Kasus perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi masih terus terjadi di satuan pendidikan di Tanah Air. Tiga ”dosa besar” pendidikan itu mendesak diatasi melalui intervensi kolaborasi lintas sektor.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS)
Warga melintasi mural bertema hentikan perundungan di Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara, Selasa (31/8/2021). Pemaksaan yang berujung pada diskriminasi dan perundungan harus dihentikan karena tidak menghargai hak asasi manusia.
JAKARTA, KOMPAS — Satuan pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya bebas dari tiga ”dosa besar” pendidikan, yaitu perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi. Karena itu, diperlukan kolaborasi lintas sektor untuk mengatasi masalah tersebut dengan menanamkan nilai kesetaraan jender dan inklusi sosial di sekolah.
Upaya mewujudkan sekolah yang aman, nyaman, dan bebas dari kekerasan terbentur beragam kendala. Selain persepsi keliru dalam memahami jender, ada juga beberapa faktor lain, seperti kurang memadainya pendidikan seksual, tidak jelasnya mekanisme dalam pelaporan kasus kekerasan dan perundungan, serta memaksakan mayoritas penafsiran jadi standar kebenaran.
Imbasnya, kekerasan seksual di satuan pendidikan terus terjadi. Catatan Komisi Nasional Anti-kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyebutkan, ada 67 kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan selama 2017-2021. Sementara Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 53 kasus anak korban perundungan di lingkungan sekolah dan 168 kasus perundungan di dunia maya pada 2021.
Kepala Pusat Penguatan Karakter Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Rusprita Putri Utami mengatakan, untuk memutus tiga ”dosa besar” pendidikan, satuan pendidikan perlu mengembangkan iklim kesetaraan jender dan inklusi sosial serta membangun budaya anti-kekerasan di sekolah.
Anak-anak saat jam pulang sekolah di SDN Paninggilan 1, Kecamatan Ciledug, Kota Tangerang, Banten, Jumat (2/12/2022).
”Pemahaman kesetaraan jender dan inklusi sosial di dunia pendidikan harus menjadi semangat kolaborasi. Tidak bisa hanya dilakukan oleh pemerintah dan satuan pendidikan, tetapi perlu keterlibatan berbagai pihak. Intinya bergerak bersama mewujudkan pendidikan yang setara,” ujarnya dalam seminar daring bertema ”Menebus 3 Dosa Besar Pendidikan” yang digelar Inspirasi Foundation, Rabu (18/1/2023).
Masalah tiga ”dosa besar” pendidikan itu tergambar dari hasil Asesmen Nasional 2021. Sebanyak 24,4 persen peserta didik berpotensi mengalami perundungan di satuan pendidikan. Sementara 22,4 persen peserta didik menjawab pernah pada pertanyaan survei terkait insiden kekerasan seksual.
Sebanyak 59 persen satuan pendidikan perlu memperkuat sikap kebinekaan. ”Dari beberapa data tersebut, tiga isu itu menjadi isu prioritas yang kami tangani tanpa menafikan isu-isu lain,” ucapnya.
Rusprita menuturkan, konstitusi memandatkan setiap warga negara berhak mengakses pendidikan yang aman, sehat, nyaman, dan bebas dari kekerasan. Hal ini juga penting untuk mendukung capaian pembelajaran peserta didik.
Selain persepsi keliru dalam memahami jender, ada juga beberapa faktor lain, seperti kurang memadainya pendidikan seksual, tidak jelasnya mekanisme pelaporan kasus kekerasan dan perundungan, serta memaksakan mayoritas penafsiran jadi standar kebenaran.
“Akan tetapi, kita harus berefleksi, lingkungan pendidikan belum bebas dari kekerasan. Dampaknya luar biasa sekali, baik untuk individu, lembaga pendidikan, serta bangsa dan negara,” jelasnya.
Korban kekerasan berpotensi mengalami putus sekolah karena berbagai faktor. Dalam perspektif lebih luas, hal ini akan menghambat pembangunan sumber daya manusia (SDM) berkualitas di masa depan.
Menurut Rusprita, upaya mengatasi perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi tidak cukup dengan intervensi dari satuan pendidikan. Sebab, selain komitmen dari kepala sekolah dan guru, juga dibutuhkan peran aktif orangtua dan jaringan masyarakat sipil dalam memperkuat nilai-nilai antikekerasan.
Rusprita menambahkan, Kemendikbudristek telah menjalankan sejumlah program untuk menangani tiga isu itu. Dalam mencegah perundungan, misalnya, lebih dari 5.000 sekolah tingkat sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA), dan sekolah menengah kejuruan (SMK) telah mengikuti program “Roots”.
Program pencegahan berbasis sekolah ini berkolaborasi dengan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef). “Untuk pencegahan kekerasan seksual, kami membangun platform berisi materi edukasi yang dapat diakses lewat laman merdekadarikekerasan.kemdikbud.go.id,” ungkapnya.
Sejumlah faktor
Komisioner Komnas Perempuan Prof Alimatul Qibtiyah memaparkan sejumlah faktor yang membuat tiga “dosa besar” pendidikan belum bisa lepas dari satuan pendidikan. Salah satunya adalah kekeliruan dalam memahami gender dan maskulinitas.
“Terkadang pemahamannya kurang tepat. Misalnya, dengan bisa melecehkan baru dikatakan laki-laki sejati. Seharusnya menggunakan konsep yang dipahami secara positif,” ucapnya.
Alimatul juga menekankan pentingnya pendidikan seksual yang komprehensif bagi siswa. Tujuannya untuk memahami berbagai risiko, baik dalam konteks agama, sosial, dan reproduksi.
YOLA SASTRA
Anggota Jaringan Peduli Perempuan Sumatera Barat mengikuti aksi damai antikekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Jalan Jenderal Sudirman depan Kantor Gubernur Sumatera, Padang, Sumatera Barat, Kamis (25/11/2021).
Selain itu, banyak satuan pendidikan belum mempunyai kejelasan mekanisme penyelesaian jika terjadi kasus perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi. Dalam pelaporan, misalnya, masih kerap terjadi “saling lempar” tanggung jawab antara wali kelas, guru bimbingan konseling, dan wakil kepala sekolah bidang kesiswaan.
“Terakhir, mohon untuk tidak memaksakan mayoritas penafsiran menjadi sebuah standar kebenaran. Kita wajib menghargai pendapat orang lain yang punya pandangan berbeda,” ujarnya.
Anggota Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdulah Mukti mengatakan, inklusi sosial di satuan pendidikan mesti melibatkan peran sekolah, siswa, dan orangtua. Tidak boleh ada kekerasan dalam bentuk apa pun, baik oleh guru kepada siswa, orangtua kepada siswa, atau sesama siswa.
”Ada paradigma yang harus dibenahi. Pembangunan kesetaraan jender dan inklusi sosial mesti komprehensif dan melibatkan berbagai pihak,” ucapnya.