Merawat Pangan Alternatif Kekayaan Nusantara ala Desa Kaluppini
Sikapa, sagu, jagung, dan singkong adalah pangan alternatif yang dapat jadi solusi atas persoalan pangan di Nusantara.
Selama bertahun-tahun, beras mendominasi sumber karbohidrat di negeri ini. Ketergantungan terhadap beras telah membuat kebutuhan pangan mengalami kerentanan. Keberadaan pangan alternatif yang masih lestari lewat kearifan lokal bisa menjadi solusi atas persoalan pangan di Nusantara.
Sabtu (18/11/2023) siang, Yeda (50) berjalan ke pinggir hutan tak jauh dari perkampungan di Desa Kaluppini, Kecamatan Enrekang, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Di tempat ini dia menunjukkan sikapa, tanaman jenis umbi-umbian.
Di tengah kemarau panjang ini, sikapa tumbuh subur di hutan dan pinggiran kebun. Kemarau membuat harga beras naik cukup signifikan. Namun, bagi warga Kaluppini, ini bukan soal. Sikapa serupa berkah yang tumbuh subur justru saat kemarau. Sejak zaman dahulu, bahkan saat masyarakat belum mengenal beras, warga sudah mengonsumsi sikapa sebagai sumber karbohidrat.
Baca juga: Beragam Jenis Pangan Lokal Menjadi Solusi Defisit Beras Nasional
Dengan cekatan Yeda mencabut bonggol umbi itu. Dia menunjukkan cara mengupas dan mengirisnya tipis. Ini adalah bagian penting karena jika salah mengolah, sikapa akan menjadi racun.
”Kalau mengupas, boleh dari arah mana saja. Tapi saat mengiris, bagian umbi yang melekat pada batang harus berada di atas. Mengiris juga hanya boleh searah dari atas ke bawah. Saat sudah dikupas tentu susah membedakan mana bagian atas dan bawah. Makanya, yang saya kupas adalah bagian atas dahulu lalu saya beri tanda. Dengan proses mengupas dengan cara ini, sikapa tak akan menjadi racun,” katanya.
Seusai dikupas dan diiris, sikapa tak langsung bisa diolah, tapi harus dicuci terlebih dahulu di sungai. Biasanya, umbi berwarna putih kekuningan ini dimasukkan dalam karung yang tembus air, bisa juga bahan sejenis kain kasa atau jaring. Sikapa kemudian direndam di sungai atau air mengalir dan dibiarkan hingga dua hari. Jika sungai kering, pencucian dilakukan dengan cara direndam dalam wadah dan airnya diganti tiga kali sehari. Proses ini dilakukan hingga tiga hari.
Baca juga: Pangan Lokal Bisa Menggantikan Beras
Selanjutnya, sikapa diperas sembari dihancurkan dengan cara diremas. Dalam bentuk gumpalan atau bulatan kecil, sikapa kemudian dijemur hingga kering. Proses memasak akan didahului dengan menghaluskan sikapa kering, setelah itu dikukus hingga matang.
”Biasanya kami tambahkan kelapa parut dan sedikit garam agar gurih. (Sikapa) Dimakan bersama lauk, sayur, sambal atau apa pun. Kadang kami olah juga menjadi kerupuk dan ditambah gula merah cair atau rasa lain sesuai selera. Untuk olahan kerupuk, saat sudah dicuci, langsung dijemur dalam bentuk irisan kecil, tak dihaluskan,” kata Hariani (38), warga lainnya.
Siang itu tim dari Yayasan Nusa Gastronomi Indonesia yang datang mendokumentasikan kuliner tradisional di Enrekang dijamu makan siang dengan menu sikapa sebagai pengganti nasi. Ada juga nasi yang dimasak dicampur singkong. Lauknya ikan goreng, sayur bening, dan sambal.
Sejak dua tahun terakhir, Yayasan Nusa Gastronomi Indonesia melalui Program Pusaka Rasa Nusantara berkeliling Indonesia mendokumentasikan beragam kuliner tradisional yang nyaris punah, jarang dibuat, unik, atau yang bersifat pangan alternatif. Makanan yang berasal dari bahan alami atau sistem penanaman dengan konsep konservasi juga termasuk di dalamnya.
Meilati Batubara, pemimpin tim Pusaka Rasa Nusantara, mengatakan, pendokumentasian kuliner tradisional atau langka ini bagian dari upaya merawat kekayaan kuliner Indonesia.
Pangan alternatif
Dalam perjalanan Pusaka Rasa Nusantara di Sulawesi Selatan, sikapa hanyalah satu dari sekian banyak kuliner tradisional, khususnya sumber karbohidrat yang didokumentasikan.
Di Kajang, Enrekang, dan beberapa kawasan lain di Sulsel, singkong, sagu, jagung, hingga pisang juga sudah turun-temurun dijadikan sumber karbohidrat.
Suhuriah (38), warga suku Kajang di Bulukumba, mengatakan, sejak belum mengenal beras, warga terbiasa makan jagung sebagai pengganti nasi. Jagung dipipil, dijemur hingga kering lalu ditumbuk kasar, setelah itu dimasak hingga menjadi serupa nasi. Jagung ini juga kerap dicampur beras hingga menjadi nasi jagung. Mereka menyebutnya kampoddo.
Kami tak pernah pusing dengan kenaikan harga beras seperti yang terjadi saat ini.
Di Kaluppini, saat beras kurang, selain sikapa, warga juga mencampur beras dengan singkong. Mereka akrab menyebutnya nande kandoa atau nasi singkong. ”Singkong dipotong kecil-kecil lalu dimasak bersama beras. Biasanya, kami memakan ini bersama lauk. Dengan cara ini, tak butuh beras banyak dan sumber karbohidratnya lebih kaya rasa,” kata Suriani.
Jaysa, Ketua Pengurus Harian Daerah Perempuan AMAN Massenrempulu, mengatakan, komunitas adat di Enrekang hingga kini masih meneruskan tradisi pangan lokal. Tak hanya pengganti nasi, tapi juga beragam sumber protein hingga sayur.
”Kami tak pernah pusing dengan kenaikan harga beras seperti yang terjadi saat ini. Karena komunitas adat tidak menjadikan nasi sebagai satu-satunya sumber karbohidrat. Biasanya setiap kali panen beras, mereka sudah menghitung kecukupan beras itu hingga masa yang cukup panjang,” katanya.
Dia menambahkan di sela menanam padi, masyarakat juga menanam singkong, jagung, dan memanen sikapa saat kemarau. ”Kadang beras diganti singkong, sikapa, jagung. Kadang dicampur. Makanya, beras selalu cukup hingga panen berikutnya karena diselang-seling singkong, jagung, dan sikapa, atau dicampur,” katanya.
Baca juga: Pisang, Tradisi dan Harapan Baru Sulsel
Sementara itu, warga di daerah Luwu mengenal dange yang terbuat dari sagu sebagai pengganti nasi. Sagu dikeringkan dan saat akan dikonsumsi, cukup dipadatkan dan dipanggang pada penggorengan besi atau tanah liat. Sagu juga dibuat makanan berkuah bercampur sayur dan ikan yang akrab disebut kapurung.
Di Sulawesi Barat, warga setempat mengenal jepa. Makanan sumber karbohidrat ini terbuat dari singkong. Biasanya singkong diparut lalu airnya diperas. Selanjutnya, singkong dicampur parutan kelapa dan dipanggang serupa piza. Jepa menjadi teman makan ikan atau lauk lainnya.
Meilati Batubara, Pimpinan Tim Pusaka Rasa Nusantara, mengatakan, sudah seharusnya sumber pangan alternatif ini lebih dikenalkan kepada generasi sekarang. Selama ini ada salah kaprah hingga sumber pangan alternatif identik dengan miskin atau hidup susah.
”Sejak dahulu, leluhur kita mengenal banyak sumber pangan alternatif, termasuk pengganti nasi. Herannya saat ini ada kesan kalau makan singkong, misalnya, atau jagung, itu berarti susah atau miskin. Padahal dengan pangan alternatif seperti ini, mestinya tak ada lagi kasus-kasus kelaparan,” katanya.
Jauh sebelum mengenal beras, sebagian masyarakat sudah memakan umbi-umbian. Berbagai sumber protein alternatif juga sudah dikenal, seperti bekicot, cacing laut, ulat sagu, dan kodok.
”Yang perlu dilakukan hanya merawat tradisi pangan alternatif ini dan membuang stigma bahwa makan ubi, pisang, atau sagu itu identik dengan miskin atau susah. Merawat tradisi pangan alternatif juga akan membuat beragam pangan ini lestari. Pada beberapa jenis umbi yang tumbuh di hutan, mengembalikan atau melestarikannya juga menjadi cara merawat hutan,” kata Meilati.
Baca juga: Sulsel, Lumbung Pangan yang Berjibaku Menjawab Tantangan
Sebelumnya, pengamat pertanian Universitas Hasanuddin Prof Sumbangan Baja mengatakan, diversifikasi pangan menjadi salah satu solusi di tengah alih fungsi lahan pertanian dan pertumbuhan penduduk. Tanpa pangan alternatif, persoalan pangan akan jadi ancaman ke depan.
”Masyarakat sejak dahulu sudah mengenal banyak sumber karbohidrat selain beras. Ada singkong, sagu, pisang, hingga jagung. Mestinya jenis makanan ini lebih dikenalkan lagi kepada masyarakat agar kita tak melulu bertumpu pada beras. Apalagi di tengah masifnya alih fungsi lahan dan pertumbuhan penduduk yang kian besar. Sawah butuh hamparan luas. Sementara banyak tanaman lain bisa jadi alternatif,” katanya.
Stigma makan ubi, singkong, sagu, atau jagung sebagai miskin atau susah sudah selayaknya dibuang jauh. Pangan alternatif adalah solusi persoalan pangan ke depan.