Kasus kekerasan terhadap perempuan di Nusa Tenggara Timur tinggi. Jumlah 31 kasus pada Januari-Agustus 2020 didominasi orang dekat, yang memiliki hubungan keluarga dengan para korban.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Kasus kekerasan terhadap perempuan di Nusa Tenggara Timur tinggi. Jumlah 31 kasus, Januari-Agustus 2020, didominasi orang dekat, yang memiliki hubungan keluarga dengan para korban. Sebanyak 15 kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan di bawah umur.
Hal ini terjadi karena budaya pratriarki yang selalu menempatkan perempuan nomor dua dalam keluarga dan masyarakat dibandingkan dengan laki-laki. Sebagian besar kasus diselesaikan secara adat sehingga tidak ada efek jera bagi pelaku.
Direktris Lembaga Perlindungan Anak dan Perempuan (LPA) Nusa Tenggara Timur (NTT) Tory Ata di Kupang, Jumat (11/9/2020), mengatakan, konstruksi budaya patriarki menyebabkan perempuan selalu ditempatkan sebagai orang nomor dua dalam keluarga dibandingkan dengan laki-laki. Kaum laki-laki di NTT selalu ditempatkan sebagai ahli waris dan penerus marga (suku) sehingga memiliki posisi lebih diutamakan dalam keluarga.
Para pelaku adalah ayah kandung, kakek, saudara kandung, paman kandung, ayah tiri, dan tetangga. Sementara korban umumnya anak perempuan di bawah umur 19 tahun.
Keberadaan lembaga agama pun tidak mampu mengubah tatanan adat seperti itu sehingga posisi kaum perempuan tidak pernah mengalami perubahan dari waktu ke waktu dan setiap pergantian pimpinan kepala daerah. Demikian pula pendidikan yang diperoleh kaum perempuan, meski sampai perguruan tinggi termasuk menyandang sejumlah gelar akademik tertinggi, perempuan tidak mudah mengubah budaya patriarki itu.
Berdasarkan data, kasus kekerasan terhadap anak di NTT dari Januari-Agustus 2020 mencapai 31 kasus, 15 kasus diantaranya kekerasan seksual dari orang-orang dekat terhadap anak perempuan di bawah umur. ”Para pelaku adalah ayah kandung, kakek, saudara kandung, paman kandung, ayah tiri, dan tetangga. Sementara korban umumnya anak perempuan di bawah umur 19 tahun,” kata Tory.
Ia mengatakan, hampir 15 kasus itu termasuk kekerasan seksual sadis, berdampak buruk tehadap masa depan para korban. Akan tetapi, hanya dua hingga tiga kasus itu dibawa ke pengadilan, kebanyakan kasus diselesaikan secara adat. Pelaku datang ke pihak keluarga korban, menawarkan sejumlah barang sebagai denda adat, atau ganti rugi berupa uang, tenun, hewan, atau benda lain, sesuai tuntutan adat setempat. Hal ini tidak memberi efek jera kepada pelaku sehingga bisa mengulangi perbuatan serupa.
Kasus-kasus yang muncul ke perempuaan ibarat gunung es. Banyak kasus tindak kekerasan terhadap perempuan, terutama kekerasan seksual, tidak dilaporkan atau diungkap. Kedua belah pihak sama-sama menjaga nama baik di masyarakat. Biasanya, pihak pelaku dan keluarga korban menempuh jalur damai, denda adat. Tawaran denda adat datang dari pelaku.
”Yang aneh justru ibu kandung pelaku meminta polisi membebaskan pelaku (yang sudah berkeluarga), yang telah memerkosa dan menghamili anak kandung atau anak tiri hingga hamil, dengan alasan pelaku masih menjadi tulang punggung ekonomi keluarga,” ujar Tory.
Salah satu kasus terakhir di Desa Bour, Kecamatan Nubatukan, Lembata, NTT. Pelaku Siprianus Pua Tude (49) memaksa dua anak tirinya, BE (15), siswi kelas III SMP; dan SM (13), siswi kelas III SD, untuk melayani keinginannya. Keduanya melayani pelaku di bawah ancaman pembunuhan, sampai BE hamil lima bulan, sementara SM pun sempat hamil satu bulan, tetapi digugurkan pelaku.
Kedua anak tiri ini lari dari rumah kediaman, kemudian menginap di rumah ayah kandung di Waikomo, sekitar 10 kilometer. Kepada ayah kandung, kedua korban menceritakan kejadian itu. Ayah kandung melanjutkan kasus tersebut ke kepolisian.
Pelaku Siprianus Tude telah ditahan di Polres Lembata. Akan tetapi, Maria Bewa (43), istri kedua pelaku, berupaya agar suaminya dibebaskan supaya bisa membantu persalinan Maria Bewa yang tengah hamil delapan bulan. Selesai persalinan, polisi boleh memproses lanjut pelaku di Polres Lembata. Permintaan ini belum dikabulkan polisi.
Tory menyebutkan, faktor pemicu tindak kekerasan seksual terhadap perempuan di bawah umur ialah pelaku sedang mabuk, ada hubungan kedekatan setelah ditinggal ibu kandung menjadi tenaga kerja di luar negeri. Faktor lain, kemiskinan dalam keluarga, dorongan korban memiliki telepon seluler dan pulsa data, budaya kawin paksa dan kawin serumpun, serta ancaman verbal dari pelaku.
Bahkan, pendidikan korban rendah, pelaku tidak paham hak asasi manusia, mas kawin yang membebani keluarga pria, dan pelaku tidak paham soal jender pun turut memicu tindak kekerasan terhadap perempuan terus berulang.
Kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya menimpa perempuan berpendidikan rendah, SD-SMA, tetapi perempuan lulusan sarjana, pegawai, dan pejabat daerah. Apa pun status dan posisi perempuan dalam keluarga, kaum pria tetap dominan dalam segala urusan.
Dihapus atau ditiadakan
Kepala Biro Humas NTT Marius Jelamu mengatakan, pemprov memiliki kepedulian terhadap masalah perempuan dan anak-anak dengan hadirnya Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan persoalan bersama. Pemda terus mendorong agar semua bentuk adat dan budaya masyarakat yang merugikan perempuan dihapus atau ditiadakan, seperti adat kawin tangkap di Sumba.
”Selain sosialisasi dari pemprov, kita juga dorong agar lembaga agama dan lembaga terkait lain turut membantu melakukan sosialisasi soal kesamaan jender. Ini harus dibangun bersama sejak dini dalam keluarga kepada anak perempuan dan laki-laki. Kuncinya ada pada orangtua, bagaimana menanamkan budaya kesamaan jender ini,” katanya.
Bupati Sumba Tengah Paulus SK Limu mengatakan akan mendirikan rumah singgah bagi anak-anak dan perempuan, korban tidak kekerasan di Waibakul. Ia pun akan memberdayakan komisi perlindungan anak dan perempuan dengan tugas menyosialisasikan kepada masyarakat agar mencegah terjadi tindakan sewenang-wenang terhadap anak dan perempuan.