Kawin Tangkap Bertentangan dengan Tujuan Perkawinan
Kendati melanggar hak asasi manusia, praktik kawin tangkap di Sumba hingga kini masih berlangsung. Kepolisian diminta tidak ragu menindak pelaku jika mendapati kekerasan terhadap perempuan atas nama budaya.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan terhadap perempuan atas nama adat melalui modus kawin tangkap haruslah dihentikan. Selain melanggar hak konstitusional warga untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, kawin tangkap juga bertentangan dengan tujuan perkawinan, yaitu mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan.
Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyesalkan berulangnya praktik tindak kawin tangkap di Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, yang terjadi pada 7 September 2023. ”Komnas Perempuan mengapresiasi langkah tanggap dan kerja sama dari pihak kepolisian, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta kelompok masyarakat sipil untuk menghentikan tindak kawin tangkap,” ujar Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, Kamis (14/9/2023).
Peristiwa kawin tangkap dengan dalih tradisi itu terekam dan beredar dalam sebuah video pendek berdurasi 30 detik di media sosial. Video tersebut memperlihatkan seorang perempuan dengan pengendara sepeda motor sedang berhenti disuatu tempat. Tiba-tiba datang sekelompok laki-laki mengambil paksa perempuan tersebut, menaikkannya ke mobil pikap, lalu membawa perempuan tersebut pergi.
Dalam pernyataan pers, Andy bersama para komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah, Siti Aminah Tardi, Rainy M Hutabarat, dan Theresia Iswarini menyatakan Komnas Perempuan mengapresiasi langkah tegas pihak kepolisian yang memproses secara hukum peristiwa tersebut dan telah menetapkan empat tersangka.
Bahkan, langkah polisi untuk menggunakan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), khususnya Pasal 10, dipandang Komnas Perempuan sebagai langkah maju penanganan kasus kawin tangkap. Selanjutnya, dengan rujukan pada UU TPKS, bersama dengan Pasal 328 sub Pasal 333 Kitab Undang-Undangn Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 5 Ayat 1 Ke-1 KUHP, korban diharapkan dapat memperoleh pelindungan yang lebih mumpuni. Korban juga dapat mengakses sejumlah layanan yang menjadi haknya, termasuk atas pelindungan, pendampingan, dan pemulihan.
Siti Aminah mengingatkan pentingnya layanan pemulihan bagi korban. Hal ini mengingat dampak psikis yang dihadapi korban dari perampasan kemerdekaan yang dapat menimbulkan rasa takut yang mendalam.
”Sementara itu, layanan pelindungan dan pendampingan menjadi semakin penting karena korban berada dalam kondisi yang sulit karena proses hukum juga menjerat ibundanya sebagai pihak yang berkonflik dengan hukum,” kata Siti Aminah.
Terhadap proses hukum pada ibu korban, Komnas Perempuan mendorong pihak kepolisian untuk mengaplikasi kepekaan pada kerentanan khusus perempuan dalam pengusutan kasus perempuan berhadapan dengan hukum. ”Termasuk di dalamnya adalah pertimbangan pada beban dan kekhawatiran yang dihadapi oleh ibu sebagai orangtua tunggal, konstruksi dan kondisi sosial yang menempatkan seorang ibu menyimpulkan atau mengambil langkah tertentu yang menurutnya dapat menyelamatkan anak dan keluarganya,” tambah Rainy.
Kawin tangkap merupakan bentuk penculikan dan kekerasan terhadap perempuan. Tentu ini dapat dikategorikan sebagai tindakan kriminal dan bukan bagian dari adat.
Dengan demikian, proses hukum seperti itu, selain memutus impunitas proses hukum juga menjadi lebih humanis dan berkeadilan. Karena itulah, Komnas Perempuan juga mengajak semua pihak untuk berperan dalam pencegahan tindak pidana kekerasan seksual khususnya kawin tangkap sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual (pemaksaan perkawinan) melalui berbagai cara untuk memastikan peristiwa serupa tidak berulang.
Polisi harus menindak pelaku
Sebelumnya, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati menanggapi peristiwa kawin tangkap langsung meminta Kepolisian Daerah NTT agar tidak ragu-ragu menindak pelaku. ”Karena kalau kawin tangkap dilakukan secara adat atau tradisi daerah setempat, seharusnya perempuan dimuliakan, kalau dengan kekerasan seperti itu polisi harus bertindak,” ucapnya.
Bintang Darmawati juga menyesalkan kasus kawin tangkap masih berulang. Oleh karena itu, Kementerian PPPA menaruh perhatian serius terhadap dugaan kasus kawin tangkap tersebut. Kementerian PPPA mengawal kasus tersebut dan terus berkoordinasi intens dengan Dinas PPPA dan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (P3AP2KB) Kabupaten Sumba Barat Daya, Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi NTT, serta kepolisian.
”Kami akan memantau perkembangan penanganan kasus dan pendampingan korban sebagai bentuk perlindungan dan pemenuhan hak perempuan korban. Kami juga mendorong organisasi perangkat daerah yang membidangi urusan PPPA untuk terus memantau perkembangan kasus tersebut dan memberikan layanan sesuai kebutuhan korban,” ujar Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA Ratna Susianawati, di Jakarta, akhir pekan lalu.
Ratna menegaskan, kasus kawin tangkap tersebut mencederai hak perempuan untuk hidup aman tanpa kekerasan. Kasus kawin tangkap terjadi sebagai pergesekan dalam aspek budaya yang sudah sepatutnya kita hentikan bersama demi melindungi para perempuan dari kekerasan seksual berbalut budaya.
”Kawin tangkap merupakan bentuk penculikan dan kekerasan terhadap perempuan. Tentu ini dapat dikategorikan sebagai tindakan kriminal dan bukan bagian dari adat. Selain itu, ada peranan relasi kuasa dalam kasus-kasus kawin tangkap yang tidak selayaknya dilanggengkan,” ujar Ratna.
Kementerian PPPA mengingatkan Nota Kesepahaman Peningkatan Perlindungan Perempuan dan Anak di Kabupaten Sedaratan Sumba oleh Pemerintah Provinsi NTT dan Pemerintah Daerah Sedaratan Sumba yang ditandatangani pada 2020. ”Untuk itu, kami mohon aparat penegak hukum untuk menindak tegas setiap praktik kawin tangkap. Jangan sampai alasan tradisi budaya dipakai hanya sebagai kedok untuk melecehkan perempuan dan anak,” tegas Ratna.
Kejahatan berbalut budaya
Solidaritas Perempuan dan Anak (Sopan) Sumba mengecam praktik kawin tangkap yang masih berlangsung sampai saat ini, padahal praktik tersebut merupakan kejahatan kemanusiaan. Kekerasan berbalut budaya bukanlah hal yang patut dilanggengkan.
”Kami mengecam praktik kawin tangkap karena merupakan kejahatan kemanusiaan, dan menyesalkan kasus kawin tangkap kembali terjadi di tengah upaya keras pemerintah mencegah kasus ini terulang kembali,” kata Direktur Sopan Sumba, Yustina Dama Dia.
Selain itu, Sopan Sumba juga menegaskan kawin tangkap adalah tindakan kekerasan terhadap perempuan yang harus dihapuskan. Ia meminta pemimpin adat dan pemimpin agama setempat untuk melindungi perempuan dari praktik kawin tangkap.
Pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi NTT diminta membuat peraturan turunan UU TPKS sebagai payung hukum yang dapat melindungi dan menjamin hak-hak korban kekerasan berbalut budaya atau kawin tangkap. ”Kami mendesak Pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya untuk memberikan hukuman yang setimpal pada para pelaku, sesuai dengan aturan yang berlaku,” kata Yustin.