Pekerjaan Rumah Mencegah Berulangnya Kekerasan Seksual di Banyumas
Kekerasan seksual terus berulang di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Butuh gerakan bersama yang komprehensif dari hulu ke hilir untuk menyelamatkan generasi penerus bangsa ini.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·5 menit baca
Pemerkosaan terhadap anak di bawah umur yang dilakukan delapan lelaki di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, mewarnai pemberitaan pada awal tahun ini. Peristiwa keji itu menambah daftar panjang kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. Butuh upaya pencegahan komprehensif untuk memutus lingkaran setan kekerasan seksual yang mengancam generasi emas bangsa.
Kasus pemerkosaan itu menimpa AZ (12), siswi kelas 1 SMP di Banyumas. Dia diperkosa delapan lelaki pada kurun waktu November-Desember 2022. Hingga Rabu (18/1/2023), Kepolisian Resor Kota Banyumas telah menahan lima dari delapan pelaku pemerkosaan itu. Para pelaku merupakan tetangga korban di daerah Patikraja, Banyumas.
Empat dari delapan pelaku merupakan orang lanjut usia. Para pelaku itu membujuk korban dengan uang Rp 20.000 sampai Rp 50.000 lalu memperkosa korban di waktu dan tempat berbeda, mulai dari rumah pelaku, hotel, hingga kuburan. Akibatnya, korban hamil 12 minggu dan dikeluarkan dari sekolah.
Pengajar Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Tri Wuryaningsih, menyatakan, kasus itu menjadi keprihatinan bersama. Apalagi, kasus kekerasan seksual terhadap anak terus berulang.
Untuk mencegah berulangnya kekerasan seksual, Tri menyebut, dibutuhkan sejumlah upaya. Salah satunya adalah pembekalan pendidikan seksual sejak dini kepada anak. Pengawasan optimal dari orangtua juga dibutuhkan. Selain itu, peran serta lembaga di masyarakat, misalnya pemerintah desa, pengurus RT/RW, dan lainnya, juga sangat penting.
Tri memaparkan, apa pun alasannya, tindakan persetubuhan orang dewasa terhadap anak merupakan bentuk kekerasan seksual dan melanggar hukum. Namun, sebagian pihak masih menganggap bahwa persetubuhan semacam itu tidak melanggar hukum jika didasari suka sama suka.
”Untuk kasus di Patikraja ini, disinyalir korban ada kecenderungan kecanduan seks,” tutur Tri.
Tri mengatakan, anak-anak dan remaja cukup rentan terhadap kekerasan seksual karena mereka terancam dari berbagai sisi, misalnya konten yang mereka konsumsi di gawai, lingkup pergaulan dengan teman sebaya, serta masyarakat sekitar.
Minggu (22/1/2023) sore, Kompas menyaksikan sendiri perilaku tidak lazim tiga remaja berusia awal belasan tahun yang sedang berenang di salah satu kolam renang di Purwokerto. Kolam renang yang buka pukul 07.00 dan tutup pukul 18.00 ini sudah mulai sepi sekitar pukul 17.00. Saat itu, pengunjung tidak lebih dari 10 orang.
Tiga remaja tadi terdiri dari dua laki-laki dan satu perempuan. Setelah berenang dan bermain-main air, mereka bertiga membilas diri bersama di pancuran terbuka di ujung kolam renang. Ketiganya berbagi sampo untuk keramas dan sabun untuk membilas tubuh.
Dalam waktu sekitar 20 menit di bawah kucuran air, mereka saling bercanda. Namun, salah satu remaja laki-laki mulai menunjukkan tindakan tidak lazim. Dia memasukkan tangannya ke dalam celana renang dan tampak mencuci kelaminnya dengan sabun di depan teman perempuannya.
Bahkan, meski sambil memalingkan diri ke tembok, dia kemudian kencing di balik celana renangnya. Si teman laki-lakinya berteriak jijik, tetapi dia malah tertawa lebar. Setelah kencing, si remaja laki-laki itu lalu menggosok-gosokkan alat kelaminnya dari luar celana renang.
Sementara itu, saat si remaja putri masuk ke toilet perempuan, kedua remaja laki-laki itu justru menggoda dengan seolah-olah menahan pintu toilet, lalu mendorong untuk membukanya. Sang remaja putri sambil senyum-senyum akhirnya memilih ruang ganti wanita untuk bersalin pakaian.
Apa pun alasannya, tindakan persetubuhan orang dewasa terhadap anak merupakan bentuk kekerasan seksual dan melanggar hukum.
Pemaknaan jender
Penelitian Tri Wuryaningsih, Arizal Mutahir, dan Ratna Dewi berjudul ”Citra Diri Maskulin Para Pelaku Kejahatan Seksual Terhadap Anak, Studi Kasus di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah” yang dimuat di jurnal Palastren pada 2019 menemukan, tindakan seksual para pelaku kejahatan seksual tidak dapat dilepaskan dari pemaknaan mereka tentang jender dan seksualitas.
Dalam keseharian, laki-laki sering dianggap sebagai sang penakluk dan pemangsa. Adapun perempuan kerap dimaknai sebagai pihak yang ditundukkan atau obyek seksual.
Dalam penelitian itu, ada dua orang yang menjadi partisipan. Yang pertama adalah DR (17) yang pada tahun 2016 dilaporkan ke Polresta Banyumas karena melakukan persetubuhan terhadap pacarnya yang berusia 16 tahun di hotel. Yang kedua adalah HA (16) yang bersama dua temannya melakukan persetubuhan terhadap gadis berusia 14 tahun.
Dalam penelitian itu, DR menyebut, persetubuhan terhadap pacaranya yang berinisial Idr itu bukanlah kekerasan seksual karena dilatarbelakangi suka sama suka. DR juga mengklaim, dirinya tidak pernah memaksa atau mengancam sang pacar.
”Saya tidak melakukan pemaksaan atau mengancam walaupun sebelumnya saya berkali-kali merayunya untuk melakukan itu. Awalnya Idr tidak mau karena takut hamil. Lalu saya menjawab, nek hamil gampang, mengko tak nikah (kalau hamil gampang, nanti saya nikahi),” kata DR dalam penelitian tersebut.
Sementara itu, HA menyetubuhi gadis berusia 14 tahun bersama teman-temannya karena si gadis itu dikenal sering nongkrong dengan teman laki-laki. Perempuan itu juga mengonsumsi pil koplo dan dicap sebagai perempuan gampangan.
Baik DR maupun HA sama-sama sudah terbiasa mengonsumsi tontonan pornografi di usia belasan tahun. Bahkan, DR juga dilaporkan ke polisi oleh orangtua korban karena menyebarluaskan foto bugil Idr di media sosial.
Berdasarkan catatan Kompas, beberapa kali terjadi kasus kekerasan seksual terhadap anak yang menggemparkan di Banyumas. Salah satunya adalah kasus pelecehan seksual terhadap dua remaja laki-laki yang masih duduk di bangku SMP oleh seorang pria.
Sebelum pelecehan seksual itu terjadi, korban sering bermain ke rumah kontrakan pelaku untuk memakai fasilitas internet. Korban lalu diiming-imingi uang Rp 50.000 dan dilecehkan secara seksual.
Pada September 2022, seorang remaja putri dengan keterbelakangan mental berinisial FT (15) juga menjadi korban pemerkosaan oleh sembilan tetangganya yang sebagian besar sudah berusia lanjut. Sebelum melakukan tindakan bejat itu, pelaku merayu korban dengan iming-iming uang Rp 20.000 sampai Rp 50.000. Akibatnya, korban kemudian hamil.
Mengutip data dari laman Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak, pada Januari 2023, terdapat 1.349 kasus kekerasan di Indonesia. Dari jumlah itu, ada 197 korban laki-laki dan 1.225 korban perempuan. Di Banyumas, tercatat ada 25 kasus kekerasan atau tertinggi kedua se-Jawa Tengah setelah Magelang dengan 68 kasus.
Bupati Banyumas Achmad Husein mengatakan, diperlukan gerakan bersama untuk mengatasi permasalahan kekerasan seksual ini. Husein pun berjanji segera mengumpulkan instansi terkait untuk membahas dan mencari solusi demi memperkuat kembali komitmen perlindungan pada anak.
”Apa pun kondisinya, kita harus segara mulai. Kekerasan seksual terhadap anak tidak boleh terjadi di Banyumas,” kata Husein.