Anyaman Ketulusan dan Solidaritas ”Mama Pasar Papua”
Solidaritas tinggi pedagang orang asli Papua turut memangkas stigma dan jurang pemisah hubungan sosial dengan pendatang.
Di tengah terik siang dan debu yang bertebaran, hiruk-pikuk aktivitas Pasar Youtefa, Kota Jayapura, Papua, Sabtu (4/11/2023), sedikit surut. Namun, puluhan hingga ratusan pedagang tidak beranjak dari lapak-lapaknya. Pedagang orang asli Papua atau biasa dipanggil ”mama Papua” berdampingan dengan pedagang lainnya, termasuk pedagang non-Papua.
Biasanya, para mama Papua cukup mudah ditemui dengan lapak sederhana beralas karung goni di emperan atau sisi luar pasar. Komoditas yang dijual berupa sayuran, buah-buahan lokal, serta pinang dan sirih.
Sebelum memasuki area dalam pasar, senyum merekah dengan bibir memerah bekas memamah pinang sudah menyambut kedatangan pembeli. Adapun kebanyakan petak kios di blok dalam pasar lebih banyak dihuni pedagang non-Papua. Barang yang dijual di dalam pasar lebih banyak kebutuhan sekunder dan tersier.
Baca juga : Hilangnya Sumber Kehidupan Mama-mama Papua
”Di dalam sepi, lebih baik di sini. Ya, karena kalau orang mau cari sayur pasti cari ke sekitar sini,” kata Agustina Demetow (59) atau biasa disapa Mama Tina, sembari memamah pinang dan tampak asyik bercengkerama dengan mama Papua lain yang juga berjualan di emperan Pasar Youtefa.
Mama Tina merupakan pedagang yang berasal dari Kampung Lereh, Distrik Kaureh, Kabupaten Jayapura. Untuk sampai di Pasar Youtefa, Mama Tina harus naik bus Damri selama delapan jam. Dengan situasi itu, Mama Tina lebih baik menginap dengan menyewa kamar indekos di sekitar pasar.
Untuk menghabiskan dagangannya, ia akan menginap di kamar indekos yang juga digunakan anak-anaknya bersekolah di Kota Jayapura. Biasanya Mama Tina akan berjualan 2-3 hari, sebelum akhirnya pulang ke rumah untuk mengambil kembali sayuran dan komoditas jualan lainnya.
Baca juga : Nikolas Djemris Imunuplatia, Energi Mama-mama Papua
Siang itu, ketika hari semakin sore, sejumlah pedagang sudah bersiap mengakhiri kegiatan berdagang dan bersiap untuk aktivitas esok hari. Mama Tina menemui sejumlah pedagang yang ingin memesan buah pinang karena dirinya berencana kembali ke rumahnya di Kampung Lereh.
”Kalau pinang ini, mereka (pedagang non-Papua) kurang tahu membedakan mana yang baik (layak dikonsumsi). Makanya, beli sama kami sekaligus kami pilihkan. Nanti kalau salah pilih justru pinangnya bikin muntah atau mabuk,” tuturnya.
Jurang pemisah
Di tengah rasa saling membutuhkan, Mama Tina serta pedagang lain tampak menunjukkan sikap keterbukaan sosial antarsesama, termasuk dengan pedagang non-Papua. Mereka saling mengesampingkan stigma yang kadang membuat jurang pemisah di antara keduanya.
Pedagang lain, Wenina Mandikmbo (42) atau Mama Wen, memiliki komoditas jualan yang serupa dengan Mama Tina. Mama Wen berasal dari Wamena, Papua Pegunungan, tetapi menetap di Distrik Arso, Kabupaten Keerom, Papua. Ia biasanya bolak-balik dengan waktu tempuh 2-3 jam menuju Pasar Youtefa.
Meskipun harus dijual dengan harga turun (lebih murah), itu lebih baik toh daripada ditahan dan bisa saja tidak laku dan sayurnya rusak.
Dalam sekali perjalanan ke Youtefa, Mama Wen membawa sayuran dengan jumlah banyak. Tidak hanya untuk berjualan sendiri, Mama Wen juga mendistribusikan dagangannya kepada pedagang lain, baik di dalam maupun maupun di luar pasar.
”Meskipun harus dijual dengan harga turun (lebih murah), itu lebih baik toh daripada ditahan dan bisa saja tidak laku dan sayurnya rusak,” katanya.
Bagi Mama Wen, dengan kondisi stagnasi berjualan di pasar, menjaga solidaritas dengan pedagang lain menjadi penting. Kondisi yang tidak berangsur baik tersebut menjadi bukti masih minimnya perhatian dari pemerintah kepada mereka.
”Kami sudah berpuluh-puluh tahun berjualan, hanya begini-begini saja. Yang penting cukup untuk makan dan simpan buat uang anak sekolah. Apalagi, selama ini bantuan seperti beasiswa itu tidak pernah datang,” tutur ibu empat anak ini.
Baca juga : Mama-mama Papua yang Masih Terus Menanti...
Egana Pagawa (26), pedagang lain, juga turut mencoba memangkas stigma jurang pemisah dengan pedagang non-Papua. Di usia yang terlampau muda tersebut, ia sudah hampir 10 tahun meneruskan usaha orangtuanya berjualan di pasar. Ia hanya mengenyam pendidikan sampai tingkat sekolah menengah pertama.
Sembari berjualan sayuran, ia menawarkan jasa menganyam tas noken untuk pedagang non-Papua yang menjual berbagai aksesori khas Papua. Biasanya dalam jangka waktu tertentu, ia akan diberikan modal untuk membeli benang dan menganyam sejumlah noken.
”Walaupun dapatnya tidak terlalu banyak, lumayan tambah-tambah (penghasilan). Toh, hanya jahit saja, tidak usah lagi mau cari pembeli lagi,” ucapnya.
Solidaritas tulus dan keterbukaan dari mama Papua menunjukkan, sebagai anak bangsa, mereka sama-sama berjuang dengan saudara-saudaranya yang berasal dari daerah lain untuk mendapatkan kesejahteraan di Tanah Papua.
Di sisi lain, para pedagang non-Papua mengakui, nilai sosial selalu ditunjukkan orang asli Papua. ”Mereka terbuka dan berjiwa sosial yang tinggi. Kami sama-sama pedagang dan orang kecil. Justru, yang kami tunggu itu perhatian pemerintah untuk kesejahteraan kami orang kecil,” kata Ratna (35), salah seorang pedagang asal Sulawesi Selatan yang telah menetap sejak tahun 1980-an di Jayapura.
Baca juga : Berakhirnya 17 Tahun Penantian Mama Papua
Solidaritas tinggi
Sifat yang ditunjukkan pedagang asli Papua ini menjadi fenomena lazim. Guru besar sosiologi dari Universitas Cenderawasih, Jayapura, Avelinus Lefaan, mengungkapkan, keterbukaan sosial orang Papua selalu ditunjukkan dalam aktivitas sehari-hari, termasuk kegiatan ekonomi.
Dengan demikian, kendati sering terbentur stigma persaingan dengan pedagang pendatang, sifat alamiah dengan jiwa sosial dan solidaritas tinggi dari mama Papua turut mampu memangkas jurang pemisah yang ada.
Dia melihat, jurang pemisah itu kerap muncul karena ketimpangan kondisi ekonomi yang terjadi. Pedagang orang asli Papua sebagai kaum pribumi merasa memulai usaha lebih dulu dari para pendatang, tetapi di lapangan, perbaikan ekonomi hanya didapatkan satu pihak.
”Selama ini pedagang Papua itu seakan terjebak pada sistem dagang yang subsisten. Sistem dagang yang alih-alih mengejar keuntungan, mereka hanya berdagang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Istilahnya, gali lubang tutup lubang. Selama itu pula, tidak ada upaya perbaikan di sana,” kata Avelinus.
Menurut Avelinus, perlu ada intervensi langsung dengan perbaikan kondisi ekonomi mama Papua untuk menuju ekonomi yang lebih efisien dan produktif. Hal ini tidak hanya akan berdampak pada perekonomian masyarakat Papua secara umum, tetapi juga turut merawat hubungan sosial dengan kaum pendatang. Keduanya juga saling membutuhkan dalam berbagai hal.
Istilahnya, gali lubang tutup lubang. Selama itu pula, tidak ada upaya perbaikan di sana.
Avelinus menyayangkan, dana otonomi khusus Papua yang telah bergulir selama dua dekade lebih belum memberikan kontribusi perbaikan pada ekonomi orang asli Papua. Menurut dia, jika dana otsus dikelola dengan baik, pemerintah bisa mengintervensi dalam berbagai cara, baik secara langsung kepada para pedagang maupun melalui pendidikan anak Papua.
”Seharusnya dana otsus itu bisa juga digunakan untuk memberikan beasiswa yang sebanyak-banyaknya kepada anak-anak pedagang ini. Akses pendidikan tersebut juga bisa sekaligus menjadi jembatan perbaikan ekonomi pedagang asli Papua,” ucapnya.
Baca juga : Noken, Rahim Kedua Orang Papua yang Terpinggirkan
Berharap dari otsus
Dana otsus yang telah memasuki periode kedua seharusnya dievaluasi untuk memenuhi amanat pemerintah dalam meningkatkan pembangunan manusia dan ekonomi masyarakat Papua. Dalam sejumlah kesempatan, Alberth Yoku yang menjadi perwakilan Provinsi Papua di Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP) menjanjikan evaluasi penyelenggaraannya.
Alberth yang juga mantan Ketua Sinode GKI mengarahkan agar pemanfaatan otsus lebih banyak berkolaborasi dengan lembaga adat atau keagamaan. ”Kegagalan perbaikan kondisi Papua pada periode pertama dana otsus sehingga perlu ada perbaikan. Otsus sudah seharusnya dikembalikan pada tujuan awalnya, yakni pendidikan, kesehatan, serta ekonomi orang asli Papua,” tuturnya.
Pemenuhan pada hak orang asli Papua ini jelas akan turut memangkas disparitas dan kecemburuan sosial yang selama ini kerap terjadi dengan kaum pendatang. Dengan begitu, tidak perlu istilah ”pinjam dulu seratus”, karena rasa tulus itu akan membuat solidaritas dan silaturahmi tidak akan pernah terputus.