Sulsel, Lumbung Pangan yang Berjibaku Menjawab Tantangan
Di usia ke-354, Sulawesi Selatan berjibaku mempertahankan posisi sebagai salah satu lumbung pangan nasional.
Memasuki usia ke-354 tahun, Sulawesi Selatan berupaya mempertahankan posisi sebagai salah satu lumbung pangan nasional. Problem alih fungsi lahan yang rata-rata 6 persen per tahun menggerus produksi padi di daerah ini, sekaligus mengubah wajah lanskap daerah dan kehidupan masyarakatnya.
Data Sulawesi Dalam Angka 2023 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Selatan menyebutkan, luas panen tanaman padi di Sulsel pada 2022 adalah 1.042.107,35 hektar dengan produksi padi 5.341.020,84 ton. Kabupaten Bone merupakan kabupaten dengan produksi padi tertinggi, yakni 894.709,77 ton.
Dengan produksi padi 5,3 juta ton, Sulsel relatif surplus. Data Dinas Pertanian Sulsel menyebutkan, kebutuhan konsumsi padi untuk wilayah Sulsel sekitar 1 juta ton. Setelah ditambah dengan cadangan daerah, artinya ada kelebihan produksi sekitar 2 juta ton yang dapat dikirim ke daerah lain.
Dibandingkan dengan 2021, produksi padi Sulsel membaik. Pada 2021, panen padi Sulsel seluas 991.935,52 ha dengan produksi 5.152.871,43 ton. Namun, jika dibandingkan dengan produksi lima tahun lalu (2018) yang mencapai 5,7 juta ton, angka itu turun.
Persoalan alih fungsi lahan dan rendahnya minat generasi muda bertani antara lain terlihat jelas di Kabupaten Gowa. Di wilayah itu banyak areal sawah yang berganti rupa menjadi permukiman. Kota Makassar yang sudah kian padat menyebabkan kawasan-kawasan pertumbuhan baru beralih ke Kabupaten Gowa dan Maros.
Di sepanjang Kecamatan Somba Opu, Gowa, misalnya, pembangunan kawasan permukiman sangat masif beberapa tahun terakhir. Kawasan permukiman berderet di sisi kiri dan kanan jalan hingga ke area yang jauh dari jalan poros. Pemandangan serupa ditemui di Maros.
Minat rendah
Mansyur Dg Serang (65), petani di Desa Bontosunggu, Kecamatan Bajeng, Gowa, tak dapat menyembunyikan kerisauan hatinya. Di usia yang renta, dia masih harus turun sendiri mengurusi sawahnya. Luasnya tak seberapa, sekira 0,48 hektar.
”Setiap hari saya harus mengecek kondisi tanaman, apalagi sedang kemarau begini. Rasanya tidak kuat lagi. Tenaga sudah tidak seperti dulu. Tapi, anak-anak tidak ada lagi yang mau turun ke sawah,” katanya saat ditemui di areal sawahnya, Kamis (12/10/2023).
Kemarau membuat dia harus memantau kondisi air di sawah setiap hari. Bersusah payah dia menyelamatkan tanaman yang telanjur ditanam saat kemarau itu dengan mengandalkan mesin air.
Baca juga: Petani Andalkan Gabah Hasil Panen Diserap Pemerintah
Dua anak lelakinya lebih memilih bekerja sebagai karyawan bagian penjualan di perusahan rokok dan toko grosir. Dua lainnya adalah anak perempuan yang memilih menjadi ibu rumah tangga.
”Kalau saya makin tua dan anak-anak tetap tak mau mengurus sawah, terpaksa saya serahkan untuk diurus penggarap. Memang hasil yang saya dapat akan berkurang karena harus dibagi,” katanya.
Hal sama menjadi kekhawatiran Baharuddin (51), petani di Desa Minasa Baji, Kecamatan Bantimurung, Maros. Tak hanya mengeluarkan tenaga mengurusi sawah, dia masih harus memikirkan pula soal pupuk dan benih setiap musim tanam tiba. Anak-anaknya lebih memilih menjadi tukang ojek ketimbang bertani.
Dia memaklumi jika anaknya tak berminat menjadi petani. ”Kalau harga pupuk mahal dan kami pilih mengurangi penggunaan pupuk, maka hasil panen akan sedikit. Dipotong dengan biaya lain-lain, memang ujung-ujungnya hanya cukup untuk makan. Kalau jadi tukang ojek, sedikitnya Rp 50.000 per hari mereka bisa dapat,” katanya.
Bagi banyak anak petani, kepemilikan sawah yang kian kecil dan hasilnya yang dinilai kerap tak menjanjikan untuk hidup membuat pilihan untuk bertani jadi pilihan terakhir.
Faktor regenerasi dan uang besar yang kerap menggiurkan membuat petani tak segan melepas sawah. Acapkali kebutuhan untuk pernikahan atau sekolah anak membuat sawah begitu mudah berganti pemilik. Peruntukannya kerap berubah pada pemilik baru. Sawah yang dilepas pemilik menjadi persoalan pelik. Alih fungsi lahan terus membayangi sektor andalan ini.
Baca juga: Alih Fungsi Lahan Mengancam Produksi Padi Nasional
Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Sulsel Imran Jausi mengakui persoalan alih fungsi lahan ini cukup pelik. Dengan luas areal sawah sekitar 600.000 hektar, laju alih fungsi sekitar 6 persen setiap tahun.
”Kami sudah buat regulasi untuk menekan alih fungsi lahan. Misalnya untuk sawah kelas 1 atau yang beririgasi, jika dialihfungsikan, maka harus diganti rugi hingga tiga kali lipat. Kami belum bisa memberi insentif untuk mempertahankan lahan, tapi kami berupaya menerapkan sanksi tegas,” katanya.
Imran mengakui, dengan lahan yang cenderung tak bertambah, bahkan berkurang, pemerintah berupaya untuk mempertahankan posisi sebagai lumbung pangan dengan berbagai cara. Upaya ini misalnya dengan menggunakan bibit berkualitas, manajemen pengelolaan tanaman, dan memaksimalkan pengairan.
Baca juga: Petani yang Tak Putus Asa di Tengah Kemarau
”Kami punya program mandiri benih. Ini sebenarnya bukan hanya soal pembagian benih gratis, melainkan juga penyedianya benih berkualitas. Memang belum semua bisa dibagikan benih gratis. Tapi, kami selalu mengedukasi petani menggunakan benih berkualitas. Toh, di pasaran juga banyak yang bagus. Karena target kami tidak ada lagi sawah dengan produktivitas di bawah 5 ton per hektar,” katanya.
Sayangnya, kata Imran, di lapangan, banyak petani yang lebih memilih menggunakan benih yang ditangkarkan sendiri. Ini membuat benih yang digunakan kerap asalan dan hasilnya tak maksimal.
Padahal, di satu sisi, sektor pertanian khususnya padi juga menghadapi persoalan iklim. Seperti tahun ini, di saat kemarau panjang terjadi, Imran memprediksi produksi bisa berkurang.
Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Sumbangan Baja mengatakan, berbagai akumulasi persoalan ini menjadi ancaman bagi ketahanan pangan di masa depan. Hal itu jika tak ada upaya preventif dan cukup serius yang dilakukan.
”Luas sawah begitu-begitu saja, bahkan cenderung beralih fungsi. Produktivitas juga tak berubah signifikan. Anak-anak muda sebagian enggan jadi petani. Areal sawah banyak yang beralih fungsi. Sementara populasi penduduk kian bertambah. Ke depan, ini menjadi ancaman bagi ketahanan pangan,” katanya.
Menurut dia, mencegah alih fungsi lahan sebaiknya bukan hanya sebatas pemberian sanksi. Insentif juga diperlukan untuk menjadi daya tarik atau iming-iming agar petani mau mempertahankan lahannya.
”Insentif ini bisa dengan cara kemudahan memperoleh pupuk, benih bersertifikat, hingga sarana lainnya. Jika tidak, saya khawatir ke depan akan makin masif alih fungsi lahan ini. Apalagi, di masyarakat, kadang sangat mudah melepas sawah, bahkan yang kelas 1,” katanya.
Baca juga: Genjot Produksi Beras, Sulsel Siapkan 2.500 Ton Benih Padi Mandiri
Bendungan, menurut dia, memang menjadi upaya pemerintah mewujudkan sawah-sawah kelas 1. Namun, jika alih fungsi tak dilakukan, keberadaan bendungan ini, terutama yang sejak awal diperuntukkan untuk mengairi sawah, lama-kelamaan bisa sia-sia.
Di Sulsel terdapat beberapa bendungan yang di antaranya untuk mengairi sawah. Bendungan ini antara lain Bili-Bili, Karalloe, Jenelata, Kelara, Kampili, Bendungan Karet, Bissua, Ponre-Ponre, dan Passeloreng. Satu lagi yang akan segera dioperasikan adalah Bendungan Pamukkulu.
”Penggunaan benih bersertifikat juga perlu menjadi perhatian. Salah satu yang memengaruhi hasil adalah penggunaan benih yang bagus. Jika tidak, percuma saja, hasilnya bisa tak maksimal. Kami juga punya penelitian benih yang di antaranya untuk tahan terhadap iklim dan bisa panen lebih cepat. Jika pemerintah mau, pihak perguruan tinggi bisa bekerja sama,” katanya.
Beralih ke pisang
Penjabat Gubernur Sulsel Bahtiar Baharuddin memahami bagaimana kondisi sektor pangan, terutama padi, saat ini. Karena itu, sembari berupaya memaksimalkan produktivitas, dia juga melirik komoditas lain, yakni pisang. Tak sekadar sebagai akternatif pangan, pisang diyakini bisa menjadi sumber pendapatan baru.
”Saya orang Bone, terluas lahannya untuk padi. Setelah itu Wajo, Sidrap, dan Soppeng. Lahannya segitu-gitu saja. Jumlah petani berkurang, produksinya makin turun karena lahan makin tidak terlalu subur. Kalau mengharapkan itu saja, mau hidup dari mana lagi,” katanya.
Karena itu, ujarnya, harus ada sumber penghidupan atau pendapatan alternatif. Pisang adalah komoditas murah meriah, minim modal, dan mudah ditanam. Waktu untuk menghasilkan juga tak butuh lama. Apalagi, masyarakat sudah familiar. Itulah mengapa pisang kemudian menjadi salah satu program unggulannya selama menjabat.
Tidak tanggung-tanggung, Bahtiar menganggarkan Rp 1 triliun untuk pengembangan budidaya pisang di Sulsel. Targetnya ialah penanaman 1 miliar pisang di lahan seluas 500.000 ha. Penanaman akan dilakukan bertahap.
Memasuki usia lebih dari tiga abad, Sulsel terus berjibaku menjadi penghasil pangan. Tidak hanya padi, kini juga beralih ke pisang sebagai alternatif pangan.