Ironi Sopir Pantura, Tidur di Tumpukan Ketela dan Bangun di Kerasnya Aspal
Kecelakaan beruntun melibatkan enam truk di jalur pantai utara Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, mengungkap rentannya nasib sopir mengalami trauma hingga kehilangan pekerjaan.
Kecelakaan beruntun melibatkan enam truk di jalur pantai utara Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, tidak hanya menyebabkan tiga korban terluka. Peristiwa ini juga mengungkap persoalan kendaraan barang dan rentannya nasib sopir mengalami trauma hingga kehilangan pekerjaan.
Waktu menunjukkan pukul 23.00 saat Darwanto (32) memulai kembali perjalanan dari Salatiga, Jawa Tengah, menuju Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (9/11/2023). Sopir truk ini membawa muatan 8 ton ketela dari Banyuwangi, Jawa Timur. Sebelumnya, ia juga mengantar bongkahan batu ke Bali.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 200 kilometer, Darwanto meminta adik sepupunya, Nanang Dwi Wicaksono (24), mengambil alih kemudi di Tegal, Jateng, Jumat (10/11/2023) dini hari. Ia pun bergeser ke bagian muatan truk yang berisi tumpukan 92 karung ketela.
Baca juga: Kecelakaan Berulang di Pantura Cirebon, Dua Warga Tewas Tertabrak Mercedes
Di atas ubi itu, ia menggelar kasur dan merebahkan diri. Hanya terpal di bagian atas bak yang melindunginya dari dingin malam. Aroma ketela dan gelombang jalan pantura di beberapa titik tidak mengganggu tidurnya. Bapak satu anak ini sudah terlelap bersama lelahnya.
Ketika sampai di Jalan Raya Gebang-Losari, Desa Gebang Kulon, Kecamatan Gebang, Cirebon, sekitar pukul 05.00, truk dari arah Jateng ke Jakarta ini mencoba berbelok ke seberang jalan. Truk bernomor polisi BG 8315 KN itu ingin mengisi solar di SPBU.
Namun, dari belakang, trailer bernomor polisi B 9814 UEL tiba-tiba menabrak truk itu. Truk yang ditumpangi Darwanto pun terdorong ke depan. Dari arah berlawanan, Jakarta ke Jateng, truk bernomor polisi B 9119 JO yang mengangkut sepeda motor juga menghantam truk tersebut.
Truk bermuatan ketela itu pun terbalik ke samping. Puluhan karung berisi ubi berserakan di jalan. Darwanto yang tadinya tidur sontak tersadar. Ia tak lagi berada di kasur, tetapi aspal pantura.
Baca juga: Bunyi Klakson hingga Sapaan Malam dari Sisa Kecelakaan
”Saya cuma dengar suara derrrrr. Pas saya bangun mobil sudah gelempang (terbalik),” ucapnya.
Kakinya lecet, berdarah. Tangan kanannya bengkak dan sulit digerakan. Dahinya juga benjol dan membiru.
Akan tetapi, tidak ada waktu untuk meratapi keadaan. Darwanto tak menghiraukan sakit di tubuhnya. Ia langsung memeriksa kabin truk yang remuk. Di sana, ia melihat Nanang terjepit.
”Kaki kirinya sudah terlipat,” katanya.
Rekannya yang berada di samping Nanang tidak terluka. Dibantu warga, mereka pun mengevakuasi Nanang. Adapun sopir truk B 9814 UEL, Mahwari (57), juga mengalami luka ringan. Keduanya dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah Waled, Cirebon.
Baca juga: Kecelakaan Maut Terus Berulang di Tol Cipali, Lima Tewas
Tidak hanya itu, tiga truk lainnya yang parkir berdempetan di depan SPBU juga rusak setelah dihantam truk bermuatan sepeda motor. Akibat kecelakaan itu, arus lalu lintas dari arah Jakarta ke Jateng macet hingga sekitar 2 kilometer.
Padahal, jalur itu adalah kawasan industri. Arus kembali lancar setelah polisi mengerahkan tiga mobil derek.
Akan tetapi, perasaan Darwanto masih tersendat. Telepon selulernya rusak. Uang Rp 1 juta untuk isi bensin dan biaya tol yang tersimpan di dasbor truk juga hilang. Entah siapa yang tega mencurinya.
”Enggak apa-apa, uang masih bisa dicari,” ucapnya lirih.
”Mereka ini kelompok melarat, tetapi membawa barang ratusan juta untuk ekonomi bangsa. Ini ironis. Kalau nasib sopir enggak jelas, angkutan barang nanti tidak jalan. Ekonomi negara juga tidak jalan.
Darwanto tetap di lokasi kecelakaan untuk menjaga muatan truk, yakni ketela. Ia juga menunggu keluarganya dari Semarang. Beberapa kali, sorot matanya ke jalur pantura. Bagian dari Jalan Raya Pos yang dibangun abad ke-18 itu telah telah menggerakkan ekonomi keluarganya.
”Kalau lewat jalan tol semua, enggak masuk (biayanya). Makanya, kadang lewat tol terus ke pantura,” ucapnya.
Darwanto tidak merinci berapa uang yang dihemat jika lewat pantura dibanding Tol Trans-Jawa. Namun, ia bisa leluasa istirahat dan berhenti di jalan arteri.
Baca juga: Libur Akhir Tahun, Waspadai Kecelakaan di Jalur Cirebon–Kuningan
Trauma
Kini, setelah kecelakaan, ia ingin sejenak rehat mengaspal. ”Sepuluh tahun saya jadi sopir, baru kali ini (kecelakaan). Saya trauma. Tapi, mau bagaimana lagi? Saya enggak punya keahlian lagi,” ucap Darwanto yang pernah menjadi sopir pengangkut batubara di Jambi.
Sebenarnya, warga asli Semarang ini punya pilihan mata pencarian lain. Bapaknya memiliki kebun karet di Sumsel.
”Dulu, saya bekerja di kebun karet, tapi harganya turun terus. Bapak saya pun jual kebunnya 7 hektar. Harganya hanya Rp 200 juta,” ujarnya.
Darwanto yang sejak kecil di Palembang pun ingin mencari pengalaman di Pulau Jawa. Ia bekerja dari sopir ekspedisi, batubara, hingga kini pengangkut ketela. Ia tidak menyebutkan pendapatannya sebagai sopir truk. Namun, katanya, hasilnya lumayan dibanding di kebun karet.
Walakin, risiko kecelakaan seperti yang terjadi hari ini juga mengintainya. Kepala Unit Penegakan Hukum Satuan Lalu Lintas di Polresta Cirebon Ajun Komisaris Endang Kusnandar mengatakan telah menghimpun keterangan saksi dan memeriksa rekaman kamera pemantau.
”Dugaan sementara, truk yang menabrak truk (pengangkut) ubi diduga kurang antisipasi, mungkin sopirnya kaget. Dilihat dari CCTV, (laju truk) enggak terlalu cepat, paling 40 kilometer per jam. Tapi, nanti kami selidiki,” kata Endang. Kondisi jalan di lokasi juga cukup mulus.
Endang mengimbau pengendara agar lebih waspada dan tidak memaksakan diri mengemudi jika lelah. Apalagi, kecelakaan di jalur pantura Cirebon terus berulang.
Baca juga: Tabrak Belakang Menjadi ”Mesin Pembunuh” Lagi di Cipali, Tiga Tewas
Pada April 2022, misalnya, enam orang tewas setelah mobil yang mereka tumpangi menabrak belakang truk di Gebang. Tahun lalu tercatat 813 kasus kecelakaan atau melonjak dari tahun sebelumnya, 453 kasus.
Dari kasus tahun 2022, tercatat 201 korban meninggal. Artinya, rata-rata empat nyawa melayang setiap pekan akibat kecelakaan di Cirebon. Lokasinya termasuk di jalur pantura. Truk pun tidak luput dari kecelakaan itu.
Djoko Setijowarno, pengamat transportasi dari Unika Soegijapranata, mengatakan, jumlah truk hanya 3,82 persen atau 6 juta unit dari total kendaraan bermotor. Namun, truk menempati urutan kedua (12 persen) angka kecelakaan setelah sepeda motor.
Salah satu pemicu kecelakaan, katanya, karena banyak truk tidak menjalani pengujian kendaraan bermotor. Padahal, kondisi truk itu tidak lagi prima.
”Faktor terpenting adalah manusianya. Mereka kurang istirahat, tidak punya tempat nyaman, dan upahnya tidak jelas,” ujar Djoko.
Menurut dia, rata-rata pendapatan per hari sopir truk hanya Rp 100.000. Padahal, mereka harus menempuh perjalanan jauh dan berpisah dengan keluarganya.
”Mereka juga kena pungli (pungutan liar), termasuk dari oknum aparat. Banyak sopir truk pun beralih profesi,” ucapnya.
Ketika mengalami kecelakaan, mereka juga rentan kehilangan pekerjaan karena menjadi tersangka, bahkan masuk bui. Ia mendorong pemerintah dan perusahaan barang memperhatikan nasib sopir dengan menetapkan upah minimum dan meningkatkan kompetensinya.
Djoko juga menyarankan pemerintah dan operator jalan tol menyediakan terminal barang untuk menjadi tempat istirahat yang nyaman, aman, dan gratis bagi sopir. Selama ini mereka hanya beristirahat di pinggir jalan atau SPBU. Padahal, kondisi ini bisa memicu kecelakaan.
”Mereka ini kelompok melarat, tetapi membawa barang ratusan juta untuk ekonomi bangsa. Ini ironis. Kalau nasib sopir enggak jelas, angkutan barang nanti tidak jalan. Ekonomi negara juga tidak jalan,” katanya.
Nasib para sopir truk dan ekspedisi di negeri ini jauh dari ideal. Padahal, mereka berperan sangat vital menggerakkan roda ekonomi negeri. Perhatian dari banyak pihak dinanti agar tidak hanya kisah duka yang bisa didengar dari mereka.
Baca juga: Enam Tewas di Jalur Pantura Cirebon, Waspadai Kecelakaan Saat Mudik