Perairan Halmahera Tercemar Logam Berat
Laut Teluk Weda dan Teluk Buli di Halmahera, Maluku Utara, tercemar logam berat, dampak tambang nikel, sehingga mengancam biota laut.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah lokasi di perairan Halmahera, Maluku Utara, terindikasi tercemar logam berat akibat aktivitas pertambangan dan pengolahan bijih nikel. Padahal, sejumlah lokasi itu merupakan tempat pemijahan hingga pembesaran ikan dan juga jalur migrasi ikan tuna. Populasi ikan pun terancam punah jika tata kelola pertambangan tidak diperbaiki.
Hasil pengujian air laut di Teluk Weda, Halmahera Tengah, dan Teluk Buli, Halmahera Timur, keduanya di Provinsi Maluku Utara, awal September lalu, menunjukkan indikasi itu. Kandungan krom heksavalen (Cr), nikel (Ni), dan tembaga (Cu) melebihi ambang baku mutu yang diatur di Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Sampel air laut diambil Ketua Program Studi Magister Ilmu Kelautan Program Pascasarjana Universitas Khairun, Ternate, Muhammad Aris, bersama tim Kompas. Sampel diambil dari kedalaman 15 meter dengan botol Van Dorn. Sampel dituangkan dalam botol yang ditutup rapat sebelum diuji di laboratorium PT Advanced Analytics Asia Laboratories di Jakarta.
Di Pulau Pakal di tengah Teluk Buli dan pesisir teluk di wilayah Kecamatan Maba, PT Aneka Tambang (Antam) beserta sejumlah anak perusahaannya menambang bijih nikel sejak 2010. Sebelumnya, Antam melalui anak perusahaannya mengeruk nikel di Pulau Gee yang juga berada di tengah Teluk Buli, sejak 2003. Adapun di daratan Teluk Weda, di Kecamatan Weda, terdapat kawasan industri pengolahan logam berat PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) yang telah beroperasi sejak 2018. Sebelumnya, PT Weda Bay Nickel sudah menambang nikel di Halmahera Tengah sejak 2004.
Baca juga: Ikan Sekarang ”Su” Lari Jauh Tergusur Tambang
Selain menguji air laut, sejumlah ikan putih yang ditangkap nelayan di kedua teluk diteliti struktur sel dan jaringannya oleh Aris di Laboratorium Kesehatan Ikan IPB University.
Dari hasil penelitian histologi pada hati, ginjal, dan daging, itu, menurut Aris, terlihat sel dan jaringan yang sudah rusak. Ia menduga, kerusakan sel dan jaringan itu pun akibat tercemar logam berat.
”Ikan-ikan dalam kondisi tidak sehat. Sel dan jaringan yang rusak membuat biota laut tak bisa reproduksi secara normal sehingga populasi ikan di kedua teluk itu satu saat bisa punah,” ujarnya.
Baca juga: Perisai Adat yang Melindungi Laut
Indikasi pencemaran di kedua teluk juga terlihat saat Kompas menyisir kedua teluk itu, khususnya di lokasi yang berada dekat lokasi operasional perusahaan tambang.
Di Site Moronopo, Desa Maba Pura, Kecamatan Maba, Halmahera Timur, misalnya, air laut di pesisir berubah warna menjadi kecoklatan sehingga kerap disebut warga Maba, lokasi air coklat. Pohon bakau pun tertutup sedimen tebal. Kemudian areal perbukitan di daratan Halmahera terlihat sudah terkelupas. Begitu pula di dua pulau kecil yang terlihat dari lokasi tersebut, yakni Pulau Gee dan Pakal.
Adapun di Teluk Weda, persisnya di dekat kawasan industri untuk pengolahan logam berat terutama nikel, di PT IWIP, di Desa Lelilef, Kecamatan Weda, Halmahera Tengah, pipa-pipa perusahaan tampak mengeluarkan air kecoklatan dan berbuih langsung ke laut.
Dari jarak sekitar 100 meter, air laut terasa hangat. Lokasi ini kerap disebut warga setempat sebagai lokasi air mendidih. Selain itu, terlihat pasir hitam dibuang ke laut untuk reklamasi. Pasir hitam yang diketahui sebagai ampas nikel itu membuat air laut berubah warna menjadi coklat.
Hasil pengujian sampel air laut dari Teluk Weda oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Maluku Utara bersama Aris, Maret lalu, juga menemukan kadar logam berat, utamanya merkuri, di atas ambang batas.
Penambangan emas ilegal
Selain di Maluku Utara, indikasi pencemaran logam berat juga terjadi di perairan Teluk Kayeli dan sejumlah sungai yang bermuara di teluk, di Pulau Buru. Pencemaran akibat aktivitas penambangan emas ilegal yang sudah berlangsung selama lebih dari satu dekade di Gunung Botak.
Para petambang ilegal mengekstraksi emas dari tanah yang dibawa dari Gunung Botak dengan ribuan tromol dan cairan merkuri di sepanjang Sungai Patipulu, Anahoni, Waelata, dan Waiapu. Aliran keempat sungai ini bermuara di Teluk Kayeli.
Dari hasil penelitian Guru Besar Kimia Anorganik Universitas Pattimura, Ambon, Yusthinus Male, pada 2021, terlihat bahwa tingkat kandungan merkuri di sedimen keempat sungai ini sudah melebihi batas normal. Merkuri diperkirakan terbawa hingga mencemari Teluk Kayeli. Merujuk penelitian setahun sebelumnya, merkuri ditemukan telah terdistribusi sampai Kayeli. Merkuri juga ada di biota laut dan tanah yang digunakan warga untuk menanam sayuran.
Baca juga: Masa Depan Lumbung Ikan Terancam
Tercemarnya sungai-sungai hingga teluk oleh merkuri ini diperkirakannya masih berlangsung hingga saat ini. Sebab, aktivitas penambangan emas ilegal di Gunung Botak belum juga berhenti meski sudah berulang kali ditutup pemerintah bersama aparat keamanan.
Male menjabarkan, merkuri di badan air mencemari biota laut, dari mulai ikan-ikan kecil seperti udang dan teri hingga ikan pelagis besar seperti tuna, sebagai ekses dari rantai makanan di perairan. Tak hanya berhenti di situ, ikan yang kemudian dikonsumsi manusia bisa berimbas buruk pada kesehatan. Ekses buruk ke kesehatan ini tidak akan instan terlihat, tetapi baru akan terlihat setelah puluhan tahun.
Penjabat Kepala Desa Kaki Air Rahmawati Dafrullah berharap, pertambangan di Gunung Botak dapat ditata sehingga masyarakat tak kehilangan mata pencariannya.
”Kalau gak ada yang beli ikan bagaimana? Berarti beta (saya) pu (punya) masyarakat di sini mati pelan-pelan,” keluhnya.
Senada dengan Male, Aris mengingatkan ikan-ikan di Teluk Buli dan Weda merupakan makanan bagi ikan yang lebih besar seperti pelagis besar.
Dari proses itu, logam berat bisa berpindah, termasuk ke manusia jika memakan ikan yang tercemar. Terlebih teluk merupakan tempat pemijahan hingga pembesaran ikan sehingga jika teluk tercemar bisa mengancam ekosistem teluk. Tak hanya itu, perairan yang tercemar berada di jalur migrasi ikan tuna.
”Jadi bisa mengancam pula populasi tuna. Padahal, tuna salah satu yang diburu nelayan di Maluku Utara,” ujarnya.
Perairan Halmahera dan Buru masuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 714 dan 715 yang punya potensi sumber daya ikan mencapai 1.749.272 ton atau 15 persen dari potensi di seluruh WPP yang sebanyak 12,01 juta ton. Adapun jumlah nelayan di dua kabupaten di Halmahera, yakni Halteng dan Haltim yang terdapat tambang nikel Antam dan IWIP, ditambah nelayan di Pulau Buru, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, setidaknya 11.764 nelayan.
Atas indikasi pencemaran yang terjadi di perairan Maluku Utara, Aris meminta tata kelola tambang oleh perusahaan diperbaiki. Untuk pengawasan agar pencemaran tak terus terjadi, ia menyarankan dibentuk satuan tugas khusus yang di dalamnya tidak hanya terdiri atas unsur dari pemerintah tetapi juga unsur yang independen, seperti akademisi dan lembaga swadaya masyarakat.
Direktur Walhi Maluku Utara Faisal Ratuela juga mendesak pemerintah dan perusahaan mengaudit secara menyeluruh teknologi yang digunakan. Pengawasan aktivitas pertambangan dari hulu ke hilir juga harus dievaluasi karena selama ini pengawasan baru dilakukan ketika ada kejadian luar biasa.
Yang juga penting, harus ada moratorium izin pertambangan di Maluku Utara. Izin yang dikeluarkan selama ini sudah terlampau banyak dan tanpa tata kelola dan pengawasan yang baik, kerusakan lingkungan hidup di Maluku Utara bisa lebih besar. Merujuk data Walhi Maluku Utara, hingga tahun 2022, sudah ada 108 izin usaha pertambangan (IUP) dengan cakupan wilayah 637.370 hektar atau seperlima luas wilayah Maluku Utara. Izin itu terbagi menjadi IUP eksplorasi (6 izin), IUP produksi (100 izin), dan IUP khusus (2 izin).
Baca juga: Harta Tak Terbilang dari Kedalaman Biru Papua
Praktik pertambangan yang baik
Saat diklarifikasi secara terpisah, Antam dan IWIP membantah terjadinya pencemaran. Dari hasil pemantauan secara berkala, termasuk di laut, tak ditemukan parameter logam berat yang melebihi ambang baku mutu. Kedua perusahaan pun menegaskan telah menerapkan prinsip-prinsip pertambangan yang baik agar tidak merusak lingkungan hidup.
Corporate Secretary Division Head PT Antam Syarif Faisal Alkadrie mengatakan, pemantauan berkala oleh perusahaan melibatkan laboratorium independen. Untuk pemantauan air limbah dilakukan setiap bulan, sedangkan untuk air laut setiap tiga bulan sekali. Pengelolaan air limbah pun dilakukan sudah sesuai ketentuan yang berlaku, dengan memproses efluen melalui kolam penampungan dan resirkulasi, kolam pengendap, atau instalasi pengolahan air limbah (IPAL).
Terkait keluhan nelayan bahwa mereka harus melaut lebih jauh, Antam prihatin dan berharap keadaan bagi nelayan segera membaik. Yang jelas, kata Faisal, perusahaan selalu berupaya untuk memenuhi standar baku mutu lingkungan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Manajemen PT IWIP pun menyampaikan, pemantauan reguler melibatkan laboratorium lingkungan terakreditasi dan terdaftar di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Ditambah lagi, PT IWIP telah memasang alat pemantauan kualitas air yang terkoneksi langsung dengan server KLHK. IWIP juga mengelola lingkungan dan memantaunya rutin setiap enam bulan pada aspek geofisika dan kimia dengan total mencapai lebih dari 200 titik lokasi pemantauan.
”Untuk nelayan, area sekitar kawasan telah kami jaga agar tidak berpengaruh secara signifikan ke laut yang masuk dalam kawasan industri, di antaranya dengan membuat kolam sedimen dan adanya silt curtain pada muara yang ada di area IWIP,” tulis pihak manajemen dalam keterangan tertulis.
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Sigit Reliantoro mengatakan, setiap informasi indikasi pencemaran pasti ditindaklanjuti oleh KLHK. Selama ini, KLHK bersama pemerintah provinsi, yang di wilayahnya terdapat pertambangan, telah berusaha mencegah aktivitas pertambangan mencemari lingkungan.
Untuk langkah pengawasan oleh KLHK dan pemprov, dilakukan pengujian paling tidak satu tahun setelah diterbitkannya izin atau persetujuan teknis aktivitas pertambangan dan berulang minimal setiap satu tahun sekali.
”Dalam pengawasan ada batasan kewenangan. Mengacu Undang-Undang Pemerintahan Daerah, pengelolaan laut 0-12 mil ada di pemerintah provinsi. Meski demikian, Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 menegaskan, dalam penerbitan izin atau persetujuan teknis untuk kegiatan tambang, kewenangan pengawasan semua dari pemerintah pusat,” katanya.
Di dalam persetujuan teknis itu terdapat kewajiban perusahaan untuk mengendalikan pencemaran laut, baik di pesisir maupun di laut. Perusahaan diwajibkan melakukan pengawasan terkait dengan titik taat dan titik pantau buangan air limbahnya, termasuk di dalamnya pemantauan setiap enam bulan sekali. Kemudian sebelum perusahaan mengajukan persetujuan teknis, perusahaan diharuskan melakukan kajian terhadap seluruh ekosistem yang ada di sekitarnya, termasuk dampak pencemaran dari kegiatan.
”Melalui proses kajian dari permohonan izin itu, sudah diketahui sejauh mana dampak, keamanan, dan area sensitif dari hasil kegiatan,” katanya.
Dari langkah pengawasan, ia tak memungkiri masih kerap dijumpai perusahaan yang melanggar aturan. Di Maluku Utara, misalnya, PT IWIP saat ini dalam proses penegakan hukum atau sanksi administrasi oleh Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan dan Kehutanan KLHK.
Kemudian berdasarkan hasil evaluasi sementara kinerja pengelolaan lingkungan terhadap 14 industri sektor pertambangan energi dan migas, ada tiga perusahaan yang dinilai tidak taat. Ia tak menyebutkan perusahaan dimaksud.
Adapun aspek yang dievaluasi adalah pengendalian pencemaran udara, pengendalian pencemaran air, pengelolaan limbah B3, dan potensi kerusakan lahan. Mayoritas perusahaan yang dievaluasi tidak taat pada aspek pengendalian pencemaran udara.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengingatkan, ekonomi biru akan sulit untuk bisa diimplementasikan jika ekosistem laut tercemar. Sementara mencegah kerusakan ekosistem laut juga tidak mudah karena berbagai hal, termasuk aktivitas pertambangan.
Baca juga: Menteri KKP: Kuota Tangkapan demi Keberlanjutan
Bisnis pertambangan dinilai lebih bernilai tinggi daripada sektor perikanan. Padahal, jika keduanya dikelola dengan baik, bisa menghasilkan nilai yang besar bagi masyarakat.
Untuk itu, ia mendorong pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi, terutama dalam pengawasan ekosistem laut dari potensi kerusakan akibat aktivitas pertambangan ataupun aktivitas ekonomi lainnya. (IDO/NIA/IKI/RAP/ENG/FRN/APA)