Getir Hidup Korban Pemerkosaan di NTT dalam Pusaran Aib Keluarga
Kasus pemerkosaan di NTT tinggi, tetapi banyak yang tidak terungkap ke publik. Kasus-kasusnya menguap karena keluarga korban lebih pilih jalan damai. Mengapa?
Banyak dari keluarga korban pemerkosaan memilih jalan damai dengan pelakunya. Hal itu berbahaya karena bakal mendorong tingkat kekerasan yang semakin tinggi. Keluarga korban perlu menyatakan sikap antikekerasan seksual.
Koordinator Divisi Pemberdayaan dan Pendampingan Korban, Yayasan Sanggar Suara Perempuan (YSSP) Timor Tengah Selatan (TTS) Yundry Kolimon (34) mengatakan, kasus pemerkosaan di TTS terus terjadi. Rata-rata 100 kasus pemerkosaan setiap tahun. Para korban kebanyakan anak-anak di bawah umur.
Januari-September 2023, YSSP menangani 128 kasus tindak kekerasan seksual terhadap perempuan, baik anak maupun dewasa. Kasusnya berupa persetubuhan terhadap anak 36 kasus, pencabulan 13 kasus, eksploitasi seksual 18 kasus, dan pemerkosaan 4 kasus. Jumlah ini hanya yang terlapor dan terpantau oleh YSSP. Itu berarti dimungkinkan kasusnya lebih banyak, tetapi tidak dilaporkan dengan alasan malu atau takut ke pengadilan.
”Kebanyakan kasus diselesaikan secara damai atau kekeluargaan. Pihak keluarga korban menerima kasus itu sebagai aib keluarga dan diselesaikan secara damai. Korban trauma dan malu sehingga sebagian dari mereka memilih menjadi TKW di luar NTT,” katanya, di Soe, Senin (6/11/2023).
Baca juga: Veronika Ata, Mengabdi untuk Korban Kekerasan Perempuan NTT
Kekerasan seksual lebih banyak dialami anak perempuan. Sistem patriarkal membuat kaum perempuan selalu di bawah tekanan adat dan dominasi laki-laki. Hal ini rata-rata dialami perempuan yang tidak mendapatkan pendidikan layak. Para korban umumnya mereka yang hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar atau sekolah menengah pertama.
Para pelaku tindak kekerasan seksual kebanyakan orang dekat. Bapak kandung, saudara, paman, atau adik kandung. Karena memiliki hubungan kekerabatan yang dekat, kasus itu pun lebih banyak disembunyikan atau didiamkan agar tidak menjadi pergunjingan. Apalagi kalau sampai viral di media sosial. Pihak keluarga bakal menganggap hal itu sebagai kutukan dan aib keluarga.
Tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilaporkan sebanyak 24 kasus. Penganiayaan, penelantaran, perzinaan, kekerasan verbal, sampai gangguan psikis, pemerkosaan, dan perceraian. Kasus ini pun hampir sama, yakni sengaja ditutupi keluarga, terutama sang istri sebagai korban.
Baca juga: Tindak Kekerasan Seksual terhadap Perempuan di NTT Tinggi
Banyak perempuan yang bersikap pasrah. Menerima tindak KDRT sebagai nasib yang harus dijalani. Adat perkawinan berupa mas kawin atau mahar yang tinggi, seperti uang, ternak, dan jenis benda lain, dari pihak keluarga pria seakan mengharuskan mereka untuk pasrah. Kepatuhan dianggap sebagai wujud penghargaan aturan adat.
Kasus terakhir yang ditangani YSSP, yakni pemerkosaan terhadap SN (17) oleh pelaku, Dion (32), pada 31 Oktober 2023. Pelakuadalah sepupu korban. Hal ini berawal dari peminjaman ponsel pintar milik Dion oleh korban. Setelah ponsel dikembalikan, Dion menemukan ada obrolan melalui aplikasi antara korban dan seorang pria. Pria itu mengajak korban untuk berhubungan badan.
”Pelakumengancam menceritakan hubungan khusus korban dengan pria itu kepada kakak korban dengan menunjukkan semua hasil chatting. Kakak korban sebelumnya melarang korban menggunakan ponsel untuk bermedia sosial,” kata Yundry.
Saat semua anggota keluarga ke Kupang mengikuti pesta nikah salah satu anggota keluarga, korban sendirian menjaga rumah di Desa Fatumnutu. Pelaku memanfaatkan kesempatan dengan mendatangi korban. Kedatangan pelaku ke rumah korban tidak dicurigai tetangga karena korban merupakan sepupu pelaku.
Ajakan berhubungan badan yang ketiga kalinya, korban yang menderita detardasi mental itu berusaha menolak meski pelaku mengancam menyebarkan rekaman hubungan mereka sebelumnya. Korban kemudian melaporkan kasus itu ke orangtua. Selanjutnya, diteruskan ke Polres TTS.Pelaku meminta diselesaikan secara adat atau damai, tetapi ditolak pihak keluarga korban.
Baca juga: Kawin Tangkap Bertentangan dengan Tujuan Perkawinan
Pelaku yang sama juga sebelumnya memerkosa seorang anak gadis di desa itu. Setelah korban melapor ke keluarga langsungdiproses di kantor desa. Upaya damai pun ditempuh kedua pihak. Dion didenda membayar sejumlah uang kepada keluarga korban.
Merasa malu dan terhina, korban akhirnya memilih menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Malaysia pada 2022. Sampai hari ini, korban masih berkomunikasi dengan keluarganya. Sedangkan pelaku sempat bebas berkeliaran di kampung dan melakukan aksi yang kedua ini. Kini, pelaku ditahan di Polres Timor Tengah Selatan.
Kasus berikutnya adalah pemerkosaan seorang paman, Melki (48), terhadap keponakannya, KN (15). Kasus ini menyebabkan KN hamil dan melahirkan seorang anak laki-laki. Pemerkosaan berawal dari penitipan KN oleh kedua orangtua yang hendak merantau ke Malaysia, Oktober 2021.
Baca juga: Tata Cara Tradisional Tetap Menjadi Pilihan Pernikahan
Sewaktu mengetahui anaknya hamil, pihak keluarga besar di TTS menghubungi kedua orangtua di Malaysia. Mereka sepakat menyelesaikan secara damai dengan alasan pelaku masih anggota keluarga. Apalagi Melki sebagai tulang punggung keluarga. Korban bersama anak kandungnya dititipkan di kerabat mereka. Kini, kedua orangtua korban telah pulang ke kampung dan bersama korban beserta anaknya.
Penyelesaian secara adat tidak pernah membahas tanggung jawab berkelanjutan pelaku atas lahirnya anak dari perbuatannya. Korban pemerkosaan terpaksa berjuang sendiri mencari nafkah untuk menghidupi bayinya.
Data Humas Polda NTT, kasus serupa terjadi di Rote Ndao.AI (5) dan teman perempuannya, MT (7), masing-masing kelas I dan kelas II SD, diperkosa oleh Fandi (51) di hutan sekitar desa itu. Pelaku kini ditahan Polres Rote Ndao.
Di Ende, pemerkosaan dilakukan VN (45) terhadap korban, MYB (10), di sebuah kebun. Kejahatan itu berlangsung saat korban tengah mencari makanan kambing di kebun tersebut. Setelah pemerkosaan kedua, korban mengeluh sakit pada bagian kemaluan dan melapor kepada ibunya. Kasus ini pun sedang ditangani Polres Ende.
Baca juga: Perkosa Anak 13 Tahun, Oknum Linmas dan Petani di Lembata ditangkap
Kepala Polres Lembata Ajun Komisaris BesarJosephien Vivick Tjangkung mengatakan, pemerkosaan serupa terjadi di Lembata. Tiga pria masing-masing GRS (41), LN (41), dan WI (53) memerkosa anak perempuan berinisial GY (13) di sebuah pondok dekat Bandara Wunu Pito Lewoleba, Lembata. Ketiga pelaku rupanya sudah beberapa kali melakukan tindakan serupa terhadap beberapa anak perempuan. Kasusnya didalami penyidik.
Pemerkosaan secara bergilir ini berawal dari korban dan teman prianya jalan bersama di sekitar Bandara Lembata. Tiba-tiba muncul tiga pelaku, dan mulai menginterogasi keduanya. Kedua siswa SMP ini pun diancam akan dibawa ke kantor polisi jika tidak menyetor uang senilai Rp 4 juta kepada ketiga pelaku. Dengan ancaman dan tekanan itu, teman RSA pun pergi ke rumah orangtua.
Ketiga pelaku memerkosanya, lalu membiarkannya tergeletak di jalan. Korban kemudian ditemukan warga yang melintas dan dibawa ke rumah orangtuanya.
Kini, ketiga pelaku ditahan di Polres Lembata. Sementara korban menjalani pendampingan dari anggota polres. Penyidik sedang mendalami motif para pelaku tersebut.
Baca juga: Menjaga Ketahanan Anak Perempuan
Vivick pun mengimbau para orangtua agar menjaga dan mengawasi anak-anak perempuan demi keselamatan mereka.