Tuna yang Sudah ”Mati” di Laut Kami
Berlimpahnya ikan yang dulu dinikmati nelayan di daerah-daerah lumbung ikan kawasan timur Indonesia terus terkikis. Nelayan harus melaut lebih jauh, lebih lama, dan lebih biaya. Itu pun tanpa jaminan hasil yang sepadan.
Setelah melaut lebih dari 15 jam, Umar Waymese (45) akhirnya bersandar di pesisir Desa Kawa, Kecamatan Seram Barat, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, Senin (4/9/2023) petang. Istri, anak, dan kerabat lain menantinya dengan senyum. Mereka berharap Umar membawa banyak tuna, ikan incaran utama nelayan di desa tersebut.
Namun, angan itu pupus. Lelaki tersebut hanya membawa peluh di wajah, bau terik matahari di pakaiannya, serta puluhan ekor ikan cakalang dan tuna kecil (baby tuna) yang beratnya sekitar 3 kilogram per ekor.
Hasil melaut hari itu dia perkirakan hanya cukup untuk menutup biaya pembelian 60 liter Pertamax sebagai bahan bakar perahunya. Artinya, tidak ada uang lebih untuk memenuhi kebutuhan hidup lain, kecuali sebagian ikan yang tak dijual untuk dimakan sendiri. ”Sekarang, ikan tuna sudah ’mati’. Ikan kecil juga ’mati’,” ucapnya.
Umar memakai kiasan itu untuk menggambarkan kondisi susahnya mendapatkan tuna di Laut Seram kini. Dia tidak tahu pasti mengapa ikan pelagis besar itu seolah menghilang. Padahal, sekitar lima tahun lalu, ia masih kerap mengait tuna dengan berat puluhan kilogram di sana. ”Kadang dua atau tiga ekor tuna sekali melaut,” ungkapnya.
Pada masa itu pula, ia melaut paling lama hanya hingga siang, tidak sampai petang, apalagi menginap. Jaraknya juga kurang dari 20 kilometer dari pesisir dengan kebutuhan bensin maksimal 30 liter.
Semua dirasakannya berubah sejak kapal-kapal raksasa berukuran 90 gros ton (GT) marak hilir-mudik di perairan Seram. Kapal-kapal ikan itu berasal dari luar Maluku. Perahu nelayan setempat yang panjangnya hanya 7 meter dan lebar 1,2 meter dengan bobot 0,5 GT jelas bukan tandingannya.
Baca juga: Lumbung Ikan di Maluku Harus Utamakan Nelayan Kecil
Umar menduga kapal-kapal itu juga menjaring tuna di area kurang dari 12 mil laut (sekitar 22 km) dari pantai. Padahal, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 58 Tahun 2020 tentang Usaha Perikanan Tangkap melarang kapal berukuran di atas 30 GT beroperasi di laut lepas di bawah 12 mil laut.
”Kemarin-kemarin, banyak kapal besar (di sini). Teman saya dapat (melihat) kapal jaring punya perusahaan. Kapal besar itu banyak ambil ikannya,” ujar Umar.
Kapasitas tangkap kapal-kapal itu mencapai hitungan ton. Sementara Umar yang bermodalkan pancing hanya bisa mengais hitungan kilogram ikan.
Sandaran hidup
Setali tiga uang, hasil tangkapan Yadi Bustan (48), nelayan Desa Kawa lainnya, juga tak memuaskan meski telah 16 jam mengadu nasib di laut. Melaut sekitar 50 km dari pesisir, ia hanya menangkap sekitar 130 kg tuna kecil dan cakalang. Tidak ada tuna dewasa yang diharapkannya.
”Sekarang, seng (tidak) dapat tuna. Terakhir dapat akhir Agustus. Itu pun dua ekor saja,” ucapnya. Menurut Yadi, lima tahun lalu, meski bukan musim tuna, ia masih bisa menjaring 2-3 ekor sekali melaut, tak seperti sekarang yang lebih sering boncos ketimbang berhasil.
Padahal, tuna menjadi harapan penghidupan mayoritas warga di desa itu, bahkan mengangkat kesejahteraan mereka. Yadi, misalnya, dulu bisa membeli mesin 20 tenaga kuda (PK) seharga Rp 32 juta, membangun rumah batu berlantai keramik, hingga membiayai kuliah anaknya di Jakarta dari hasil tuna.
Karena itu, dia pun berharap pemerintah bisa membantu nelayan mengatasi masalah ini. Yadi khawatir, jika masalah penangkapan berlebih itu tidak diatasi segera, tuna di Laut Seram bakal hilang selamanya.
Kondisi senada dirasakan nelayan di berbagai daerah lumbung ikan di Maluku dan Papua, seperti Ternate, Morotai, Banda, Aru, Sorong, dan Biak. Laut yang dieksploitasi kapal-kapal perikanan besar membuat nelayan kecil kelimpungan.
Menurut Josea Labaka (58), nelayan di Desa Bido, Pulau Morotai, Maluku Utara, pada era 1990-an nelayan masih bisa mendapatkan 1 ton ikan hanya dengan melaut sejauh 2 mil (3,7 km).
Sudah jauh, tidak selamanya berhasil dapat ikan.
Namun, kini mereka harus bersaing dengan kapal-kapal jaring besar. Ada pula kapal-kapal yang menggunakan racun dan pukat harimau untuk menangkap ikan. ”Kami tidak mungkin cegah mereka, jadi pasrah saja,” tutur Josea.
Di Ternate, Maluku Utara, nelayan kecil juga menghadapi ”gempuran” kapal-kapal ikan besar dari luar daerah. Muksin Wasa (52), nelayan Kelurahan Jambula, Ternate, mengungkapkan, akibat eksploitasi oleh kapal-kapal besar itu, dia dan banyak nelayan lainnya menduga sumber daya perikanan di Laut Maluku ataupun di perairan sekitar Ternate yang masuk Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 715 sudah terkuras.
Indikasi ini dirasakannya karena kini nelayan harus menangkap ikan lebih jauh dari bibir pantai. Saat ini, untuk menangkap ikan-ikan pelagis besar, menurut Muksin, nelayan harus melaut hingga lebih dari 10 mil (18,5 km) dari Ternate. Bahkan, sering kali, nelayan menangkap hingga jarak 50 mil (92,6 km). ”Sudah jauh, tidak selamanya berhasil dapat ikan. Kadang hanya cukup untuk tutup ongkos bahan bakar, tetapi sering juga sama sekali tidak dapat,” tuturnya.
Ancaman nyata
Lumbung ikan terbesar di kawasan timur, yakni wilayah Laut Aru dan Laut Arafura, juga tak luput dari problematika itu. Paulus Pitkaem (50), nelayan di Kelurahan Siwalima, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, merasakan makin sulitnya dia mendapat ikan tenggiri di perairan tersebut.
Padahal, beberapa tahun lalu, ia amat mudah menangkap tenggiri di Laut Aru. Dalam satu hari, ia bisa menangkap 15-20 ekor tenggiri yang panjangnya 1,5 meter atau lebih.
Baca juga: WTO, ”Overfishing”, dan Pendisiplinan Subsidi Perikanan
”Tenggiri yang besar seng (tidak) ada lagi. Sekarang, kalau dapat, paling-paling yang sebesar lengan sa (saja). Dapat satu saja pun su (sudah) bagus itu,” ujar ayah empat anak tersebut.
Johan Djamanmona (30), warga Aru, mengatakan, ancaman overfishing di Laut Aru sangat nyata karena penangkapan secara masif yang dilakukan oleh ribuan kapal dari luar daerah. ”Seharusnya nelayan lokal diberdayakan untuk memaksimalkan hasil tangkapan di Aru. Caranya, pemerintah memberikan bantuan alat tangkap dan pembinaan,” ucapnya.
Alih tangkapan
Di daerah lain, kondisi ini bahkan telah membuat sebagian nelayan ”lempar handuk”. Seperti yang dialami oleh Eko (39), nelayan di Naira, Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku.
Lelaki yang sudah belasan tahun menjadi nelayan tuna itu memutuskan beralih menjadi nelayan ikan momar (layang) sejak 2,5 tahun lalu. ”Saya ikut kapal nelayan lain mencari momar yang lebih mudah didapat,” ucapnya.
Baca juga: Masa Depan Pangan Laut Kita
Dia mantap mengambil keputusan itu setelah mengalami kerugian bertubi-tubi lantaran usahanya mencari tuna di Laut Banda tak lagi membuahkan hasil. ”Tabungan sudah habis untuk membiayai operasionalisasi melaut, utang juga terus bertambah,” katanya.
Eko mengakui, uang yang didapatkan dari ikan momar memang tidak sebesar tuna, tetapi setidaknya ada pemasukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. ”Kalau dulu, (saya) bisa bawa pulang jutaan rupiah per hari dengan mencari tuna. Kini, (saya) hanya bisa membawa pulang puluhan hingga ratusan ribu rupiah per hari dari ikan momar,” ujarnya.
Sejumlah nelayan di Pulau Run, Banda, juga memutuskan ”pensiun” dari pekerjaan mencari tuna yang dianggap sudah tidak prospektif lagi. Basrun Laminggu (55), misalnya, beralih ke bisnis pengangkutan ikan.
Baca juga: Tak Berdaya di Laut Sendiri
Lelaki yang sudah lebih dari 20 tahun mencari tuna itu tengah memodifikasi kapalnya dari pemburu tuna menjadi pengangkut ikan momar. ”Dulu, di Pulau Run, ada sekitar 40 kapal pencari tuna. Kini, jumlahnya tinggal sekitar 10 buah. Mayoritas kapal berubah (dialihfungsikan) menjadi kapal pencari ikan momar atau kapal pengangkut,” kata Basrun.
Dengan perahu seadanya dan alat terbatas, nelayan kecil tak hanya harus melawan gelombang laut, tetapi juga ketidakpastian masa depan. (IKI/VAN/TAM/NDU/DAN/XTI/ENG/APA/FRN/IDO/NIA)