Narasi intoleransi dan ekstremisme yang bertebaran di media sosial menjadi ancaman nyata bagi generasi muda. Ancaman ini sekaligus tantangan semua pihak dalam menyiapkan generasi toleran untuk menjaga kerukunan bangsa.
Oleh
Tatang Mulyana Sinaga
·4 menit baca
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA
Warga Dusun Thekelan, Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, yang beragama Islam, Kristen, dan Katolik memberikan ucapan selamat hari raya Waisak kepada para pemeluk agama Buddha, Minggu (19/5/2019).
Hujan lebat mengguyur Kota Bandung, Kamis (19/12/2019) sore. Namun, suara berisik hujan tidak membuat peserta gelar wicara (talk show) dalam Festival Jawa Barat Welas Asih 2019 di Gelanggang Olahraga Saparua itu terusik.
Puluhan pemuda masih fokus mendengarkan cerita Syarafina Nailah (23) di panggung gelar wicara. Dia membagikan pengalamannya saat bergabung dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) pada 2015- 2017.
Hasutan NIIS masuk ke keluarga Nailah lewat adiknya, Dhania. Oleh karena minim pengawasan, Dhania berselancar di dunia maya untuk mencari tahu tentang NIIS.
Dalam pencarian itu, Dhania terhubung dengan anggota NIIS lewat jejaring sosial Tumblr. Rayuan NIIS sangat kuat sehingga membuat Dhania berhasil mengajak 25 anggota keluarganya berangkat ke Suriah pada 2015.
”Saat itu Dhania kesepian. Saya kuliah, ibu mengurusi pekerjaan rumah tangga, dan ayah sibuk bekerja. Jadi, dia merasa kosong sehingga mudah terpengaruh,” ujar Nailah.
Menurut Nailah, NIIS lihai membaca kondisi psikis orang yang akan direkrut. Berawal dari berbagi cerita, berlanjut dengan mengumbar janji-janji untuk memenuhi kebutuhan targetnya.
KOMPAS/DAHLIA IRAWATI
Anggota Komunitas Rumah Sahabat di Kota Malang, Jawa Timur, Selasa (17/12/2019).
”Dhania dijanjikan akan mendapat keluarga baru yang memperhatikannya. Sementara paman saya yang perusahaannya bangkrut dijanjikan akan dibantu membayar utang,” ujarnya.
Akan tetapi, setelah berada di Suriah, janji-janji itu terbukti hanya omong kosong. Bahkan, beberapa dari keluarganya dipaksa untuk ikut berperang. Bagi NIIS, yang tak sepemahaman dengan mereka adalah musuh.
Kondisi itu menyadarkan Nailah dan keluarganya telah salah memercayai NIIS. Akhirnya mereka berhasil kabur dari markas NIIS pada 2017 setelah sebelumnya beberapa kali gagal.
Nailah tak ingin pengalaman kelamnya dialami orang lain. ”Berawal dari medsos, tetapi dampaknya sangat luas. Mari saling memperhatikan anggota keluarga agar tidak terhasut pemahaman menyimpang,” ujarnya.
Saling memahami
Cerita Nailah membuat peserta gelar wicara geleng-geleng kepala. Tidak terkecuali Annisa (15) dan Nadya (15), siswa kelas X SMK Negeri 3 Bandung.
Mereka juga aktif di media sosial. Narasi kebencian hampir setiap hari berseliweran. Namun, keduanya selalu memegang prinsip bertanya dahulu sebelum berkomentar.
Saat mendapat informasi tentang perusakan rumah ibadah, misalnya, mereka tidak langsung percaya, tetapi bertanya kepada orangtua untuk memastikan kebenarannya. Begitu juga ketika mendapatkan kabar konflik antaretnis.
”Hoaks gampang dibuat dan disebarkan. Jadi, harus hati-hati, terutama untuk informasi yang bisa memancing amarah,” ujar Annisa.
Meskipun Annisa dan Nadya berbeda agama, mereka berteman baik. Annisa beragama Islam, Nadya beragama Kristen. Keduanya mengaku tidak pernah memilih-milih teman berdasarkan agama dan suku.
Ibu-ibu pengajian pulang dari Masjid Al-Azhar yang dibangun dengan dinding yang sama dengan Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) Nasaret, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Senin (16/12/2019).
”Memang dari dulu (masyarakat) Indonesia, kan, sudah berbeda-beda. Jangan diambil pusing. Intinya punya banyak teman itu menyenangkan,” ucapnya.
Meskipun menjadi minoritas di sekolahnya, Nadya mengaku tidak pernah didiskriminasi. Bahkan, beberapa kali dia diantar ke gereja oleh temannya yang berbeda agama.
”Saling menghormati saja. Misalnya, 15 menit sebelum jam pelajaran dimulai, teman-teman yang lain membaca Al Quran. Saya tidak boleh ribut sambil juga membaca Alkitab,” ujar Nadya.
Ketua Harian Jabar Bergerak Tatan Ahmad Santana mengatakan, virus kebencian, intoleransi, dan ekstremisme di kalangan pemuda sudah sangat mengkhawatirkan. Tidak hanya dalam perbedaan agama, suku, dan ikatan primordial lainnya, tetapi juga menjalar ke olahraga.
Tatan mencontohkan gesekan antarkelompok suporter klub sepak bola di Indonesia yang tak kunjung usai. Menurut dia, konflik tidak terlepas dari fanatisme kebablasan sehingga nyanyian di dalam stadion pun diwarnai saling ejek.
”Nyanyian ejekan itu memupuk kebencian. Ini tidak boleh dibiarkan karena bisa menjadi bibit perpecahan,” ujarnya.
Bijak bermedia sosial
Untuk mencegah hal itu, Jabar Bergerak rutin mengajak anak-anak muda agar bijak bermedia sosial serta mewaspadai ancaman intoleransi dan ekstremisme. Salah satunya lewat Millenials Camp yang diikuti ribuan pengurus OSIS tingkat SMA se-Jabar pada November lalu.
”Ini cara membangun kebersamaan dan keakraban sosial. Jika sejak sekolah sudah saling memahami perbedaan, harapannya mereka bisa bersatu untuk berbuat kebaikan,” ujarnya.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA (TAM)
Husein Ja’far
Menurut pembuat konten Husein Ja’far, propaganda intoleransi dan ekstremisme sering disampaikan dalam narasi kaku dengan mengacu pada dalil-dalil. Dibutuhkan kontranarasi yang bisa merusak logika narasi tersebut.
”Salah satu cara terbaik melawannya adalah dengan narasi santai dan lucu. Hal itu akan mengganggu algoritma berpikir mereka,” ujarnya.
Husein menuturkan, narasi negatif bertebaran di medsos setiap saat. Oleh sebab itu, medsos juga harus dimanfaatkan untuk menyebarkan kontranarasinya.
Lewat akun Youtube dan medsosnya, Husein menjelaskan perdebatan berlarut-larut yang berujung konflik antarkelompok berpotensi merusak keutuhan bangsa. Oleh sebab itu, dia mengajak generasi muda tidak mudah terpengaruh informasi yang mengundang kemarahan dan kebencian.
Menjelang malam, Festival Jawa Barat Welas Asih berakhir. Hujan telah reda sehingga para peserta bisa bergegas pulang.
Namun, hujan narasi intoleransi dan ekstremisme tidak ikut mereda. Sikap saling menghargai perbedaan dan kerukunan menjadi payung keteduhan untuk menangkal narasi negatif tersebut.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA (TAM)
Gelar wicara dalam Festival Jawa Barat Welas Asih 2019, Kamis (19/12/2019).