Ikan Sekarang ”Su” Lari Jauh Tergusur Tambang
Di tengah kepungan pertambangan nikel di Maluku Utara, nelayan berjibaku mencari ikan yang kian sulit didapatkan. Diduga, ikan menjauh karena perairan yang tercemar limbah tambang.
Untuk pertama kalinya setelah sebulan libur karena cuaca ekstrem, Sardi (36) pun kembali melaut. Selasa (5/9/2023) malam. Bersama sembilan awak lainnya, kapal bagang miliknya digerakkan belasan mil dari pesisir Teluk Buli, di Halmahera Timur, Maluku Utara. Tiba di lokasi, 60 lampu yang dipasang mengelilingi empat sisi bagang langsung dinyalakan. Kapal itu harus terlihat paling mencolok untuk mengalahkan terangnya situs-situs pertambangan nikel di pesisir teluk agar ikan mau mendekat.
Situs tambang yang diketahui warga dikelola oleh PT Aneka Tambang (Antam) beroperasi seolah tiada henti. Saat malam tiba, alat berat hilir mudik mengangkut material diterangi lampu di sepanjang perbukitan di pesisir teluk.
Dengan kapal bagang berukuran 21 meter x 21 meter milik Sardi, debur ombak relatif tak terasa. Kapal bermuatan 15 ton itu juga stabil saat menghadapi angin kencang dan hujan. Itu yang membuat Sardi bisa melaut hingga belasan mil, lebih jauh dibandingkan wilayah melautnya di awal tahun 2000-an.
”Ikan-ikan itu dulu di tepi gunung dekat bakau, sekarang sudah tidak ada lagi. Nelayan harus pergi lebih jauh untuk mendapatkan ikan,” ungkap Sardi.
Baca juga:
> Perairan Halmahera Tercemar Logam Berat
> Masa Depan Lumbung Ikan Terancam
Perairan yang berjarak hingga 5 mil dari pantai tak lagi jadi tempat hidup ikan karena diduga tercemar oleh aktivitas tambang. Jejak pencemaran bahkan masih bisa dijumpai meski Sardi sudah melaut hingga belasan mil. Lumpur yang diduga limbah tambang sering memenuhi jaring sehingga terasa lebih berat saat diangkat.
”Ini, kan, jaringnya hitam jadi kecoklatan. Itu limbah,” ujarnya sesaat setelah menarik jaring dan melihat hasil tangkapannya.
Dari jaring yang dipasang selama tiga jam itu, Sardi mendapatkan ikan kembung dan teri tak sampai 100 kilogram. Setidaknya sejak lima tahun terakhir, hanya dua jenis itu yang masih bisa ditangkap nelayan setempat. Padahal, sebelum tambang beroperasi tahun 2003, Sardi bisa mendapatkan ikan tongkol dan cakalang hingga 16 ton sekali menjaring. Namun, menjaring jenis ikan itu kini tinggal cerita.
”Ikan itu menghilang sejak ada tambang, memang tidak serentak itu hilang, tetapi perlahan,” ujar pria yang telah menjadi nelayan sejak 20 tahun lalu ini.
Baca juga: Tuna yang Sudah ”Mati” di Laut Kami
Indikasi pencemaran di pesisir teluk tampak jelas saat Kompas menyusuri perairan dekat Moronopo, Desa Soa Sangaji, Maba. Sejauh mata memandang, Selasa (5/9/2023) siang, air laut keruh kecoklatan, mulai dari tepian di sekitar pohon bakau sampai ke tengah laut. Areal tempat bakau berada pun tertutup sedimen tebal.
Padahal, menurut Fakir Batawi (50), nelayan Soa Sangaji, area itu semula merupakan wilayah tangkapan ikan nelayan. Namun, sejak air mengeruh tak ada lagi ikan yang bisa didapatkan. Nelayan pun tidak lagi mencari ikan di sana, termasuk dirinya.
Selain di lokasi itu, nelayan pesisir seperti dirinya tak lagi mudah untuk mencari ikan di dekat pantai. Siang itu, Fakir yang baru saja pulang dari melaut menunjukkan buktinya. Melaut sejak sebelum matahari terbit, Fakir hanya memeroleh ikan-ikan kecil dan jumlahnya tidak sampai 50 ekor.
”Ikan ini paling hanya dimakan untuk keluarga saja, tidak bisa dijual. Sulit sekarang untuk tangkap ikan dan bisa dijual. Ikan su (sudah) lari jauh,” ujar Fakir dan keluarganya yang termasuk salah satu keluarga miskin di Soa Sangaji.
Baca juga: Perisai Adat yang Melindungi Laut
Meninggalkan laut
Adam Bismu Sumo (55), nelayan Desa Teluk Buli, Maba, bahkan sejak setahun terakhir sudah bersiap untuk tak lagi mengandalkan hasil melaut. Ia mulai menanam pala dan cengkeh karena hasilnya diperkirakan akan lebih baik daripada menjadi nelayan yang kini justru kerap merugi saat melaut. Ditambah lagi, nasibnya mencari ikan di teluk seolah dikejar-kejar oleh aktivitas pertambangan.
Semula, nelayan biasa mencari ikan di Pulau Gee, pulau kecil di tengah teluk. Namun, sejak perbukitan Gee dieksploitasi, ikan menjauh dari pulau itu. Nelayan pun terpaksa bergeser ke Pulau Pakal, pulau kecil di samping Gee. Yang terjadi kemudian, PT Antam juga mengeruk material tambang dari pulau itu. Nelayan lantas mendekat ke pesisir Teluk Buli, di daratan Halmahera. Tak berselang lama, PT Antam mengepras perbukitan di daratan Halmahera untuk mencari nikel.
Aktivitas melaut nelayan di dalam teluk pun tak lagi nyaman karena kapal-kapal tongkang yang hilir mudik, seolah tak mengenal waktu.
”Kini melaut semakin jauh, ikan menjauhi teluk karena air keruh. Apalagi kalau hujan, limbah tambang masuk ke laut, ikan tidak mau tinggal di situ,” ungkap Adam.
Baca juga: Nelayan Banda Tergopoh-gopoh Mengejar Tuna
Ekses dari aktivitas pertambangan juga dirasakan oleh nelayan di pesisir Teluk Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara, setidaknya antara Desa Lelilef, Kecamatan Weda Tengah, hingga Desa Sagea, Kecamatan Weda Utara. Sejak 2018, kawasan industri terpadu untuk pengolahan logam berat, Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), beroperasi di Lelilef. Jauh sebelum itu, sejumlah perusahaan tambang sudah mengeruk material dari perbukitan tak jauh dari pesisir.
”Dulu sebelum ada aktivitas pertambangan, kita mancing yang dekat-dekat sini saja,” tutur Max Sigoro (53), nelayan dari Desa Gemaf, Kecamatan Weda Utara, yang lokasi desanya bersebelahan dengan IWIP, Kamis (7/9/2023).
Ia pun curiga menjauhnya ikan imbas dari limbah tambang. Ikan kini baru bisa dijumpai setelah ia menggerakkan perahu kecilnya menjauh dari dalam teluk meski dengan risiko menghadapi ombak yang lebih tinggi. Sudah demikian, tidak menjadi jaminan ikan bisa diperoleh. Siang itu, misalnya, ia bercerita, tak ada ikan yang bisa diperoleh meski sudah melaut sejak sebelum matahari terbit.
”Limbah tidak hanya di wilayah yang dekat, sampai jauh di sana pun begitu. Kita, kan lari karena limbah, tetapi sampai jauh ke sana juga tetap ada,” ungkap Max.
Tanpa tangkapan, ia jelas merugi. Ongkos untuk membeli bahan bakar minyak tak bisa ditutupi jika hasil tangkapan tak memuaskan, apalagi kalau sampai nihil. Karena itu, sejak beberapa tahun terakhir, kebutuhan sehari-hari keluarganya tak lagi bertumpu pada hasil melaut. Hasil dari ladang pala yang dimilikinya jadi tumpuan.
Namun, itu pun entah sampai kapan ia bisa mempertahankannya karena lahan tempat pala berada sudah masuk ke areal perencanaan pengembangan IWIP. ”Sudah ada yang minta untuk dibeli, tetapi saya tidak lepas. Keluarga saya mau makan apa kalau tanah itu dijual,” kata Max.
Kamis siang, Kompas menyusuri Teluk Weda, di area dekat pelabuhan perusahaan dan lokasi reklamasi di Lelilef. Siang itu, sejumlah alat berat mengambil pasir hitam dari belasan truk yang berjejer lalu membuangnya ke laut. Di sekitar lokasi pembuangan itu, air laut berubah menjadi coklat. Tak hanya alat berat yang membuang pasir hitam, terlihat pula pipa-pipa besar yang mengalirkan air keruh ke laut. Di sekitar pembuangan itu, air laut terasa lebih hangat.
Di Lelilef bahkan sudah sulit untuk mencari warga yang masih menjadi nelayan. Satu-satunya yang masih bertahan adalah Abdullah Ambar (65). Itu pun areal tangkapannya sudah jauh ke luar teluk atau sekitar 40 mil dari pesisir. Kapalnya masih bisa menembus terjangan ombak karena kapal yang dimilikinya berukuran 4-7 GT atau dua hingga tiga kali lipat dari perahu yang biasa dimiliki nelayan setempat.
”Tidak mungkin lagi dapat ikan di pesisir setelah pertambangan beroperasi. Satu-satunya cara harus melaut jauh ke laut,” tuturnya.
Konsekuensinya, kata Abdullah, ongkos melaut praktis lebih besar. Kebutuhan bahan bakar lebih besar. Begitu pula kebutuhan untuk awak kapalnya. Sebab, tak jarang mereka harus menginap di laut dua sampai tiga hari. ”Sekarang itu kalau melaut jauh dapat ikan 5 ton, kami sudah bisa tertawa. Di bawah itu, mana bisa bayar upah anak-anak dan beli bensin. Jadi tidak ada kepastian di laut,” ujarnya.
Baca juga: Jalan Mundur Lumbung Ikan Nasional
Kesulitan mencari ikan tak hanya membelit nelayan di Teluk Buli dan Teluk Weda. Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah nelayan yang meninggalkan laut pun semakin banyak. ”Dari catatan kami, sepuluh tahun terakhir terjadi penurunan jumlah nelayan tradisional, dari 8.587 orang menjadi 3.532 orang,” ujar Mubaliq Tomagola, Kepala Departemen Advokasi Tambang Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Maluku Utara.
Hal itu tidak terlepas dari perluasan wilayah tambang di Maluku Utara. Walhi mencatat, hingga 2022 total ada 108 izin usaha pertambangan (IUP) dengan cakupan wilayah mencapai 637.370 hektar atau seperlima luas wilayah Maluku Utara. Izin tersebut terbagi menjadi IUP eksplorasi (6 izin), IUP produksi (100 izin), dan IUP khusus (dua izin).
Menurut Mubaliq, gencarnya perluasan wilayah pertambangan di Maluku Utara kontradiktif dengan cita-cita pemerintah mewujudkan ekonomi biru pada saat yang bersamaan. Sebab, tak hanya menambang kini juga dilakukan hilirisasi nikel sehingga semakin banyak pembangunan smelter, pembangkit listrik, dan infrastruktur lain yang turut mengancam ekosistem laut.
”Tanpa ada tambang saja Maluku Utara yang terdiri dari pulau-pulau kecil ini sudah terancam kerusakan karena perubahan iklim. Dengan tambang, beban lingkungan jadi berlipat ganda demi kepentingan ekonomi,” ujarnya.
Pemantauan berkala
Diklarifikasi terpisah, pihak Antam dan IWIP membantah terjadinya pencemaran. Kedua perusahaan mengklaim telah memantau secara berkala parameter logam berat yang ada di laut dan tak ada yang melebih ambang batas sesuai peraturan yang berlaku. Prinsip pertambangan yang tak merusak pun telah dilaksanakan.
”Kami sangat prihatin terhadap kondisi (nelayan) dimaksud dan berharap semoga keadaan tersebut dapat segera membaik. Terkait dengan pengelolaan lingkungan yang dilakukan perusahaan di wilayah operasi di Maluku Utara dapat disampaikan bahwa perusahaan senantiasa berupaya memenuhi standar baku mutu lingkungan. Guna mencapai hal tersebut, secara berkala perusahaan melakukan pemantauan lingkungan, termasuk di dalamnya pemantauan kualitas air, baik air limbah, dan air laut sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” kata Corporate Secretary Division Head PT Antam Syarif Faisal Alkadrie.
Adapun manajemen PT IWIP mengatakan, pihaknya telah memantau kondisi laut secara rutin melibatkan laboratorium lingkungan terakreditasi dan terdaftar di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Pemasangan alat pemantau kualitas air yang terhubung langsung dengan server KLHK juga dilakukan. Pengelolaan lingkungan dan pemantauan rutin pada aspek geofisika dan kimia pada lebih dari 200 lokasi pun dilaksanakan setiap enam bulan.
”Untuk nelayan, area sekitar kawasan telah kami jaga agar tidak berpengaruh secara signifikan ke laut yang masuk dalam kawasan industri, di antaranya dengan membuat kolam sedimen dan adanya silt curtain pada muara yang ada di area IWIP,” ujar pihak manajemen PT IWIP melalui keterangan tertulis.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono tidak menampik indikasi pencemaran yang merugikan nelayan. Pencemaran dan kerusakan ekologis tak hanya terjadi karena pertambangan, tetapi juga aktivitas ekonomi lain, misalnya pembangunan pariwisata laut. Sejumlah bisnis tersebut bernilai tinggi, tetapi idealnya harus diselaraskan dengan keberlanjutan ekosistem laut.
”Menjaga ekologi itu lawannya adalah desakan ekonomi,” ujarnya.
Baca juga: Menteri KKP: Kuota Tangkapan demi Keberlanjutan
Trenggono mengakui, pencegahan kerusakan ekosistem laut tidak mudah. Karena itu, ia mendorong pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi untuk mengawasi ekosistem.
Kementerian Kelautan dan Perikanan pun tengah membangun infrastruktur teknologi tersebut, yang menurut rencana bisa mulai digunakan pada 2025. Rekaman dan data pengawasan dari teknologi itu nantinya bisa dijadikan bukti untuk meminta pertanggungjawaban semua pihak yang diduga terlibat dalam pencemaran atau perusakan ekosistem laut.
Sembari menunggu itu terwujud, para nelayan di Teluk Buli dan Teluk Weda tak henti menyuarakan harapan agar ekosistem laut bisa pulih seperti sebelum ada tambang ke berbagai pihak, mulai dari pemerintah daerah setempat hingga pihak perusahaan.
Namun, hingga kini belum ada perubahan signifikan. Mau tidak mau, mereka terus mengejar ikan yang sudah lari jauh, belum mau kembali ke tempatnya semula.