua dianggap hanya menjadi tempat menggiurkan bagi pendatang mengais pundi-pundi rupiah.
Seiring ulang tahun ke 74 Provinsi Papua yang jatuh pada 27 Desember ini, sikap optimistis mengelola potensi lokal agar terus maju memang wajib dibangun.
”Nanti kitorang ini, kalau semua mau bergerak meramaikan usaha akan ada banyak hal baik. Orang pendatang bukan lagi sebut jadi musuh (kompetitor), tetapi justru mereka jadi pasar menggiurkan untuk usaha,” ujar Alo.