Perundungan atau ”bullying” masih kerap terjadi di sekolah. Upaya menghadirkan lingkungan sekolah yang aman dengan mendorong sekolah bebas perundungan menjadi salah satu evaluasi dalam Rapor Pendidikan sekolah.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi terus menggaungkan tiga besar dosa pendidikan, yakni perundungan atau bullying, kekerasan seksual, dan intoleransi. Ketiga hal ini memang masih menjadi permasalahan yang kerap terjadi di sekolah sehingga lingkungan belajar sekolah yang aman dan nyaman belum sepenuhnya dapat dihadirkan bagi siswa.
Kasus perundungan menjadi salah satu kasus kekerasan yang sering terjadi di sekolah, baik antara siswa dan siswa maupun antara pendidik dan siswa. Seperti diberitakan Agustus lalu, GDR (18), seorang pelajar kelas XI di Kecamatan Bumiayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, berupaya mengakhiri hidupnya dengan cara melompat ke dalam sumur lantaran tidak tahan dirundung teman-temannya. Beruntung, nyawa remaja itu tertolong karena ibunya, M (53), memergoki dan kemudian berteriak minta tolong kepada warga sekitar.
Dari cerita ibu GDR, anaknya sempat takut ke sekolah. ”Sebelumnya sempat bilang minta namanya diganti. Malu karena di-bully,” kata M.
Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek Anindito Aditomo dalam webinar Silaturahmi Merdeka Belajar bertema ”Mewujudkan Pendidikan Berkualitas melalui Perencanaan Berbasis Data”, Kamis (6/10/2022), mengatakan, untuk mendukung transformasi yang ingin dicapai di satuan pendidikan, kini dihadirkan evaluasi untuk sekolah dan daerah yang lebih komprehensif lewat Rapor Pendidikan. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan sekolah untuk bertransformasi.
Pertama, guru dan kepala sekolah harus memprioritaskan hasil belajar murid serta berorientasi pada tumbuh kembang mereka. Kedua, fokus pada lingkungan sekolah yang aman, bebas dari perundungan, termasuk kekerasan seksual, dan bebas dari narkoba agar tercipta lingkungan belajar yang aman, menyenangkan, dan inklusif. Lalu ketiga, budaya refleksi berbasis data untuk mengukur hasil belajar murid dan lingkungan sekolah.
Kejadian perundungan yang angkanya masih tinggi di sekolah-sekolah menjadi perhatian perguruan tinggi, salah satunya Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Tim Jurusan Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini Fakultas Ilmu Pendidikan Unesa membekali para guru lewat program pelatihan anti-bullying.
Ketua pelaksana program tersebut, Wulan Patria Saroinsong, mengatakan, sekolah harus punya program khusus untuk mencegah kasus perundungan secara bertahap. Tujuannya untuk meningkatkan kesadaran anak-anak agar bisa saling menerima satu sama lain, saling mendukung, tidak saling membenci, dan sebagainya.
Guru di sekolah utamanya harus mampu mencegah perundungan, selain menyelesaikan masalah ketika kasus itu terjadi. ”Lingkungan sekolah inilah yang perlu kita bangun bersama dengan suasana kebersamaan, saling menghargai satu sama lain, menerima perbedaan sebagai warna-warni kehidupan, saling berempati, dan sebagainya. Anak-anak harus diajari dan ditanamkan nilai itu sejak dini,” kata Wulan.
Biasanya orangtua dan guru menganggap teguran sudah cukup untuk mengakhiri candaan di sekolah. Padahal, ini sebenarnya menyisakan luka psikis atau emosional yang dalam serta menyakitkan dan efeknya bisa jangka panjang.
Sementara itu, pakar psikologi anak Unesa, Riza Noviana Khoirunnisa, mengatakan, fenomena perundungan seperti epidemi atau penyakit menular yang dengan cepat menimbulkan banyak korban. Kasus perundungan terus meningkat setiap tahun.
Penyebab perundungan beragam, terutama karena adanya ketidakseimbangan antara pelaku dan korban, berupa ukuran badan, fisik, kepandaian, komunikasi, jender, hingga status sosial. Tindakan itu juga terjadi karena adanya penyalahgunaan ketidakseimbangan kekuatan untuk kepentingan pelaku dengan cara mengganggu atau mengucilkan korban.
Kurang diperhatikan
Riza mengatakan, masalah perundungan masih kurang mendapat perhatian sehingga banyak jatuh korban. Perhatian yang kurang ini bisa disebabkan memang efek perundungan yang tidak tampak secara langsung atau tidak terendus karena banyak korban yang tidak melapor.
Bullying secara kasatmata tampak seperti guyonan biasa kepada anak-anak. Jangan kira ini tidak menimbulkan dampak serius. Ejekan atau olokan secara verbal sangat berbahaya bagi anak.
Namun, biasanya orangtua dan guru menganggap teguran sudah cukup untuk mengakhiri candaan di sekolah. Padahal, ini sebenarnya menyisakan luka psikis atau emosional yang dalam serta menyakitkan dan efeknya bisa jangka panjang.
Bagi anak yang menjadi korban, perundungan tentu saja berdampak pada masalah kesehatan mental mereka. Anak merasa terisolasi secara sosial, tidak memiliki teman dekat atau sahabat, dan tidak memiliki hubungan baik dengan orangtua.
Ini bisa menjadi trauma panjang. Trauma ini memengaruhi penyesuaian diri anak dengan lingkungan, terutama sekolah. Beberapa penelitian menunjukkan, perundungan menjadi faktor utama yang bisa memengaruhi prestasi akademik hingga putus sekolah.
Bagi anak yang menjadi pelaku, perundungan bisa membuat dia memiliki empati yang minim dalam interaksi sosial. Pelaku perundungan biasanya mengalami perilaku abnormal, hiperaktif, hingga prososial yang berkaitan dengan respons pelaku terhadap lingkungan sosial sekitarnya.
Riza mengatakan, iklim sekolah harus diperhatikan. Sekolah mesti punya program pencegahan, intervensi, ataupun sosialisasi yang efektif. Sinergi antara sekolah dan orangtua sangat penting dibangun dan diperkuat lagi.
Komunikasi yang aktif antara sekolah dan orangtua penting dilakukan. Orangtua perlu mengetahui detail informasi mengenai perkembangan sekolah dan anak mereka.
Jika perlu, sekolah punya divisi khusus yang menangani komunikasi dengan orangtua. Sekolah bisa membuka hotline yang setiap saat bisa dihubungi orangtua atau bisa juga sekolah membuat situs web interaktif.
Hal lain yang penting diperhatikan juga adalah memperbaiki komunikasi antara orangtua dan anak di rumah. Pola asuh yang baik adalah pola asuh yang bisa memberikan kesempatan kepada anak untuk mengungkapkan apa yang ada di pikiran dan hatinya.
Pencegahan
Panduan untuk mencegah kasus perundungan di sekolah, salah satunya, dilakukan Direktorat SD Kemendikbudristek dengan mengeluarkan buku saku Stop Perundungan/Bullying Yuk.
Sekolah punya komitmen mewujudkan sekolah ramah anak, antara lain, dengan melakukan kerja sama dan komunikasi aktif di antara siswa, orangtua, dan guru serta memastikan sarana-prasarana di satuan pendidikan tidak mendorong anak melakukan perundungan. Berikutnya, pendidik dan tenaga kependidikan memberi keteladanan dengan berperilaku positif dan tanpa kekerasan. Selain itu, adanya layanan pengaduan kekerasan sebagai media bagi murid untuk melaporkan perundungan secara aman dan terjaga kerahasiannya serta memberikan bantuan bagi siswa yang menjadi korban perundungan.
Adapun untuk siswa, pencegahan dilakukan dengan mengembangakan budaya relasi/pertemanan yang positif serta memahami dan menerima perbedaan tiap individu di lingkungan sebaya. Mereka juga diajak mendukung satu sama lain dengan cara mengikuti aturan sekolah terkait pencegahan perundungan serta ikut membantu dan merangkul teman yang menjadi korban perundungan.
Upaya pencegahan oleh keluarga dapat dilakukan dengan membangun komunikasi antara anak dan orangtua, menyelaraskan pendisiplinan tanpa merendahkan martabat anak baik di rumah maupun di sekolah, dan menyiapkan anak untuk menghadapi perundungan dengan berkata tidak, juga memberikan pengertian kepada pelaku perundungan untuk ikut mencegah. Selain itu, orangtua harus lapor ke sekolah jika anak mereka menjadi korban perundungan serta mendapat sosialisasi dan advokasi terkait hak anak pada orangtua.