Mama-mama Papua yang Masih Terus Menanti...
Pemerintah pusat membangun pasar modern di Kota Jayapura, yang rampung akhir 2016. Namun, hingga tahun berganti, dan kini sudah Januari 2018, pasar itu belum beroperasi karena masalah administrasi. Hingga awal tahun ini, sekitar 300 pedagang Pasar Mama Papua masih terus menanti untuk segera berdagang di situ.
Hujan deras turun di Kelurahan Gurabesi, Kota Jayapura, 11 Desember lalu. Salah satu yang terguyur adalah pasar
sementara Mama Papua di Jalan Percetakan. Pasar sementara ini berjarak 100 meter dari bangunan megah Pasar Mama Papua, yang masih belum berpenghuni.
Waktu baru menunjukkan pukul 19.00 WIT. Namun, sejumlah pedagang sayuran dan tas tradisional noken yang biasa berjualan di emperan jalan di depan pasar sementara, berkemas-kemas karena kehujanan. Biasanya, mereka berjualan dari pukul 15.00 hingga 22.00. Cuma beberapa pedagang ikan yang masih bertahan karena lapaknya dilengkapi payung besar, atau tenda.
Yustina Tou (40), salah satu penjual tas noken di lokasi itu, harus pulang lebih awal tanpa membawa uang. Jika tidak kehujanan, ibu dua anak itu bisa meraih penghasilan Rp 50.000-Rp 100.000. ”Saya tak dapat tempat di dalam pasar sementara, karena sudah melebihi kapasitas. Karena itu, saya dan pedagang lain harus berjualan di depan pasar,” ujar Yustina.
Pasar sementara Mama Papua, di atas lahan seluas sekitar 1 hektar ini ditempati 315 pedagang. Penyebutan Pasar Mama, karena 90 persen pedagangnya adalah kaum perempuan asal sejumlah kabupaten, seperti Paniai, Jayawijaya, hingga Kepulauan Yapen.
Bagian dalam pasar sementara berupa lapangan yang ditutupi tenda putih. Tenda telah dua kali diganti karena rusak saat diterpa angin kencang dan hujan deras. Tiada lahan parkir. Para pembeli harus memarkir mobil dan sepeda motor di tepi jalan. Pedagang pun mesti menjajakan barangnya di lapak-lapak sempit.
Magdalena Aninam (45), pedagang lain mengatakan, mereka harus menempuh perjuangan panjang untuk menempati pasar sementara itu. Sebelumnya, sejak tahun 1990-an, para mama Papua berjualan di sejumlah ruas jalan, seperti di Jalan Ampera, Ruko Jayapura, depan toko Gelael, dan belakang Markas Polres Jayapura Kota.
Berulang kali mereka diusir petugas karena dianggap mengganggu arus lalu lintas. Namun, para pedagang tetap nekat berjualan demi memenuhi biaya hidup dan pendidikan anak-anaknya. ”Sejak 2003 kami berunjuk rasa di Kantor Gubernur Papua hingga DPRD Papua, hingga 10 kali. Akhirnya, pada 20 Desember 2010, Gubernur Papua Barnabas Suebu meresmikan pasar sementara Mama Papua untuk kami tempati,” ujar Magdalena.
Ditutupi seng
Hanya 100 meter dari lokasi pasar sementara Mama Papua, bangunan pasar modern berdiri di lahan seluas 2.400 meter persegi. Namun, tak terlihat aktivitas di situ. Bagian depan pasar tampak masih ditutupi seng.
Pasar yang dibangun dari dana bantuan sejumlah badan usaha milik negara itu telah rampung sejak Desember 2016. Pasar lima lantai ini dapat menampung sekitar 400 pedagang.
Pasar itu juga dilengkapi fasilitas komplet. Di setiap lantai tersedia dua kamar mandi dan dua toilet dengan interior layaknya fasilitas di pusat perbelanjaan. Setiap kamar mandi pun dilengkapi pancuran.
Sayangnya, pasar megah ini belum bisa ditempati karena terhambatnya proses pengalihan aset lahan pasar yang dimiliki Perum Damri Papua kepada Pemerintah Kota Jayapura.
”Damri tak bisa memberikan lahan tersebut untuk digunakan, sebelum ada lokasi pengganti. Saat ini, kami masih meminjam lokasi milik Pemprov Papua di daerah Pasir Dua, Distrik Jayapura Utara, untuk kegiatan operasional,” kata Manajer Perum Damri Area Papua-Maluku Ferdik Sakona.
Wali Kota Jayapura Benhur Tomy Mano mengakui, pihaknya terus didatangi ratusan pedagang Pasar Mama yang menanyakan kepastian pengoperasian pasar baru itu. ”Kami menunggu proses hibah aset pasar antara Pemkot Jayapura dengan Kementerian BUMN. Kami tak bisa mengambil alih tanpa tahapan tersebut karena akan menyalahi peraturan,” katanya.
Benhur menyatakan, pihaknya akan mengatasi masalah dengan pemilik hak ulayat lahan Pasar Mama Papua. ”Kami tidak menawarkan pembayaran dalam bentuk uang, tetapi memberikan lapangan kerja sebagai juru parkir dan petugas kebersihan di pasar,” katanya.
Ketua Solidaritas Pedagang Asli Papua (Solpap) Frengky Warer mengatakan, pemerintah pusat harus berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi Papua dan Pemkot Jayapura untuk menentukan pihak pengelola pasar tersebut dan pembayaran hak ulayat. (Fabio Maria Lopes Costa)