Nadiem Makarim: Ada Pandemi yang Lebih Besar di Sekolah, yaitu Kekerasan
Kekerasan di sekolah harus diakhiri. Anak-anak memiliki hak untuk belajar dalam ruang yang aman, nyaman, dan bahagia. Komitmen semua pihak dinanti.
Sekolah semestinya menjadi ruang aman bagi anak. Akan tetapi, kasus kekerasan di sekolah terus terjadi. Pelakunya bisa siapa saja, mulai dari kepala sekolah, guru, siswa, hingga orangtua.
Kekerasan di sekolah yang belakangan menyita perhatian dilakukan seorang guru berinisial RR EWP yang mencukur paksa rambut dari 19 siswi kelas IX SMPN 1 Sukodadi, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, Rabu (23/8/2023). Alasannya, belasan siswi didapati tidak mengenakan ciput atau bagian dalam kerudung.
Pascakejadian, Dinas Pendidikan Lamongan langsung membebastugaskan EWP dari tugas mengajar sampai waktu yang belum ditentukan. Kepala Dinas Pendidikan Lamongan Munif Syarif, Rabu (30/8/2023), mengatakan, guru pencukur paksa sementara dicabut kewenangannya mengajar. Guru itu ditarik ke dinas sebagai staf untuk pembinaan dalam waktu yang belum ditentukan.
Munif mengakui, tindakan itu mengagetkan dan meninggalkan trauma bagi siswi yang terkena cukur paksa. Selain itu, tindakan itu memunculkan polemik di antara tenaga pendidik karena di SMP Negeri 1 Sukodadi tidak ada peraturan tertulis yang mewajibkan siswi memakai ciput. Para siswi yang dicukur paksa mengadu kepada orangtua dan keluarga, yang kemudian mempermasalahkan aksi guru tersebut.
Kepala SMP Negeri 1 Sukodadi Harto mengatakan, pihaknya telah meminta psikolog untuk membantu penanganan trauma para siswi yang terkena cukur paksa. Selain itu, EWP telah dipanggil ke dinas bersama kepala sekolah dan guru Bimbingan Konseling untuk diingatkan kembali agar tidak menempuh cara-cara tidak simpatik dalam proses belajar-mengajar.
”(Cukur paksa) Itu tindakan salah. Kami sudah laporkan ke dinas dan guru itu telah ditarik untuk pembinaan,” kata Harto.
Sekolah meminta maaf kepada orangtua dan semua sivitas sekolah sekaligus berusaha mencegah kejadian serupa agar tindakan kekerasan terhadap siswa siswi tidak berulang di masa depan.
Baca juga : Guru Mencukur Paksa Siswi Indikasi Pendidikan dengan Kekerasan
Ternyata, kasus kekerasan di sekolah dengan pelaku guru hanya salah satu kasus yang kemudian viral. Berdasarkan informasi dari Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, ada ratusan kasus dari Januari hingga Agustus 2023 yang masuk ke Kemendikbudristek untuk ditangani melalui mekanisme investigasi dan penerapan sanksi sesuai peraturan.
Darurat kekerasan
Inspektur Jenderal Kemendikbudristek Chatarina Muliana Girsang di Jakarta, Jumat (1/9/2023), mengatakan, Kemendikbudristek terus bergerak dan bertindak tegas untuk memastikan implementasi kebijakan Peraturan Mendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan atau PPKSP. Permendikbudristek ini memperbarui peraturan sebelumnya untuk memastikan pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan benar-benar dijalankan semua pihak, mulai dari pemerintah daerah, satuan pendidikan, hingga masyarakat.
Menurut Chatarina, sekolah sudah mengalami darurat kekerasan. ”Ini jadi alarm bahwa masalah kekerasan di sekolah bukan masalah biasa, tapi luar biasa,” ucapnya.
Baca juga : Mengakhiri Kekerasan di Sekolah
Sebelumnya, Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim dalam acara peluncuran Merdeka Belajar Episode 25 bertajuk ”Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan” mengatakan, ada pandemi yang lebih besar dan menyebar dalam skala lebih besar dan jumlah korban anak yang lebih banyak.
”Pandemi itu adalah kekerasan. Tapi, masalah ini tidak dibicarakan di tingkat sekolah dan daerah, hanya muncul di permukaan jika ada kasus dan viral di media sosial. Setelah itu, tidak lagi dibahas dan ditangani dengan serius,” katanya.
Menurut Nadiem, tidak ada artinya transformasi pendidikan dengan meningkatkan mutu guru hingga perubahan kurikulum jika anak-anak tidak merasa aman di lingkungan satuan pendidikan. ”Salah satu syarat pembelajaran adalah perasaan aman. Tanpa ini, tidak ada pembelajaran berkualitas. Jadi, kalau kita tidak menyelesaikan masalah kekerasan, (kita) tidak bisa menyelesaikan masalah ketertinggalan literasi dan numerasi. Penyelesaian ini juga harus dilakukan bersama-sama,” kata Nadiem.
Berdasarkan data survei Asesmen Nasional (AN) tahun 2022, sebanyak 34,51 persen peserta didik atau 1 dari 3 peserta didik berpotensi mengalami kekerasan seksual. Lalu, 26,9 persen peserta didik (1 dari 4 peserta didik) berpotensi mengalami hukuman fisik, dan 36,31 persen (1 dari 3 peserta didik) berpotensi mengalami perundungan.
Permendikbudristek PPKSP disahkan sebagai payung hukum untuk semua warga sekolah atau satuan pendidikan. Peraturan ini lahir sebagai bentuk ketegasan semua pihak dalam menangani dan mencegah terjadinya kekerasan seksual, perundungan, serta diskriminasi dan intoleransi. Selain itu, untuk membantu satuan pendidikan dalam menangani kasus-kasus kekerasan yang terjadi, mencakup kekerasan daring, psikis, dan lainnya yang berperspektif pada korban.
”Permendikbudristek PPKSP melindungi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan dari kekerasan yang terjadi saat kegiatan pendidikan, baik di dalam maupun di luar satuan pendidikan,” ujarnya.
Permendikbudristek PPKSP, kata Nadiem, menghilangkan area abu-abu dengan memberikan definisi yang jelas untuk membedakan bentuk kekerasan fisik, psikis, perundungan, kekerasan seksual, serta diskriminasi dan intoleransi dalam mencegah dan menangani kasus-kasus kekerasan. Selain mengatur tindakan kekerasan, permendikbudristek ini juga memastikan tidak adanya kebijakan yang berpotensi menimbulkan kekerasan di satuan pendidikan.
”Peraturan yang baru ini juga tegas menyebutkan bahwa tidak boleh ada kebijakan yang berpotensi menimbulkan kekerasan, baik dalam bentuk surat keputusan, surat edaran, nota dinas, imbauan, instruksi, pedoman, dan lain-lain,” ucapnya.
Satuan pendidikan juga diamanatkan membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK), sedangkan pemerintah provinsi serta kabupaten/kota membentuk satuan tugas (satgas). Tim dibentuk 6-12 bulan setelah peraturan ini disahkan agar kekerasan di satuan pendidikan dapat segera tertangani.
Memahami kekerasan
Dalam permendikbudristek ini, penjabaran tentang kekerasan kini lebih jelas. Kekerasan dapat terjadi secara fisik, verbal, nonverbal, dan/atau melalui media teknologi informasi dan komunikasi (termasuk daring).
Kekerasan terdiri atas enam bentuk yang dipaparkan dengan rinci. Kekerasan fisik dilakukan oleh pelaku kepada korban dengan kontak fisik oleh pelaku kepada korban dengan atau tanpa menggunakan alat bantu.
Kekerasan fisik yang dimaksud dapat berupa tawuran atau perkelahian massal, penganiayaan, perkelahian, eksploitasi ekonomi melalui kerja paksa untuk memberikan keuntungan ekonomi bagi pelaku, pembunuhan, dan/atau perbuatan lain yang dinyatakan sebagai kekerasan fisik dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Adapun kekerasan psikis adalah setiap perbuatan nonfisik yang dilakukan dengan tujuan untuk merendahkan, menghina, menakuti, atau membuat perasaan tidak nyaman. Kekerasan psikis yang dimaksud dapat berupa pengucilan, penolakan, pengabaian, penghinaan, penyebaran rumor, panggilan yang mengejek, intimidasi, teror, perbuatan mempermalukan di depan umum, pemerasan, dan/atau perbuatan lain yang sejenis.
Sementara itu, perundungan merupakan kekerasan fisik dan/atau kekerasan psikis sebagaimana dijelaskan sebelumnya yang dilakukan secara berulang karena ketimpangan relasi kuasa. Perundungan yang dimaksud dapat berupa penganiayaan, pengucilan, penolakan, pengabaian, penghinaan, penyebaran rumor, panggilan yang mengejek, intimidasi, teror, perbuatan mempermalukan di depan umum, pemerasan, dan/atau perbuatan lain yang sejenis.
Kekerasan seksual merupakan setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau jender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilangnya kesempatan melaksanakan pendidikan dan/atau pekerjaan dengan aman dan optimal.
Kekerasan seksual yang dimaksud dapat berupa penyampaian ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas jender korban; perbuatan memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja; penyampaian ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada korban; perbuatan menatap korban dengan nuansa seksual dan/atau membuat korban merasa tidak nyaman.
Kekerasan seksual juga dapat berupa pengiriman pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada korban; perbuatan mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual; perbuatan mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual.
Bentuk kekerasan seksual lainnya berupa penyebaran informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual; perbuatan mengintip atau dengan sengaja melihat korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi; perbuatan membujuk, menjanjikan, atau menawarkan sesuatu korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual.
Selain itu, kekerasan seksual juga dapat berupa pemberian hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual; perbuatan menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium, dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban; perbuatan membuka pakaian korban; pemaksaan terhadap korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual; praktik budaya komunitas peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan yang bernuansa kekerasan seksual; percobaan perkosaan walaupun penetrasi tidak terjadi; perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin; pemaksaan atau perbuatan memperdayai korban untuk melakukan aborsi; pemaksaan atau perbuatan memperdayai korban untuk hamil; pembiaran terjadinya kekerasan seksual dengan sengaja; pemaksaan sterilisasi; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; perbudakan seksual; tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual; dan/atau perbuatan lain yang dinyatakan sebagai kekerasan seksual dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Adapun diskriminasi dan intoleransi adalah setiap perbuatan kekerasan dalam bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan suku/etnis, agama, kepercayaan, ras, warna kulit, usia, status sosial ekonomi, kebangsaan, jenis kelamin, dan/atau kemampuan intelektual, mental, sensorik, serta fisik.
Diskriminasi dan intoleransi yang dimaksud dapat berupa larangan untuk menggunakan seragam/pakaian kerja bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan mengenai pengaturan seragam sekolah maupun seragam pendidik dan tenaga kependidikan; larangan untuk mengikuti mata pelajaran agama/kepercayaan yang diajar oleh pendidik sesuai dengan agama atau kepercayaan peserta didik yang diakui oleh pemerintah; larangan untuk mengamalkan ajaran agama atau kepercayaan yang sesuai keyakinan agama atau kepercayaan yang dianut oleh peserta didik, pendidik, atau tenaga kependidikan.
Bentuk diskriminasi dan intoleransi lainnya berupa pemaksaan untuk menggunakan seragam/pakaian kerja bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan mengenai peraturan seragam sekolah; pemaksaan untuk mengikuti mata pelajaran agama atau kepercayaan yang diajar oleh pendidik yang tidak sesuai dengan agama atau kepercayaan peserta didik yang diakui oleh pemerintah; pemaksaan untuk mengamalkan ajaran agama atau kepercayaan yang tidak sesuai keyakinan agama atau kepercayaan yang dianut oleh peserta didik, pendidik, atau tenaga kependidikan.
Selain itu, diskriminasi dan intoleransi juga bisa berbentuk tindakan mengistimewakan calon pemimpin/pengurus organisasi berdasarkan latar belakang identitas tertentu di satuan pendidikan; larangan atau pemaksaan kepada peserta didik, pendidik, atau tenaga kependidikan untuk mengikuti atau tidak mengikuti perayaan hari besar keagamaan yang dilaksanakan di satuan pendidikan yang berbeda dengan agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan yang diyakininya.
Diskriminasi dan intoleransi, antara lain, juga bisa berupa larangan atau pemaksaan kepada peserta didik, pendidik, atau tenaga kependidikan untuk memberikan donasi/bantuan dengan alasan latar belakang suku/etnis, agama, kepercayaan, ras, warna kulit, usia, status sosial ekonomi, kebangsaan, jenis kelamin, dan/atau kemampuan intelektual, mental, sensorik, serta fisik; perbuatan mengurangi, menghalangi, atau tidak memberikan hak atau kebutuhan peserta didik untuk mengikuti proses penerimaan peserta didik; dan perbuatan diskriminasi serta intoleransi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kebijakan yang mengandung kekerasan adalah kebijakan yang berpotensi atau menimbulkan terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, anggota komite sekolah, kepala satuan pendidikan, dan/atau kepala dinas pendidikan. Kebijakan ini meliputi kebijakan tertulis seperti surat keputusan, surat edaran, nota dinas, pedoman, dan/atau bentuk kebijakan tertulis lainnya; juga kebijakan tidak tertulis seperti imbauan, instruksi, dan/atau bentuk tindakan
Peran keluarga
Psikolog anak dan remaja Vera I Hadiwidjojo mengatakan, kekerasan melibatkan adanya pelaku, korban, dan saksi. Selama ini yang sering dibahas hanya korban. Padahal, dampak kepada pelaku juga penting. Kekerasan oleh pelaku bisa dipakai untuk mendapatkan apa yang diinginkan dengan mengontrol lingkungan dan bisa terbawa sampai dewasa, bahkan bisa berujung kriminalitas.
”Untuk saksi sering diremehkan. Padahal, ada dampak trauma dan merasa takut. Bisa jadi saksi berubah menjadi pelaku karena melihat tidak ada konsekuensi. Nanti bisa muncul sikap apatis karena merasa tidak ada yang peduli alias bodo amat,” ujar Vera.
Vera mengatakan, orangtua di rumah harus menyadari sejumlah tanda bahwa anak-anak mereka menjadi korban kekerasan. Untuk kekerasan fisik ada tanda yang mudah dilihat, seperti luka, baju robek, atau kotor. Tanda yang lainnya, pola makan dan tidur berubah drastis, enggan ke sekolah, nilai turun, dan kehilangan minat belajar.
Selain itu, bisa juga terlihat anak punya sedikit teman atau tidak ada sama sekali, menarik diri, mudah emosional, agresif, tertekan, dan mutung (patah semangat). Korban juga menghindari tempat/individu tertentu dan takut sendirian. Korban biasanya merasa dirinya tidak cukup baik, minta uang lebih dengan alasan tidak jelas, menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berdaya, bicara tentang bunuh diri, hingga enggan bicara tentang sekolah atau teman.
Jika melihat tanda-tanda di atas, orangtua dapat mendukung anak untuk tidak menjadi korban ataupun pelaku kekerasan. Di rumah harus dibangun komunikasi rutin dengan anak minimal 10-15 menit sehari. ”Komunikasinya jangan menanyakan pekerjaan rumah atau nilai sekolah, lama-lama jawaban anak singkat dan biasa saja. Berkomunikasilah tentang hal-hal yang dapat membuat anak terlibat dalam percakapan yang hangat dan tertawa bersama. Buat anak nyaman berkomunikasi bersama orangtua sehingga mereka terbuka,” kata Vera.
Selanjutnya, orangtua juga perlu mengevaluasi pengasuhan selama ini, apakah mengandung kekerasan, atau apakah anak selalu diberi hukuman fisik. Evaluasi juga bisa dilakukan dengan menghindarkan anak-anak menyaksikan kekerasan dalam hubungan orangtua, tontonan, atau gim.
Selain itu, orangtua perlu mengajarkan kepada anak cara menyelesaikan konflik. Ketika marah, orangtua sebaiknya tidak melakukan kekerasan, tetapi menyelesaikannya dengan diskusi atau berkomunikasi. Hal ini menjadi cara untuk mendukung anak agar tahu bagaimana berbicara secara asertif atau jujur, tetapi tidak menyinggung orang lain.
Tidak kalah penting, asah empati anak sehingga ketika menjadi saksi suatu tindakan kekerasan, mereka bisa berempati pada korban dan punya tanggung jawab untuk mencegah, melerai, atau membantu korban. Yang lebih penting adalah memperlakukan anak secara empatik dengan memahami yang dirasakan anak dan mendengarkan anak sehingga merasa diterima dan dipahami.
”Kekerasan tidak ada dampak positif baik dalam pembelajaran maupun pengasuhan,” pungkasnya.