Noken, Rahim Kedua Orang Papua yang Terpinggirkan
Tepat 4 Desember 2012 di Kota Paris, Organisasi Pendidikan, Keilmuwan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO menetapkan tas tradisional noken dari Papua sebagai warisan budaya dunia tak benda. Lima tahun berlalu, ratusan perajin di Jayapura belum memiliki tempat untuk memasarkan noken buatannya. Mereka masih menjajakan noken di pinggiran jalan Jayapura yang berdebu.
Senin (4/12) sekitar pukul 14.00 WIT di Taman Imbi, Kota Jayapura, komunitas perajin noken Papua menggelar acara peringatan lima tahun penetapan noken sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO, yakni sebuah organisasi pendidikan, keilmuan, dan kebudayaan di PBB.
Tema peringatan noken sebagai warisan tak benda pada tahun ini adalah Noken Simbol Kehidupan Orang Papua. Sementara sub temanya adalah Noken Tembus Batas. Mari Bersama Merajut, Menganyam, Menyulam Noken Kehidupan Anak Mama Papua.
Tampak sekitar 500 pengrajin yang seluruhnya kaum perempuan dengan bangga memamerkan tas noken hasil buatannya di sepanjang Jalan Sam Ratulangi yang dimulai sejak pukul 12.00 WIT. Tak ada terlihat rasa capek dan keluhan walaupun panas terik yang membakar kulit mereka yang berwarna cokelat.
Tak heran karena 500 perajin ini sehari-hari berjualan di beberapa ruas jalan umum dan di depan pusat perbelanjaan kota Jayapura seperti di Mal Saga Abepura dan toko Gelael Jayapura.
Mereka belum memiliki suatu tempat khusus atau bengkel kerja untuk merajut hingga menjual noken. Terik matahari dan guyuran hujan sudah menjadi hal biasa bagi mereka.
Adapun pembuatan noken dari dua bahan yakni kulit kayu dan benang nilon. Biasanya para perajin di Jayapura mendatangkan kulit kayu dari sejumlah daerah yakni Wamena, Nabire dan Yahukimo.
Saat ini banyak perajin yang membuat noken dari bahan nilon karena tingginya biaya untuk membeli kulit kayu dan mendatangkannya ke Jayapura dengan menggunakan pesawat.
Ketua Asosiasi Noken Papua Merry Dogopia mengungkapkan, para perajin bisa mengeluarkan biaya minimal Rp 400.000 untuk satu gulungan kulit kayu seberat dua kilogram.
"Selama ini kami bekerja mandiri tanpa bantuan pemda setempat maupun pihak perbankan di Papua. Ketika kami mengalami kesulitan untuk memasok kulit kayu, maka solusinya adalah menggunakan benang," tutur Merry.
Rahim kedua
Noken sangat berperan penting bagi perjalanan hidup masyarakat khususnya di pedalaman Papua. Noken seperti sahabat yang menemani masyarakat dalam aktivitas sehari-hari.
Titus Pekey, selaku pencetus noken sebagai warisan dunia tak benda ke UNESCO pada tahun 2011 mengatakan, noken telah digunakan 250 suku di Papua dan Papua Barat sebelum pendudukan pemerintah kolonial Belanda pada abad 18.
Menurutnya, diperkirakan jumlah perajin noken di lima wilayah adat di Papua dan Papua Barat mencapai sekitar 100.000 orang yang berjualan di pinggiran jalan. Belum ada sebuah tempat yang disediakan pemerintah untuk menampung mereka hingga kini.
Noken digunakan sebagai tempat menyimpan bekal makanan seperti ubi dan barang-barang lainnya. Selain itu, noken juga disebut rahim kedua karena sebagai tempat untuk membawa bayi sejak dari lahir.
"Pada awalnya noken dialas dengan daun palem. Setelah itu, barulah sang bayi dimasukkan ke dalam noken. Banyak pejabat di Papua saat ini berasal dari Noken," ungkap Titus.
Ia pun menilai noken menjadi sumber kemandirian dan kreativitas masyarakat Papua yang terus berjuang di tengah era modernisasi dan minimnya dukungan dari pemerintah.
"Saya berharap agar pemerintah daerah setempat memberdayakan para pengrajin dan menyiapkan tempat yang layak agar mereka terus berkarya untuk kelestarian noken di masa mendatang," tutur Titus.
Wali Kota Jayapura Benhur Tommy Mano mengatakan, rencananya seluruh perajin noken di Jayapura akan menempati tempat khusus di Pasar Modern Mama Papua yang telah rampung penbangunannya sejak tahun akhir tahun 2016 lalu.
"Saat ini pasar ini belum beroperasi. Sebab, kami masih mengurus masalah administrasinya dengan Kementerian Badan Usaha Milik Negara selaku pemilik aset pasar," tutur Benhur.
Sumber penghasilan
Di lokasi pameran di pinggiran Jalan Sam Ratulangi, tampak Albertina Pigay, salah satu perajin sedang menganyam salah satu noken dari bahan benang nilon sambil duduk di atas trotoar yang beralaskan tikar. Di lapak Albertina, ada berbagai jenis dan bentuk ukuran noken hasil karyanya yang ditampilkan bagi masyarakat.
Ibu dari tiga anak ini telah menjual noken sebagai sumber penghasilan di pinggiran jalan Jayapura sejak tahun 80-an. Ia pun telah ditinggal sang suami karena meninggal dunia tahun 2001 lalu.
"Pada awalnya saya berjualan di daerah Dok V di Kelurahan Mandala. Kemudian saya pun pindah dan berjualan di Jalan Percetakan hingga kini," tutur wanita berusia 43 tahun ini.
Rata-rata harga noken bervariasi dan tergantung jenis bahannya serta motifnya. Apabila satu noken yang terbuat dari kulit kayu dengan ukuran kecil seharga Rp 200.000, sedangkan ukuran besar maksimal bisa mencapai Rp 1 juta.
Sementara satu noken berbahan benang nilon dari ukuran kecil seharga Rp 100.000 dan ukuran besar dengan harga maksimal Rp 500.000.
Kadang Albertina bisa meraup keuntungan minimal Rp 300.000 per hari dari penjualan noken. Namun apabila tidak beruntung, dagangannya tak laku terjual.
Dari noken, Albertina bisa menyekolahkan seluruh anaknya. Bahkan anak sulungnya Marselino Badi yang berusia 25 telah menyelesaikan pendidikan strata satu di salah satu perguruan tinggi swasta di Jayapura.
Sementara itu, Merry selaku Ketua Asosiasi Noken Papua dan juga perajin di Kota Jayapura sejak tahun 2001 lalu menuturkan, pemasukan dari penjualan noken telah menopang kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari.
Keenam anak Merry bersekolah tanpa terkendala biaya. Salah satu anaknya bernama Riksoin Pigome telah menamatkan pendidikan sebagai pilot di Jakarta. Saat ini Riksoin telah bergabung dengan salah satu maskapai penerbangan di Papua yakni Dimonim Air.
"Kami berharap segala usaha kerajinan mendapatkan perhatian dari Pemda setempat. Tolong jangan lupakan bahwa noken adalah identitas orang Papua di tingkat nasional maupun dunia," harap Merry.