Rindu Natal Bersama, Ratusan PMI NTT Pulang Kampung Lebih Cepat
Lebih dari 100 pekerja migran asal NTT di Malaysia pulang kampung lebih cepat demi menyongsong Natal dan Tahun Baru. Mereka akan lanjut tinggal di kampung untuk bersiap ikut pemilu.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Lebih dari 100 warga Nusa Tenggara Timur yang bekerja di Malaysia pulang kampung menjelang Natal dan Tahun Baru. Para pekerja akan tetap tinggal di kampung hingga Pemilu 2024.
Supri Madung (62), warga Adonara, Flores Timur, NTT, mengatakan nekat pulang kampung pada pekan kedua Desember 2023. Ia bersama istri dan 50 pekerja sawit lain meminta calo dari Nunukan menjemput mereka di Tawao, Malaysia.
”Melalui grup Whatsapp, pekerja migran dari NTT di Malaysia timur memilih pulang kampung sebelum Natal. Jumlahnya lebih dari 100 orang,” katanya melalui pesan Whatsapp dari Kinabalu, Malaysia timur, Rabu (29/11/2023).
Ia menambahkan, ada kerinduan untuk merayakan Natal bersama-sama keluarga. Diprediksi masih banyak lagi yang ingin pulang sebelum Natal dan Tahun Baru sampai dengan masa pemilu, 14 Februari 2024. ”Mereka akan mengikuti pemilu di kampung,” tambah Supri.
Kerinduan merayakan Natal dan Tahun Baru bersama anggota keluarga dan sanak keluarga di kampung sangat tinggi. Terutama bagi mereka yang meninggalkan anak dan istridi kampung.
Mereka yang memilih pulang itu baru bekerja 2-4 tahun di Malaysia. PMI yang bekerja lebih dari lima tahun kebanyakan sulit pulang karena kesulitan biaya transportasi.
Ayah tujuh anak ini mengatakan, biaya transportasi laut untuk keluar dari Malaysia sampai Rp 10 juta per orang.Butuh waktu dua jam perjalanan laut. Melalui ”jalur tikus”, mereka menggunakan kapal cepat. Jumlah penumpang sampai 60 orang, bahkan lebih. Padahal, kapasitas kapal hanya untuk 20 orang.
”Sering terjadi kecelakaan selama perjalanan karena kelebihan muatan. Apalagi musim hujan. Kondisi cuaca sering tidak bersahabat selama pelayaran. Pengurus atau calo tidak peduli dengan keselamatan penumpang. Terpenting, mendapat uang sesuai target,” kata Supri.
Melalui rute normal, perjalanan dari Tawao ke Nunukan hanya butuh waktu satu jam. Tiba di Nunukan, perjalanan dilanjutkan dengan kapal Pelni menuju NTT. Biaya relatif lebih murah, Rp 500.000-Rp 700.000 per penumpang. Namun, menjelang Natal dan Tahun Baru, jumlah penumpang membeludak. Harga tiket pun naik.
Nadus Henakin (60), warga Lembata, yang sudah 35 tahun bekerja di Samporna, Malaysia timur, belum bisa pulang kampung. Ia memiliki seorang istri, lima anak, dan tiga cucu. Mereka pernah pulang kampung di Lembata pada 2004.
”Anak dan cucu sekolah di sini. Dua anak dan satu cucu akan pulang kampung. Rayakan Natal di sana. Mewakili keluarga besar di perantauan,” katanya.
Jika pulang kampung ramai-ramai, lanjutnya, butuh biaya besar. Apalagi, pada masa Natal dan Tahun Baru, biaya transportasi lebih mahal. Setelah Tahun Baru, mereka kembali ke Malaysia.
Ia mengatakan, anak-anak bersekolah hanya sampai SMA. Guru-gurunya dari Indonesia. Mereka mengenakan seragam seperti sekolah di Indonesia. Kalau mau lanjut kuliah, mereka harus pulang kampung. ”Anak–anak saya hanya sampai SMP dan SMA. Langsung ikut kerja sebagai buruh di perkebunan sawit dan peternakan ayam,” kata Nadus.
Tony Bria (45), warga Malaka, bersama istri pun memilih merayakan Natal dan Tahun Baru di kampung asal, Fahiluka, di Malaka. Keduanya telah meninggalkan lima anak mereka bersama nenek selama tiga tahun di kampung asal. Mereka tidak akan kembali ke Malaysia.
Ketua Dewan Pembina Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia Gabriel Goa mengatakan, hingga 18 November 2023, jumlah pekerja migran Indonesia (PMI) NTT yang meninggal di luar negeri mencapai 135 orang. Jumlah ini kemungkinan akan bertambah sampai 31 Desember 2023. Rata-rata setiap tahun jumlah PMI NTT yang meninggal di luar negeri sebanyak 130 orang.
Hanya tiga BLK di Kupang yang memenuhi syarat. Hampir 95 persen PMI asal daratan Timor berangkat secara ilegal, tanpa keterampilan apa pun.
Padma Indonesia menyesalkan sikap pemerintah provinsi, pemerintah kota, dan pemerintah kabupaten di NTT yang tidak membekali calon PMI asal NTT dengan dokumen keimigrasian sah melalui sistem layanan satu atap. Pemerintah daerah juga tidak memberikan pelatihan keterampilan yang cukup melalui balai latihan kerja (BLK).
”Hanya tiga BLK di Kupang yang memenuhi syarat. Hampir 95 persen PMI asal daratan Timor berangkat secara ilegal, tanpa keterampilan apa pun. Sementara di Sumba dan Flores belum ada BLK memenuhi syarat, yakni dilatih, disertifikasi, dan ditempatkan,” kata Gabriel.
Tidak perlu saling lempar tanggung jawab atas permasalahan PMI ilegal ini. Semua pihak bertanggung jawab menyelamatkan generasi pekerja NTT agar tidak meninggal sia-sia di negeri orang, hanya karena ingin mencari kebutuhan makan dan minum.
Sosialisasi pencegahan perdagangan orang perlu dilakukan di setiap desa di NTT dengan menerapkan sistem migrasi yang aman. Mereka yang dikirim ke luar negeri harus sudah dibekali keterampilan cukup di bidang masing-masing.
PMI bisa dibekali melalui pelatihan di BLK ataupun pendidikan vokasi standar nasional dan internasional. Yang tak kalah penting adalah sistem layanan terpadu satu atap untuk pengurusan KTP, paspor, perjanjian kerja, visa kerja, cek kesehatan, asuransi jaminan sosial, dan bank ataupos giro penerima remitansi.