Kekerasan di Sekolah Jadi Alarm Keras Dunia Pendidikan
Regulasi untuk mencegah dan mengatasi kekerasan di sekolah sudah ada, tetapi penerapannya masih lemah.
JAKARTA, KOMPAS — Runtutan kekerasan di lingkungan sekolah atau yang melibatkan guru dan siswa masih terus terjadi. Fenomena ini seolah tidak dapat dihentikan. Kondisi ini harus menjadi alarm keras bagi pendidikan nasional. Kesadaran tentang nilai-nilai kemanusiaaan perlu dikembangkan lebih serius.
Beragam peristiwa kekerasan dengan korban atau pelaku siswa, guru, maupun wali murid menjadi perhatian publik belakang ini. Beberapa di antaranya kekerasan antarpelajar di Gresik yang diduga dilakukan oleh kakak kelas sehingga mengakibatkan kebutaan seorang siswa SD. Ada juga video kekerasan pelajar SMP di Cilacap, Jawa Tengah, di mana korban perundungan dipukul, diseret, dan diinjak rekannya.
Selain itu, ada juga kekerasan yang menimpa guru yang dilakukan siswa. Seorang siswa Madrasah Aliyah, AR, di Demak, Jawa Tengah, menganiaya gurunya karena dilarang ikut ujian tengah semester. Akibat kejadian ini guru mengalami luka serius dan sekolah sempat diliburkan guna mencegah trauma di kalangan siswa.
Kekerasan terhadap guru juga terjadi di SMAN 7 Rejang Lebong, Bengkulu. Guru dikatapel oleh seorang wali murid karena tidak terima anaknya ditegur setelah kedapatan merokok di lingkungan sekolah. Akibat kejadian tersebut guru mengalami kebutaan permanen dan trauma mengajar di sekolah yang sama.
Permendikbudristek PPKSP seolah macan kertas, galak di tulisan, tetapi lemah dalam implementasi di sekolah.
Direktur Eksekutif Yayasan Cahaya Guru (YCG) Muhammad Mukhlisin di Jakarta, Jumat (29/9/2023), mengatakan segala bentuk kekerasan dalam hal apa pun, tidak pernah dibenarkan. Apalagi bila kekerasan itu terjadi di dunia pendidikan. Ia menyarankan pemerintah perlu mendalami lebih jauh penyebab kekerasan-kekerasan yang masih terjadi di dunia pendidikan.
Menurut Mukhlisin, YCG mencatat sejak awal 2023 hingga sekarang telah terjadi 93 kasus kekerasan di lingkungan sekolah. Bentuknya mulai dari diskriminasi, intoleransi, kekerasan fisik, perundungan, kekerasan seksual, hingga bentuk lain.
”Kami mengamati, kasus-kasus kekerasan terjadi di berbagai jenis dan jenjang sekolah, bahkan (di) sekolah keagamaan yang cenderung dominan mengajarkan nilai-nilai moral. Di beberapa daerah, kekerasan masih membudaya dan dianggap sebagai bagian dari proses pendidikan. Untuk mengubah budaya seperti ini tentu tidak mudah. Tidak cukup dengan menerbitkan regulasi. Perlu upaya serius dan terus menerus,” kata Muklisin
YCG mendorong agar penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan sejak dini diperkuat di lingkungan sekolah. ”Kesadaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan, penting sekali dikembangkan sejak dini di sekolah. Bahkan, untuk seluruh stakeholder pendidikan. Regulasi akan melindungi ekosistem pendidikan jika kesadaran murid, guru, wali murid dan seluruh stakeholder sudah terbangun. Pengalaman kami, penyadaran seperti ini tentu tidak bisa dilaksanakan secara instan, butuh waktu dan proses panjang,” kata Mukhlisin.
Secara terpisah, Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim menyampaikan sekolah seharusnya menjadi ekosistem yang nyaman, sehat, berpihak kepada tumbuh kembang anak, serta aman bagi seluruh warga sekolah. Namun, dari data Rapor Pendidikan yang baru dirilis Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menunjukkan indikator iklim keamanan sekolah sedang menurun. Penurunan hampir tiga poin untuk jenjang SMP yang semula 68,25 dan sekarang 65,29. Lalu penurunan drastis lima poin lebih jenjang SMA, semula 71,96 dan sekarang 66,87.
Baca Juga: Nadiem Makarim: Ada Pandemi yang Lebih Besar di Sekolah, yaitu Kekerasan
”Runtutan kekerasan terus terjadi di sekolah, seminggu ini sudah ada tiga kasus. Seakan kekerasan tak dapat distop, lagi-lagi siswa dan guru jadi korban, ini jadi alarm keras bagi pendidikan nasional,” ujar Satriwan.
Regulasi kekerasan lemah di implementasi
Satriwan mengharapkan seiring keluarnya Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP) pada Agustus 2023, mampu mencegah terjadi kekerasan di sekolah. Namun, yang terjadi malah sebaliknya.
Satriwan Salim
”Permendikbudristek PPKSP seolah macan kertas, galak di tulisan, tetapi lemah dalam implementasi di sekolah,” lanjut Satriwan.
Hal senada disampaikan Mukhlisin. Meskipun ia menyambut baik regulasi Permendikbudristek tentang PPKSP, implementasi di lapangan perlu menyinergikan berbagai pihak, terutama sekolah, keluarga, dan masyarakat.
Menurut Satriwan, Kemendikbudristek jangan hanya berhenti dengan membuat Permendikbudristek tentang PPKSP, tetapi menyosialisasikan kepada semua stakeholder pendidikan mulai dari dinas pendidikan, pengawas sekolah, organisasi profesi guru, orangtua, dan siswa secara berjenjang. Hal ini perlu diiringi dengan paradigma disiplin positif dan pelatihan keterampilan teknis bagi guru serta kepala sekolah guna pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah.
Baca Juga: Minim Empati Menjadi Gerbang Awal Perilaku Perundungan Anak
Kepala Bidang Advokasi Guru P2G Iman Zanatul Haeri mengatakan seminggu ini dunia pendidikan sedang berkabung. ”Indikasi kuat sekolah belum memahami Permendikbudristek PPKSP,” katanya.
Berdasarkan pantauan dan laporan jaringan P2G, Permendikbudristek tentang PPKSP tidak banyak diketahui guru, siswa, dan orangtua. PPKSP belum disosialisasikan optimal oleh Kemendikbudristek dan dinas pendidikan sampai ke level pengawas, kepala sekolah, guru, orangtua, dan siswa.
Asisten Administrasi dan Kesejahteraan Rakyat Kota Jakarta Timur Ari Sanjaya saat membuka kegiatan sosialisasi pencegahan kekerasan terhadap anak di sekolah, Senin (25/2/2019), di Jakarta Timur.
”Permendikbud PPKSP belum mampu mencegah dan menanggulangi kekerasan di sekolah. Sangat disayangkan sekolah belum menyadari adanya aturan ini,” kata Iman.
Selama ini, lanjut Iman, sekolah hanya berhenti pada aksi ”Deklarasi Anti-Perundungan” atau ”Deklarasi Sekolah Ramah Anak” yang menjadi sekadar jargon . Pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Sekolah (TPPK) sebagai garda terdepan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah masih minim.
Penguatan karakter siswa lewat Profil Pelajar Pancasila yang berisi nilai-nilai karakter baik dalam Kurikulum Merdeka belum diaktualisasikan dengan komprehensif oleh sekolah. Profil Pelajar Pancasila dimaknai sebatas ”proyek” kegiatan sekolah untuk memenuhi administrasi kurikulum. Dimensi nilai karakter Profil Pelajar Pancasila belum terinternalisasi dan belum menjadi habitus pembentuk ekosistem budaya sekolah.
Baca Juga: Viral Perundungan Pelajar Cilacap, Momentum Introspeksi Diri Semua Pihak
Sementara itu, guru Madrasah Ibtidaiyah Negeri 1 Subang, Jawa Barat, Khaerul Anam, menuturkan saat ini tantangan sebagai guru semakin tinggi. Dia berharap organisasi guru dan pemerintah memperkuat perlindungan terhadap profesi guru.
”Guru perlu membangun komunikasi dan pendekatan intensif kepada siswa. Begitu juga dengan penanaman nilai-nilai moral, saling menghargai juga perlu terus dikembangkan dengan dasar kemanusiaan. Interaksi guru ke murid tidak sebatas pada proses pengajaran, tapi interaksi yang membangun nilai-nilai dasar kehidupan masyarakat,” kata Khaerul.
Merasa aman di sekolah
Sebelumnya, Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim mengatakan tidak ada artinya transformasi pendidikan dengan meningkatkan mutu guru hingga perubahan kurikulum jika anak-anak tidak merasa aman di lingkungan satuan pendidikan. ”Salah satu syarat pembelajaran adalah perasaan aman. Tanpa ini, tidak ada pembelajaran berkualitas. Jadi, kalau kita tidak menyelesaikan masalah kekerasan, (kita) tidak bisa menyelesaikan masalah ketertinggalan literasi dan numerasi. Penyelesaian ini juga harus dilakukan bersama-sama,” katanya.
Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim memaparkan aturan baru pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan berdasarkan Permendikbudrisetk No 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan di peluncuran Merdeka Belajar Episode 25 di Jakarta, Selasa (8/8/2023).
Permendikbudristek PPKSP disahkan sebagai payung hukum untuk semua warga sekolah atau satuan pendidikan. Peraturan ini lahir sebagai bentuk ketegasan semua pihak dalam menangani dan mencegah terjadinya kekerasan seksual, perundungan, serta diskriminasi dan intoleransi. Selain itu, regulasi ini untuk membantu satuan pendidikan dalam menangani kasus-kasus kekerasan yang mencakup kekerasan daring, psikis, dan lainnya yang berperspektif pada korban.
Baca Juga: Standar Pendidikan Nol Kekerasan
Permendikbudristek PPKSP, kata Nadiem, menghilangkan area abu-abu dengan memberikan definisi yang jelas untuk membedakan bentuk kekerasan fisik, psikis, perundungan, kekerasan seksual, serta diskriminasi dan intoleransi dalam mencegah dan menangani kasus-kasus kekerasan. Selain mengatur tindakan kekerasan, permendikbudristek ini juga memastikan tidak adanya kebijakan yang berpotensi menimbulkan kekerasan di satuan pendidikan.
Baca Juga: Murid Aniaya Guru di Demak, Indikasi Perlunya Fasilitas Konseling di Sekolah