Viral Perundungan Pelajar Cilacap, Momentum Introspeksi Diri Semua Pihak
Perilaku anak melakukan perundungan merupakan manifestasi dari yang selama ini dia lihat, dia dengar, dan dia rasakan. Jika perundungan ingin distop, saatnya para pihak introspeksi diri.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F05%2F13%2Fa4a48933-6ed1-4e7c-9b33-2b65e33df665_jpg.jpg)
Gumpalan awan tampak menaungi langit Cilacap, Jawa Tengah, Rabu (4/5/2022).
Video perundungan terhadap seorang pelajar SMP di Cilacap berseliweran di media sosial. Video berdurasi 4 menit 15 detik itu memperlihatkan sekelompok pelajar berbaju biru dan bercelana panjang putih menyaksikan rekannya dipukuli dan diseret tanpa berani melawan.
Video itu beredar luas, mulai dari grup Whatsapp, Instagram, hingga Twitter sepanjang Selasa-Rabu (26-27/9/2023). Menyulut amarah publik yang sulit menerima kekerasan yang telah terjadi.
Pukulan itu meyasar kepala, leher, punggung, dada serta tendangan di perut, pinggul bertubi-tubi kepada korban. Korban tak berani melawan. Hanya sanggup menutupi kepalanya dengan tangan dan memegang bagian tubuhnya yang dihujani tendangan. Wajahnya tampak kepayahan menahan sakit.
Sejumlah teman berusaha menolongnya dengan memberikan potongan kayu dan bambu serta pecahan batok kelapa untuknya melawan. Namun, korban menjauhkannya. Setelah tersungkur tak berdaya, si pelaku melakukan selebrasi dengan mengangkat lalu menyilangkan kedua tangan bergaya di depan kamera.
”Misahken aing, gelut sama aing kabehan (memisahkan aku, berkelahi sama aku semuanya),” kata pelaku bertopi hitam kepada teman-temannya yang hendak menghentikan aksinya.

Seorang anak dibonceng ibunya melintasi mural bertema hentikan perundungan di Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara, Minggu (2/1/2022).
Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Cilacap telah menangkap dan menetapkan pelaku sebagai tersangka. Keduanya berinisial MK (15) dan WS (14) merupakan pelajar menengah pertama di Cimanggu, Cilacap.
”Kedua (pelaku) sudah tersangka. Kami masih menganalisis (tersangka lain),” kata Komisaris Guntar Arif Setiyoko, Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Cilacap, dihubungi dari Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Jumat (29/9/2023).
Adapun kondisi korban perundungan berinisial FF kini dirawat intensif di RSUD Margono, Purwokerto. Ia mengalami sesak napas dan patah tulang rusuk.
Baca juga: Viral Perundungan Pelajar di Cilacap, Program Pembinaan Siswa Dievaluasi
Guntar menyampaikan, keterangan para saksi memperkuat barang bukti video. Pihaknya juga telah menerima hasil visum luka-luka korban. Atas bukti-bukti itu, kedua tersangka dijerat pasal berlapis, yaitu Pasal 80 Undang-Undang Sistem Peradilan Anak dengan ancaman 3,5 tahun penjara serta Pasal 170 KUHP.
Kepala Kepolisian Resor Kota Cilacap Komisaris Besar Fannky Ani Sugiharto menyebutkan latar belakang terjadinya perundungan itu. Awalnya, korban mengaku sebagai anggota geng lain. Pengakuan itu membuat pelaku sebagai ketua geng tidak terima lalu menganiaya korban. ”Sebelum viralnya video, sudah kami amankan lima orang. Dua terduga pelaku dan tiga saksi,” ujarnya.

Ilustrasi
Berdasarkan data di Pusat Pelayanan terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Citra Kabupaten Cilacap, pada 2019 ada 70 kasus kekerasan terhadap anak. Jumlah korban 87 anak. Lalu, pada 2020, ada 76 kasus dengan korban 127 anak (Andrianto, 2022).
Baca juga: Pekerjaan Rumah Mencegah Berulangnya Kekerasan Seksual di Banyumas
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cilacap Sadmoko Danardono mengatakan berupaya mengevaluasi program-program pembinaan terhadap peserta didik, mulai dari SD hingga SMP untuk mencegah terjadinya kasus ini. Kerja sama dan komunikasi berbagai elemen diperkuat supaya kenakalan remaja tidak berkembang menjadi kelompok atau geng anak-anak yang berpotensi mengarah kepada kriminalitas.
Pihaknya mengevaluasi lebih intens terkait antisipasi perundungan. Akan diterapkan beragam metode penanganan. Di antaranya pendekatan lewat seni. ”Juga dibangun komunikasi antara siswa, guru, kepala sekolah, orangtua, juga masyarakat agar lahir tanggung jawab bersama untuk mendidik putra-putri kita,” kata Sadmoko.
Sadmoko menyebutkan, peristiwa yang terjadi pada Senin (25/9/2023) sore itu terjadi bukan di lingkungan sekolah. Korban berusia 14 tahun dan duduk di bangku kelas VIII SMP. Pelaku merupakan kakak kelasnya. Salah satu pelaku, lanjut Sadmoko, diketahui sudah tiga kali pindah sekolah karena kenakalannya.
Pengajar Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Tri Wuryaningsih mengatakan, kasus kekerasan termasuk perundungan di kalangan anak-anak harus dilihat komprehensif. ”Perilaku anak itu adalah manifestasi dari apa yang secara intens dia lihat, dia dengar, dia rasakan,” kata Tri.

Tim Satgas Anti-Bullying Sekolah Dasar Negeri Tenggulunan, Candi, Sidoarjo, saat sosialisasi kepada siswa baru, Selasa (18/7/2023). Antiperundungan menjadi salah satu materi yang diberikan pada masa pengenalan lingkungan sekolah.
Tri mengatakan, perilaku agresif pada anak perlu dilihat bagaimana si anak dibesarkan dalam keluarganya. ”Kalau anak tumbuh dibesarkan dengan kekerasan, dia pun punya manifestasi perilaku dengan kekerasan,” katanya. Selain itu, ia melihat sekolah gagal menanamkan nilai budi pekerti.
Menurut Tri, penekanan akan sekolah ramah anak sudah lama digaungkan. Seharusnya itu bisa efektif menanamkan nilai toleransi, antiperundungan, nilai cinta kasih, saling menghormati, dan nilai kepedulian sosial. Implementasinya harus integratif dalam proses belajar mengajar.
Selain di sekolah, penerapan di desa-desa dikembangkan lewat amanah desa ramah anak. Namun, kenyataannya masih banyak desa mengesampingkan hal-hal itu.
Baca juga: Begal Siram Wajah Korban dengan Cabai
Peristiwa perundungan ini harus jadi momentum bagi para pihak menginstrospeksi diri. Di desa, misalnya, perlu disediakan ruang-ruang publik ramah anak. Di antaranya lewat penyediaan lapangan olahraga atau taman bermain dan berkesenian. Itu supaya agresivitas anak dan remaja tersalurkan secara positif.
Para remaja di usia belasan sedang agresif-agresifnya. Jika tidak ada ruang untuk mengekspresikan energi agresifnya itu melalui aktivitas postif, dikhawatirkan berdampak negatif. ”Akan larinya jadi geng, membuat grup. Sementara bagi remaja yang sedang cari jati diri, mereka disebut keren jika pemberani, berani gelut, dan ditakuti,” paparnya.
Tri juga menyoroti betapa mudahnya orang-orang membagikan video kekerasan tersebut di media sosial. Secara tidak langsung, mereka telah mendistribusi serta mereproduksi kekerasan. Ia pun mengajar para pihak menahan diri untuk tidak turut menjadi agen reproduksi kekerasan. ”Mari, kita introspeksi bersama. Apa ada yang salah dengan kita, orangtua, sekolah, teman-teman media, dan pemerintah. Kita sedang dalam kondisi tidak sedang baik-baik saja,” kata Tri.