Mendidik lewat kekerasan fisik dan verbal agar anak disiplin ternyata berdampak negatif pada tumbuh kembang. Anak menjadi trauma dan kreativitasnya menurun.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·4 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Sekolah di Indonesia, termasuk di Papua, seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi peserta didik. Kekerasan, perundungan, diskriminasi, dan intoleransi perlu ditekan sedini mungkin lewat edukasi menyeluruh kepada tenaga pendidik dan peserta didik.
”Budaya sekolah nyaman dan aman perlu terus didorong. Selama ini, terkhusus di Papua sendiri, budaya mendidik ’harus keras’ serta perilaku kekerasan dan bullying (perundungan) masih menjadi pembiaran di lembaga pendidikan. Perlu diingatkan, mendidik anak dengan kekerasan itu tidak tepat,” kata Aminuddin Mohammad Ramdan, Kepala Kantor Badan PP untuk Anak-anak (Unicef) Tanah Papua, di Jayapura, Minggu (19/11/2023).
Hal itu menjadi perhatian Unicef. Unicef bersama Lembaga Pelatihan dan Konsultan Inovasi Pendidikan Indonesia (LPKIPI), yang menjadi mitra Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), memberi penyuluhan disiplin positif dan antikekerasan di lembaga pendidikan. Baca juga: Kekerasan di Sekolah Jadi Alarm Keras Dunia Pendidikan
Berdasarkan hasil asesmen nasional 2022 ditemukan, peserta didik berpotensi mengalami bentuk kekerasan, seperti kekerasan seksual (34.51 persen), perundungan (36,31 persen), serta hukuman fisik (26,9 persen). Ramdan menyebut, data tersebut juga sejalan dengan yang terjadi di Papua, bahkan bisa saja lebih tinggi.
Sejak Agustus 2023, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Mendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP) untuk mencegah terjadi kekerasan di sekolah. Unicef dan LPKIPI bersama pemerintah daerah di Papua memberikan pelatihan kepada guru dan peserta didik mengenai disiplin positif dan pencegahan perundungan (roots).
”Kami sebelumnya sudah punya program roots dan telah terbukti efisien yang telah kami jalankan mandiri sejak 2017. Dengan Peraturan Mendikbudristek yang diterbitkan, kami melihat selaras dengan program kami sebelumnya sehingga bisa kami jalankan bersama,” ujarnya.
Di wilayah Papua, Unicef dan LPKIPI bekerja sama dengan pemerintah di tiga daerah, yakni Kabupaten Sarmi (Papua) serta Kabupaten Sorong dan Kota Sorong (Papua Barat Daya). Program pelatihan di tiga daerah yang menjadi percontohan tersebut berlangsung mulai Oktober 2023-Mei 2024.
Di Kabupaten Sarmi, sejak Oktober 2023, sebanyak 52 guru dari 13 sekolah jenjang menengah pertama dan menengah atas mengikuti penyuluhan tentang penerapan disiplin positif dan pencegahan perundungan di lingkungan sekolah. Selain guru dan siswa, pelatihan juga diberikan kepada instansi setempat untuk menjadi fasilitator.
Dengan program disiplin positif, ke depan tenaga pendidik mampu membimbing peserta didik dengan mengedepankan prinsip menghargai hak anak (empati), mendorong proses dialogis, melatih anak berpikir logis, mendidik anak untuk bertanggung jawab, serta mengembangkan perilaku positif anak lainnya.
”Tindakan dalam mendidik anak dengan kekerasan fisik ataupun verbal sebagai bentuk ’pendisiplinan’ ternyata berdampak negatif bagi perkembangan anak. Anak menjadi trauma, kreativitas anak menurun, dan lain-lain,” ucap Ramdan.
Budaya sekolah nyaman dan aman perlu terus didorong. Selama ini, terkhusus di Papua sendiri, budaya mendidik ’harus keras’ serta perilaku kekerasan dan bullying (perundungan) masih menjadi pembiaran di lembaga pendidikan.
Selain intervensi dari pihak guru, Unicef juga menjadikan peserta didik sebagai bagian penyebar lewat program roots. Anak dibekali pemahaman untuk menyebarkan pesan dan perilaku baik di antara teman sebayanya. Dengan begitu, anak-anak diharapkan menjadi lebih mengenal dan paham tentang perundungan karena mendapatkan informasi langsung dari teman bermainnya.
”Intervensi berbasis roots telah dijalankan di beberapa negara dan juga sudah pernah diuji coba di beberapa sekolah di Indonesia yang telah berhasil mengurangi perundungan hingga 30 persen setelah program ini dilakukan,” tutur Ramdan.
Kepala Kelompok Kerja Publikasi, Komunikasi, dan Advokasi Kebijakan Merdeka Belajar Direktorat SMA Kemendikbudristek Fathnuryati Hidayah mengatakan, Permendikburistek No 46/2023 menjadi pendorong bagi daerah semakin memperbanyak fasilitator untuk mengimplementasikan disiplin positif dan pencegahan perundungan.
”Dengan begitu, kegiatan ini tidak berhenti di sini saja, tetapi akan berlanjut dengan prosedur dan rencana tindak lanjut yang telah tersusun,” katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sarmi Fransina D Padwa menyampaikan, pihaknya akan mendukung dan akan mereplikasi program ini ke seluruh sekolah di Sarmi. ”Kami akan mengawal perencanaan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) untuk keberlanjutan kegiatan ini, untuk diimplementasikan secara terus-menerus,” ujarnya.
Sekolah ramah anak
Di sisi lain, Ramdan berharap penerapan program ini bisa mengikis berbagai persoalan pendidikan di Papua yang cukup kompleks. Dengan begitu, sekolah ramah anak juga akan turut memberi kontribusi dalam mencapai status daerah layak anak.
Jika melihat catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, pada 2023 hanya ada satu daerah di Papua yang masuk dalam kategori kabupaten layak anak (KLA). Dari 360 kabupaten/kota yang masuk kriteria daerah layak anak di Indonesia, hanya Kabupaten Jayapura yang masuk kategori tersebut.
Adapun jika melihat data Badan Pusat Statistik, angka partisipasi sekolah (APS) di Papua terbilang rendah, bahkan terendah di Indonesia. Pada 2022, angka APS usia 13-15 tahun sebesar 81,66 persen dan usia 16-18 sebesar 65,93 persen. Angka tersebut berada di bawah rata-rata nasional, APS usia 13-15 tahun (95,92 persen) dan usia 16-18 (73,15 persen).
”Masalah pendidikan di Papua sangat kompleks, mulai dari kondisi geografis, fasilitas, hingga jumlah guru. Dengan demikian, persoalan kekerasan dan perundungan perlu dikikis untuk menjaga kualitas dan angka partisipasi pendidikan anak Papua,” katanya.