Beragam Jenis Pangan Lokal Menjadi Solusi Defisit Beras Nasional
Keberagaman pangan lokal kepulauan di Indonesia tergolong tinggi sehingga potensial menunjang kemandirian pangan daerah.
Pemenuhan kebutuhan akan karbohidrat tidak hanya terbatas dari nasi. Wilayah kepulauan Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, dan Mentawai menyimpan setidaknya 13 jenis sumber karbohidrat selain nasi. Kemandirian pangan tidak selalu mengacu pada ketersediaan asupan berupa nasi.
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara penghasil sekaligus konsumen beras terbesar di dunia. Keunggulan ini mendorong Indonesia bercita-cita menjadi lumbung pangan dunia pada tahun 2045. Mimpi lumbung pangan yang digaungkan tersebut bertumpu pada komoditas beras.
Sayangnya, upaya penyediaan beras di Indonesia belum pada tahap stabil dan surplus. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik dan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), produksi beras Indonesia dalam lima tahun terakhir menurun 1,87 persen setiap tahun. Hal tersebut perlu diwaspadai karena pada periode yang sama justru tingkat konsumsi naik 0,5 persen setiap tahun.
Terdapat celah defisit antara ketersediaan dan kebutuhan. Selama ini, solusi utamanya mengandalkan impor. Upaya ini kemungkinan akan sulit dilakukan pada masa depan. Penyebabnya, diperkirakan semakin banyak negara yang membatasi keran ekspor mengingat produksi pangan di negara bersangkutan terus menyusut seiring dengan intensitas anomali iklim dan ketegangan geopolitik.
Seandainya defisit pangan benar-benar terjadi, nasib wilayah kepulauan seperti Indonesia akan sangat terancam. Ancaman terutama dihadapi kawasan-kawasan kepulauan kecil di Indonesia yang minim sumber daya pertanian tanaman pangan.
Untuk mengungkap ketidakberdayaan pulau-pulau kecil dalam memenuhi kebutuhan akan pangan, Kompas mendatangi sejumlah daerah kepulauan pada Agustus hingga Oktober 2023. Tiga wilayah kepulauan tersebut ialah Nusa Tenggara Timur (NTT), Muna-Buton-Wakatobi di Sulawesi Tenggara, dan Kepulauan Mentawai di Sumatera Barat.
Baca juga: Pangan Lokal, Masa Depan Kita
Hasilnya, semua lokasi mengalami defisit pangan beras. Konsumsi beras jauh melebihi produksinya. Bahkan, Kepulauan Wakatobi tidak menghasilkan padi sama sekali sehingga mengandalkan kiriman dari luar wilayah.
Sepanjang periode 2019-2022, tingkat konsumsi beras di Kepulauan NTT mencapai 571.620 ton per tahun, tetapi produksi hanya 422.080 ton setahun. Artinya, terjadi defisit beras 149.540 ton. Kondisi defisit juga dialami penduduk Kepulauan Mentawai, yang memiliki tingkat konsumsi beras delapan kali lebih tinggi daripada produksinya.
Lebih miris lagi, penduduk Kepulauan Wakatobi secara total menggantungkan suplai beras dari luar wilayahnya untuk dapat mengonsumsi nasi. Tingkat konsumsi beras di Wakatobi mencapai 9.900 ton per tahun, jauh lebih tinggi daripada wilayah Mentawai.
Melimpah
Di tengah kondisi tersebut, observasi lapangan justru menemukan ada banyak sekali keberagaman pangan di tiga kepulauan tersebut. Tercatat sedikitnya 13 jenis sumber karbohidrat lokal yang tersebar di seluruh pulau kecil. Artinya, pemenuhan kebutuhan akan karbohidrat di wilayah kepulauan sangat mungkin dilakukan lewat pangan lokal.
Apabila ditelusuri lebih detail, keberagaman pangan di setiap kepulauan lebih melimpah lagi. Kepulauan NTT menyimpan sedikitnya 24 jenis pangan sumber karbohidrat yang dapat dikelompokkan menjadi delapan jenis, yaitu padi lokal, jagung, sorgum, jawawut, ubi, keladi, jelai, dan labu. Semuanya memiliki porsi mencukupi kebutuhan pangan masyarakat, contohnya jagung dan ubi menjadi dua jenis pangan yang paling sering dikonsumsi selain beras.
Baca juga: Pangan Instan Menggerus Pangan Lokal
Tiga gugusan Pulau Muna, Buton, dan Wakatobi juga memiliki kekayaan sumber karbohidrat yang tak kalah dengan wilayah lainnya. Jenis makanan yang mengandung karbohidrat tercatat sekitar 19 jenis, seperti beras ketan, jagung putih, jagung pulut, jali-jali, jawawut, singkong, ubi, labu putih, beras hitam, dan berbagai jenis pisang. Semuanya tersebar merata sesuai daya dukung lahan untuk pertumbuhan tanaman.
Sumber karbohidrat selain nasi di wilayah Kepulauan Mentawai terhitung cukup banyak, bahkan melebihi di wilayah Sulawesi Tenggara. Jenis pangan di Mentawai mencapai 22 varietas, seperti jagung, ubi, sorgum, keladi, sagu, dan pisang. Ekosistem Kepulauan Mentawai terpantau lebih basah dibandingkan dengan kawasan lainnya sehingga potensi jenis pangan lainnya sangat mungkin bertambah.
Lebih sehat
Tak dimungkiri, beras merupakan kelompok serelia paling populer di seluruh dunia, bahkan makanan pokok utama bagi lebih dari separuh populasi Bumi. Tujuan mengonsumsi beras sangat beragam, mulai dari memenuhi kebutuhan akan nutrisi, meningkatkan energi, hingga untuk menyehatkan badan.
Kandungan nutrisi padi sangat kompleks. Setiap 100 gram beras mengandung nutrisi seperti karbohidrat sekitar 80 persen dan sisanya terdiri dari protein, serat, lemak, dan gula.
Baca juga: Pangan Lokal Hadapi Tekanan dari Berbagai Aspek
Kandungan gula dalam bentuk glukosa menjadi penentu skor indeks glikemik, yaitu ukuran yang memengaruhi fluktuasi kadar glukosa darah. Ada hubungan erat antara konsumsi nasi putih dan risiko diabetes pada manusia.
Sebuah studi yang dilakukan terhadap 132.273 orang di 21 negara tahun 2020 menunjukkan bahwa konsumsi beras melebihi kebutuhan harian akan meningkatkan risiko kejadian diabetes. Studi lain yang dilakukan di Jepang tahun 2018 menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara obesitas dan konsumsi beras.
Selain beras, sumber pangan lain yang mengandung karbohidrat ialah sagu. Bahan pangan ini berindeks glikemik rendah sehingga tak berisiko menyebabkan diabetes. Selain itu, sagu merupakan komoditas bebas gluten dan kaya serat. Masyarakat di Kepulauan Mentawai, terutama di Desa Bekkeiluk dan Desa Salappa, telah lama mengonsumsi sagu sebagai alternatif sumber karbohidrat.
Hal serupa dilakukan masyarakat Pulau Kaledupa, Kabupaten Wakatobi, yang menjadikan sagu atau tobaro rumbia sebagai pangan pokok selain nasi. Keberagaman sumber karbohidrat sangat melimpah. Selain sagu, ada juga talas atau keladi yang mengandung serat tinggi, berlimpah vitamin dan mineral, serta tingkat antioksidan yang juga tinggi.
Sumber karbohidrat berikutnya yang juga melimpah dan mudah dijumpai adalah jagung serta ubi kayu. Keduanya menyumbang keberagaman pangan di wilayah kepulauan tersebut. Mirip dengan sagu dan talas, jagung memiliki kandungan serat tinggi dan indeks glikemik rendah. Untuk wilayah NTT saja, ada sekitar empat jenis jagung, yaitu jagung ungu, jagung kuning, jagung pulut, dan jagung merah. Varietas sama ditemukan di Sulawesi Tenggara.
Opsi lain untuk mencukupi kebutuhan akan karbohidrat adalah jelai atau jali. Tanaman pangan yang memiliki nama ilmiah Coix lacryma-jobi L ini mulai jarang ditemukan, padahal mudah tumbuh di sembarang tempat yang minim pemupukan dan pemeliharaan. Salah satu desa yang masyarakatnya masih mengonsumsi jelai atau lebih dikenal dengan leye ialah Desa Hoelea di Pulau Lembata, NTT.
Baca juga: Pangan Lokal Bisa Menggantikan Beras
Kementerian Pertanian mencatat ada empat varietas jelai di Indonesia, yaitu agrotis, mayuen, palutris, dan aquatic. Kandungan nutrisinya tidak kalah dari nasi. Untuk 100 gram jelai, sebanyak 76,4 persennya karbohidrat; diikuti protein 14,1 persen; lemak 7,9 persen; dan 54 mg kalsium. Keberadaan jelai menambah bukti betapa kayanya sumber-sumber karbohidrat selain padi di Indonesia.
Diversifikasi sumber karbohidrat penting untuk menjamin kedaulatan pangan nasional, apalagi saat ini banyak sentra pertanian padi mengalami penurunan produksi akibat faktor cuaca atau berkurangnya luas lahan pertanian.
Namun, keberagaman pangan masih menghadapi tantangan konsumsi dari sisi masyarakat. Pengetahuan terhadap sumber pangan yang beragam dan kemauan mengonsumsi pangan selain nasi harus terus ditumbuhkan guna mendukung upaya kemandirian pangan.
Oleh karena itu, diperlukan dukungan pemerintah dan masyarakat untuk terus meningkatkan diversifikasi pangan dengan memperkuat produksi, melestarikan, dan mengonsumsi komoditas pertanian pangan lokal. Semakin beragam pangan yang diasup masyarakat, kemandirian pangan akan segera tercapai di seluruh wilayah Indonesia. (LITBANG KOMPAS)